Meski tidak sepenuhnya percaya media, saya masih menganggap bahwa masih ada jurnalis yang bekerja dengan nurani dan mewakili rakyat yang lemah. Hal ini berbeda dengan media. Walau pun wartawan bekerja untuk media, tapi media tidak sepenuh dapat dipercaya. Kebanyakan media tidak ada yang independent. Bahkan seorang penulis menyebutkan bahwa tidak ada media yang betul-betul independen alias tidak bergantung pada kepentingan politik suatu golongan.
Beberapa orang yang bergelut dalam bidang politik atau bisa disebut dengan politisi itu sendiri ada yang mendirikan media sebagai rodanya untuk mendapat kekuasaan. Di Indonesia misalnya, ada beberapa media seperti TV One, Metro TV, dan beberapa stasiun lainnya yang merupakan tangan-tangan dari politisi besar di negeri ini.
Lantas ada apa dengan ini? dengan adanya media yang seperti ini, maka kemungkinan bisar, kalau tidak mau dikatakan pasti, setiap isu yang diangkat dalam media tersebut adalah yang berkenaan dengan kepentingan politik partai dan kroninya. Bisa pula digembar-gembor tingkat kegagalan pemerintahan yang sedang menjabat. Ini dilakukan sebagai upaya balas dendam atau rasa tidak senang pihak-pihak yang mungkin belum beruntung pada masa-masa pemilu dulu. Dan beginilah realita politik negara kita. Prinsip "tidak ada teman sejati yang ada adalah kepentingan abadi" begitu kental terpelihara. Jika itu bersinggungan dengan kepentingan, maka teman bisa saja dijegal.
Pada pelatihan ketahanan nasional pemuda tahun lalu, wakil DPR RI, Bambang Priyo Santoso menyebutkan bahwa gelombang kekuatan besar saat ini ada di media. Bahkan presiden sendiri tidak mampu menaklukkan media. Bicara politik adalah bicara tentang kekuatan. Upaya menuju ke kekuasaan itu membutuhkan kekuatan. Kekuatan awal ini menjadi modal utama untuk memperoleh kekuatan-kekuatan besar nantinya setelah memegang tampuk kekuasaan. Mereka akan mampu mengontrol kebijakan-kebijakan yang kemungkinan dijadikan sebagai jalan untuk membayar hutang-hutang semasa kampanye. Di sinilah keuntungan memiliki media. Selain menjadi roda yang memiliki kekuatan mengontrol opini publik, ia juga menjadi ladang bisnis para konglomerat politik ini.
Media khususnya televisi adalah alat yang paling mujarab untuk kampanye dan propaganda. Beberapa ahli propaganda mengatakan bahwa buku dan film adalah dua alat proganda yang paling luar biasa. Ini tentunya tergantung juga pada pasar. Pasarlah yang menentukan mana yang paling mujarab dan mana yang kurang. Di Indonesia, rata-rata rakyatnya menyukai televisi. Hampir bisa dikatakan bahwa tidak ada rumah yang tidak ada televisi. Dengan memiliki media televisi, maka propaganda-propaganda dengan mudah bisa digencarkan.
Dan itulah media. Semenjak era reformasi, media dan pers bisa dijalankan oleh siapa pun yang memiliki modal. Kebijakan ini merupakan hal yang menguntungkan para politisi kaya. Mereka bisa membuka media-media baru yang selain menghasilkan uang, juga menjadi alat kampanye. Ada sebuah siaran televisi yang ketika sang pemilik modalnya melakukan suatu agenda atau kegiatan, maka ia akan disorot lebih lama dan lebih sering ketimbang sosok-sosok lain. Walhasil, isu yang diangkat pun bisa menjadi isu yang menyangkut kepentingannya saja, bukan kepentingan rakyat. Inilah alasannya mengapa media tidak selamanya bisa dipercaya.[]