Karena lelah, jam sembilan malam itu saya sudah mengantuk. Belum sempat mata terpejam, saya ingat tulisan yang belum terkirim ke media. Tulisan itu berupa cerpen. Saya menulisnya semalam sebelumnya, selesainya jam 2 dini hari. Ceritanya tentang ujian nasional; mengisahkan keresahan seorang siswi yang mematikan rasionalitasnya. Ia minta ibunya merendam kaki ke air lalu air rendaman diminumnya. Ide ini saya dapat ketika menonton acara talkshow di TVRI Aceh beberapa hari lalu terkait ujian nasional. Seorang narasumber megatakan kejadian itu nyata.
Selain perihal janggal itu, saya juga menyentil perilaku orang tua si karakter dalam cerita itu. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri dan baru peduli pada pendidikan anaknya saat ujian nasional. Sementara hari-hari saat anaknya malas membaca, suka membolos, dan hal-hal tak pantas lainnya jarang mereka perhatikan. Ini juga cerminan yang terjadi akhir-akhir ini. Orang tua terlalu mempercayakan pendidikan anaknya pada sekolah. Padahal pendidikan di sekolah itu, kadangkala, tak dapat diandalkan. Justru di sekolah anak-anak sekarang mengenal rokok, film porno, narkoba dan lainnya. Ada juga sedikit sentilan untuk guru. Seorang guru lelaki masuk ke kelas menolong muridnya dengan memberikan kunci jawaban. Setelah ujian murid-murid datang ke rumahnya membawa oleh-oleh sebagai ucapan terimakasih.
Karena beberapa minggu lalu masih momen ujian nasional (UN), saya tak menyiakan kesempatan. Saya lawan rasa kantuk dan lelah. Saya menuju ke warung kopi terdekat. Setelah mengedit untuk kesekian kalinya, saya mengirim melalui e-mail. Setelah itu saya menunggu-nunggu hari minggu seperti seorang siswa menunggu penyerahan rapor dari gurunya. Tapi sayangnya, begitu hari minggu tiba, cerpen saya itu tak terpampang di koran. Saya kecewa, sudah rela melawan kantuk dan lelah untuk mengirimnya, tapi ujung-ujungnya tak dimuat.
Apa mungkin karena tulisan saya itu terlalu tajam dan ditakutkan ada yang tersinggung? Dalam sastra saya memang cenderung pada aliran realisme sosialis. Sebuah aliran sastra yang produk sastranya muncul dari kebobrokan sosial atau patologi. Dalam aliran ini sastra, meski fiksi, merupakan cerminan sebenarnya dari realitas. Contohnya karya-karya Anton Chekov, Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, dan termasuk juga Iwan Fals. Mungkin karena ini maka media tak memuat atau bisa pula ada tulisan lain yang lebih layak dari punya saya. Meski ketika saya baca biasa-biasa saja.
Selain perihal janggal itu, saya juga menyentil perilaku orang tua si karakter dalam cerita itu. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri dan baru peduli pada pendidikan anaknya saat ujian nasional. Sementara hari-hari saat anaknya malas membaca, suka membolos, dan hal-hal tak pantas lainnya jarang mereka perhatikan. Ini juga cerminan yang terjadi akhir-akhir ini. Orang tua terlalu mempercayakan pendidikan anaknya pada sekolah. Padahal pendidikan di sekolah itu, kadangkala, tak dapat diandalkan. Justru di sekolah anak-anak sekarang mengenal rokok, film porno, narkoba dan lainnya. Ada juga sedikit sentilan untuk guru. Seorang guru lelaki masuk ke kelas menolong muridnya dengan memberikan kunci jawaban. Setelah ujian murid-murid datang ke rumahnya membawa oleh-oleh sebagai ucapan terimakasih.
Karena beberapa minggu lalu masih momen ujian nasional (UN), saya tak menyiakan kesempatan. Saya lawan rasa kantuk dan lelah. Saya menuju ke warung kopi terdekat. Setelah mengedit untuk kesekian kalinya, saya mengirim melalui e-mail. Setelah itu saya menunggu-nunggu hari minggu seperti seorang siswa menunggu penyerahan rapor dari gurunya. Tapi sayangnya, begitu hari minggu tiba, cerpen saya itu tak terpampang di koran. Saya kecewa, sudah rela melawan kantuk dan lelah untuk mengirimnya, tapi ujung-ujungnya tak dimuat.
Apa mungkin karena tulisan saya itu terlalu tajam dan ditakutkan ada yang tersinggung? Dalam sastra saya memang cenderung pada aliran realisme sosialis. Sebuah aliran sastra yang produk sastranya muncul dari kebobrokan sosial atau patologi. Dalam aliran ini sastra, meski fiksi, merupakan cerminan sebenarnya dari realitas. Contohnya karya-karya Anton Chekov, Pramoedya Ananta Toer, WS Rendra, dan termasuk juga Iwan Fals. Mungkin karena ini maka media tak memuat atau bisa pula ada tulisan lain yang lebih layak dari punya saya. Meski ketika saya baca biasa-biasa saja.
Tapi saya tak boleh menyerah. Harus mencoba lagi. Saya pernah membaca komentar Ayi Jufridar, penulis novel Putroe Neng, kepada teman saya Nazar Shah Alam, "Pokoknya kita menulis dan membaca saja terus" Intinya dimuat atau tidak bukan urusan kita. Itu urusan redaktur. Kata teman saya yang lain, masing-masing sudah punya pekerjaan sendiri. Penulis bertugas menulis, redaktur bertugas memuat (atau tidak memuat), dan pembaca bertugas membaca. Tapi di antara ketiga ini, menulislah yang paling sulit. Terkadang demi sebuah cerita seorang pengarang harus bergadang. Sementara redaktur hanya memilih saja mana yang cocok. Yang paling enak adalah pembaca. Ketika ia dapati satu atau dua baris tidak menyenangkan, maka dibukanya halaman lain.
Seorang penulis kawakan juga pernah bilang: "Pesanku adalah, jangan terlalu anggap serius setiap penolakan" Kisah-kisah penolakan-penolakan ini juga bagian dari cerita perjuangan para penulis sukses.Semoga semangat saya tak kendur. []