SUDAH dua hari saya tidak buang air besar. Ini gara-gara saya penasaran. Seseorang telah berkata, “Bukankah hidup ini tragis tanpa humor?”
Itu benar, Pembaca. Saya tak dapat hidup tanpa humor. Mudah-mudahan pembaca juga begitu; biar saya ada kawan. Tapi bagaimana kalau justru humor yang bikin kenyataan jadi tragis? Inilah yang membuat saya susah buang air besar.
Pembaca punya televisi kan? Setidaknya seperti saya, pernah menonton televisi. Kalau tidak pernah, ya sudah. Saya tidak tahu bilang apa. Tapi ada yang akrab dengan kita. Tak hanya kita sebenarnya, tapi saudara kita, teman kita, pacar kita, presiden kita, gubernur kita, bupati kita, orang kampung kita, juga semua rakyat Indonesia. Tahu Opera Van Java?
Saya senang menontonnya, Pembaca. Selain menghibur, saya dapat pengetahuan baru. Perempuan yang nyanyi dengan suara melengking namanya pesinden. Nyanyian itu sendiri disebut sinden. Orang yang memakai baju dengan lengkung menjulang di tengkuk bernama Gatot Gaca. Alat musik berbahan besi disebut gamelan. Pemain wayang namanya dalang. Topi yang dipakai dalang disebut blankon dan banyak lagi.
Menurut kamus di kepala saya, Opera berarti pentas drama bercampur musik. Van diambil dari kosa kata Belanda bermakna bin. Sedangkan Java, aih... tak perlulah saya jelaskan ini lagi pada Pembaca. Saya yakin pembaca lebih maklum dari saya. Java itu ya Jawa. Jadi, Opera Van Java berarti pentas humor bercampur musik yang berasal dari Jawa.
Sebenarnya bukan kata Van dan Java saja. Ada kata-kata Belanda lain yang resmi jadi Bahasa Indonesia. Misalnya kata koran (courant), kantor (kantoor), sempak (zwempak), ajudan (adjudant), alpukat (avocaat), nanas (ananas), wortel (wortel), buncis (boontjes), asbak (asbak), baskom (waskom), dosen (docent), bensin (benzine), sandal (sandaal), halte (halte), jerigen (jerrican), pasfoto (pasfoto), piket (piket), puisi (poezie), sablon (sjabloon), saldo (saldo), sekongkol (gekonkel), sirup (stroop), WC (Water Closet), BH (Bouste Houder), dan lain-lain. Celakanya tak hanya kosa kata, ada juga yang turut mengadopsi ‘Sifat’ Belanda.
Tapi saya masih penasaran juga, Pembaca. Penyanyi di Opera Van Maluku disebut apa? Orang pukul alat musik di Opera Van Kalimantan apa namanya? Terus, genre lagu dinyanyikan di Opera Van Sulawesi disebut apa? Opera Van Sumatera tampil malam apa? Apa hampir tiap malam juga? Kan saya pingin juga nonton Opera Van Nusa Tenggara Timur dan Opera Van Nusa Tenggara Barat?
Tapi tak baguslah kita terlalu banyak tanya. Indonesia bukan atmosfir yang baik untuk orang-orang yang penasaran. Nanti Tuan Besar terusik. Bisa-bisa saya ditangkap pula gara-gara ini. Kan bisa saja mereka bilang saya ini rasis. Kalau orang jelek dan kerdil seperti saya ngomongin ini memang disebut rasis. Kalau stasiun televisi nasional menonjolkan budaya Jawa saja itu bukan rasis. Itu namanya hiburan. Seperti kata George Bernard Shaw, “Ketika seseorang ingin membunuh macan dia menyebutnya olahraga berburu; ketika macan ingin membunuhnya dia menyebutnya kebuasan”. Kemudian Shaw menambahkan, “Beda antara keadilan dan kejahatan juga tidak lebih besar daripada itu.”
Tapi walau bagaimana pun juga, daripada-daripada, yang penting kita camkan saja. Kalau tak bisa, paksakan saja dalam hati bahwa negeri ini Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Ingat ya, Pembaca. Bukan Bhinneka Tunggal Jawa. Diingat, jangan sampai salah. Bisa ditangkap nanti.
Tapi, kalau boleh saya penasaran lagi, saya ingin tahu bagaimana orang-orang Papua melawak. Sebagaimana setiap etnik punya orang jenius begitu pula mereka memiliki orang yang lucu. Saya percaya orang papua itu jago melawak. Begini, Pembaca, menurut teori, humor itu lahir dari yang tragis-tragis. Nah, mengapa saya bilang orang Papua itu pandai melawak, karena ada sebuah lirik sedih. Kalau tidak salah saya lagunya Franky Sahilatua. Lirik ini menggambarkan kehidupan orang Papua. Begini bunyinya:
“Kami tidur di atas emas, berenang di atas minyak, tapi bukan kami punya. Kami hanya menjual buah-buah pinang.”
Kan tragis, Pembaca? Tidur di atas emas dan berenang di atas minyak adalah perumpamaan hasil alam mereka yang kaya. Tapi mereka tak menikmatinya karena dijarah. Mereka pasti lihai sekali meracik humor. Setidaknya itu jadi cara terakhir agar tak sampai lupa bagaimana cara tertawa.
Tapi ada juga alasan lain mengapa saya ingin menonton Opera Van Papua. Seandainya Opera Van Papua bisa muncul di televisi seperti Opera Van Java (sepertinya ini mustahil), saya akan beli kopi, kacang, dan jagung rebus. Setelah itu tengok ke kiri dan tengok ke kanan baru menghidupkan televisi. Saya akan menonton dengan khidmat. Untuk yang satu ini saya memang sudah lama penasaran. Saya lihat pipa buatan mereka bagus-bagus. Siapa tahu mereka bisa ajari saya cara pakai koteka. Kan saya penasaran juga, Pembaca. []
________
Koteka: pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Papua terbuat dari kulit labu air.
sumber gambar: https://ilustrasikalender.wordpress.com
2 comments
Mantap bro.... anda mengalami konstipasi tingkat papua. hahahha
Kita nanti saja, siapa tau nanti ada Koteka langsung dari papua.
http://lintasanpenaku.blogspot.com/2013/12/mulai-menulis.html
hahaaaa... payah mita saboh yang pah. hahaa
Posting Komentar