Beberapa minggu yang lalu seorang teman bertanya pada saya bagaimana perkembangan sastra di tempat kita, di Aceh. Bagi saya ini adalah pertanyaan yang abstrak. Sama seperti seorang bertanya bagaimana pandangan orang timur terhadap orang barat. Orang timur itu beragam. Orang timur yang mana? Begitu pula dengan sastra. Setiap orang punya interpretasi yang beda. Saya misalnya dalam beberapa hal sependapat dengan Putu Wijaya yang mengatakan bahwa sastra adalah sparring partner atau lawan tinju penguasa. Bagi saya sebuah karya sastra yang ideal itu adalah karya yang bangkit dari realitas sosial yang penuh kebobrokan atau karya-karya yang membela orang-orang tertindas. Sastra model begini juga dikenal dengan realisme sosialis. Aliran sastra yang juga kental pada masa kepopuleran komunisme. Saya sepakat jika seni termasuk sastra dijadikan sebagai alat atau gerobak yang mengangkut "barang" berupa kritikan-kritikan yang menghantam sekaligus menjadi racun untuk revolusi kesadaran. Karya sastra yang hanya berisi keindahan tanpa "isi" hanya akan meninabobokan. Dalam pada ini saya bukan berada dalam falsafah seni modern yakni L'art pour art alias seni untuk seni, tidak untuk alat. Sebuah ungkapan menarik dari Anton Chekov adalah ia menulis dengan tujuan menampakkan kepada orang-orang bahwa betapa konyolnya kehidupan yang mereka jalani. Karya-karya sastra yang mendobrak dan menjadi alat dilahirkan oleh sastrawan kebanggaan saya seperti Pramoedya Ananta Toer, Leo Tolstoy, Kahlil Gibran, dan Anton Chekov. Begitulah selayaknya sebuah karya sastra. Jadi ketika kembali ke pertanyaan bagaimana perkembangan kualitas sastra kita, saya akan menjawab nyaris tidak berkembang. Jarang sekali karya sastra kita mengangkat persoalan-persoalan remeh-temeh namun membuat kita geram. Misalnya tukang parkir yang menawarkan jasa. Kita membayarnya untuk mejaga sepeda motor kita tapi ketika kita bayar mereka memberi kita kupon dengan tulisan kecil "hilang bukan tanggung jawab kami". Contoh lain ketika di kampus dosen jarang masuk. Ia mengabaikan mahasiswa yang menjadi tanggung jawabnya demi proyek lain di luar yang lebih menguntungkan. Bisa pula intimidasi yang dilakukan oleh partai politik tertentu terhadap rakyat kecil atau penipuan dan pembodohan (bisa jadi dalam bentuk janji-janji). Karya sastra idealnya lahir dari persoalan-persoalan begini rupa. Banyaknya ketidakwarasan dalam tindakan manusia dan itu tidak tertuang dalam teks telah menunjukkan kemandulan kualitas sastra kita.[]