-------

Kamis, 13 Juni 2013

Lambung

Kemarin pagi saya telat makan. Gara-gara itu lambung saya kambuh. Muncul nyeri mulai di pundak hingga ubun-ubun. Ini mencuri energi saya untuk menulis. Harusnya saya sudah menyelesaikan cerpen yang saya garap mulai dua hari lalu.

Saya teringat pepatah Jepang, "gara-gara tak ada paku, tapnal kuda terlepas. Karena tapal kuda terlepas, surat jadi tak sampai. Karena surat tak sampai, kita kalah perang” Makan pagi adalah hal kecil yang kerap saya anggap remeh. Saya suka menunda-nunda hingga perut saya betul-betul teraniaya. Dan ketika itu terjadi, baru saya berangkat ke warung memesan kopi dan kue, bukan nasi. Perut yang lapar disiram kopi adalah penyumbang gangguan lambung.

Harusnya saya menjaga lambung saya apalagi kalau sudah beberapa kali muncul alarm seperti ini. Maunya saya bangun lebih pagi, salat dan memprioritaskan makan. Ada yang mengatakan bahwa makan pagi adalah penentu kualitas hari. Tidak makan pagi bisa membuat hari menjadi buruk. Seperti yang saya alami kemarin.

Saya juga teringat nasihat Anies Baswedan. Anak muda seharusnya sudah selesai dengan urusan dirinya sehingga ia bisa berpikir dan berbuat untuk orang lain. Pertanyaannya, bagaimana kita akan membantu orang lain jika mengurus lambung sendiri saja tidak becus. Waduh (seperti menampar diri sendiri)[]

Jumat, 07 Juni 2013

Berteman Pemurung

Bisa jadi berkawan pemulung itu lebih baik ketimbang berteman pemurung. Beberapa tahun lalu saya dengar siaran radio VOA. Siaran itu menyiarkan temuan baru tentang konsep kebahagiaan. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kebahagiaan bersifat menular. Keluarga yang hidup harmonis dapat menularkan energi positif kepada orang yang tinggal dekatnya atau tetangganya.

Berarti, orang yang dalam hidupnya suka menggalau juga dapat menyebarkan gelombang energi negatif kepada orang di sekitarnya. Saya punya pengalaman menarik. Beberapa hari lalu saya bertemu seorang teman. Saya mengenalnya sebagai penggalau meski saya pernah menasihatinya. Tampak lahirnya, seolah ia telah memonopoli semua duka luka dalam sejarah hidup umat manusia. Di luar alam sadar, saya cuma tersenyum kemudian berlalu, tak ingin ngobrol berlama-lama.

Tanpa saya sadari saya lebih senang pada orang-orang yang bersemangat, ceria dan optimistis. Mungkin kamu juga sama. Lagi pula, siapa dalam hidup yang tidak punya masalah? Dalam sejarah banyak sekali orang yang lebih pedih hidupnya. Sekali waktu, seorang profesor yang mengajar di kelas saya bercerita tentang perjuangannya ketika ia kecil. “Sehari hanya makan dua kali. Pagi harus rebus ubi untuk menghemat beras. Baju cuma yang ada di badan. Ketika ke laut, baju itu dilepas ditaruh dalam perahu kemudian bekerja menarik pukat untuk uang sekolah” katanya. Tapi apakah beliau pemurung? Semangat dan rasa optimistis telah membuatnya menikmati hidup sepantasnya hari ini.

Semua orang punya masalah. Tapi yang penting adalah sikap dan upaya kita untuk keluar dari masalah. Bukan malah menikmatinya dengan meratap sebentar-sebentar, menangis, dan sebagainya. Itu bukan sikap seorang terpelajar. Mungkin perlu dipertanyakan dulu apa yang sebenarnya digalaukan? Jangan-jangan galau persoalan asmara. Aih, betapa konyol persoalan yang satu ini. Saya pernah mengalaminya juga tapi menggalaunya tak lebih satu bulan. Setelah itu saya menutup diri dari asmara karena apa yang saya alami memberi pencerahan bahwa menjalin cinta monyet itu merusak diri. Memang begitu dan akan selalu begitu.

Berdasarkan yang saya lihat, orang-orang pemurung itu adalah orang yang terlalu mengedepankan perasaan ketimbang akal sehat. Hidup ini adalah malapetaka jika kita terlalu menggandalkan perasaan. Ini bukan berarti kita tak boleh murung. Bagaimana pun itu sifat manusia dan sangat manusiawi. Tentu dalam kadar yang tidak berlebihan. Tapi jika murungnya setiap hari kemudian berbulan-bulan atau hampir bertahun-tahun, itu sudah tidak wajar. Ditakutkan gejala ini justru membuat kewarasan kita terganggu gara-gara terlampau jarang memaksimalkan akal sehat.

Kalau kita pulang ke kampung, kita dapati orang-orang (terutama orang melayu) yang rata-rata berprofesi petani berkumpul menikmati kopi di warung-warung. Di sana mereka berkelakar dengan guyon-guyon segar setiap waktu. Coba duduk dan perhatikan, lawakan mereka dapat mengocok perut siapa pun yang paham. Tapi dibalik itu semua mereka punya persoalan-persoalan genting semisal uang dapur, menyekolahkan anak, dan sebagainya. Sesekali kita harus berguru pada mereka. Di satu sisi mereka layak disebut seniman hidup. Hidup ini terlalu indah jika digunakan untuk hal-hal yang men-destroy diri.

Jadi, buat apa berprofesi sebagai pemurung?