Novel tersebut mengambil setting/latar di pulau jawa. Pribumi di sana masa itu jauh tertinggal bahkan tidak mengerti baca tulis. Satu yang paling mencolok digambarkan Pram adalah karakter Nyai Ontosoroh. Ia gadis jawa yang cantik, pribumi yang menjadi gundik seorang pria Belanda. Ketika tinggal bersama Belanda itulah pertama kali Nyai tahu sebuah benda bernama sikat gigi. Sebelumnya tak pernah pun ia lihat sikat gigi dalam hidupnya.
Berada di rumah Belanda ia dihadapkan pada kebiasaan ala Eropa. Belanda menyuruhnya belajar membaca, menulis, bahasa Belanda dan juga bisnis. Kesibukannya membaca, belajar bahasa, dan bisnis itulah yang kelak membuat Nyai mengerti hak-hak dan perannya sebagai wanita. Sebelumnya ia hanya gadis penurut dan tidak boleh memprotes apa-apa. Ia hanya makhluk pasif yang menganggap kodrat setiap perlakuan lelaki terhadap dirinya. Bahkan perlakuan orang tuanya sendiri.
Ayah Nyai Ontosoroh adalah seorang juru tulis yang bekerja pada Belanda. Demi memperoleh pangkat lebih tinggi, orang tuanya itu menjual Nyai Ontosoroh kepada Belanda untuk dijadikan gundik. Dengan membaca dan usahanya memperluas wawasan, akhirnya Nyai sadar orang tuanya telah memperlakukannya seperti benda yang bisa dijual atau dibarter bila ada keperluan lain yang lebih “penting”.
Terkait belajar ini, ada kutipan menarik yang diucapkan Nyai ketika ia sedang bercakap-cakap dengan tokoh utama cerita, Minke. Minke heran mengapa Nyai bisa membaca, menulis dan hal-hal lain yang tak lazim bagi seorang pribumi kala itu. Lagi pula Nyai juga tidak mengenal sekolah. “Hidup bisa memberikan apa pun bagi mereka yang tahu dan mau menerima” jawab Nyai.
Karena keluasan pengetahuannya Nyai kemudian mengeritik sikap suaminya, Belanda yang mabuk-mabukan. Ia kritik pula orang-orang Eropa yang menjajah dan memandang rendah kaum pribumi. Di akhir cerita, Nyai melawan Belanda karena hukum tertulis yang diciptakan Belanda seenaknya saja dan tak memihak pribumi. Sayangnya belum banyak pribumi yang tahu cara melawan bahkan tidak paham dirinya sedang dijajah. Hanya Nyai dan Minke yang melakukan itu. “Kita kalah, Ma.” Kata Minke “Tidak Nyo. Kita telah melawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya” Jawab Nyai.
Melihat realitas yang digambarkan dalam novel ini saya teringat kata-kata dosen saya, Prof. DR. Hasbi Amiruddin, ketika mengikuti kuliah Sejarah Perkembangan Pemikiran Islam beberapa waktu lalu. “Ingat ya, selama kalian bodoh, kalian pasti akan dijajah. Pasti dijajah, pasti dijajah!” Beliau menjelaskan betapa sampai hari ini kita belum merdeka terutama dalam ekonomi. “Coba lihat kipas angin itu!” ia menunjuk langit-langit ruang kuliah "Siapa yang menciptakan?" Kami terdiam. Di hari yang lain, seorang teman kuliah saya ikut berkelakar, "Kalau busi sepeda motor saja, yang kita naiki sekarang, diembargo, maka lumpuhlah kita". Mudah sekali bangsa lain menjajah. Dengan sedikit ancaman bangsa ini akan memelas bertekuk lutut.
Kita masih masih terjajah. Tidak hanya dalam ekonomi, dalam seni, budaya, dan dalam hampir segala hal kita terhegemoni. Karena kita masih bodoh dan alergi terhadap pengetahuan. Kita malas membaca, bangga tidak belajar, lalai, dan enggan mengembangkan diri. Dalam novel ketiga, Jejak Langkah halaman 102, Pram juga menulis, "Semua terpelajar Pribumi Asia dalam kebebasannya mempunyai kewajiban-kewajiban tak terbatas buat kebangkitan bangsanya masing-masing. Kalau tidak, Eropa akan MERAJALELA! []
0 comments
Posting Komentar