-------

Sabtu, 18 Januari 2014

Pembangunan


HIDUP adalah permainan. Kalau kita pergi ke pantai, ada saatnya kita melihat anak-anak bermain pasir. Mereka membangun gunung, istana, atau rumah-rumahan dari pasir. Tak lama kemudian, mereka tendang bangunan pasir itu dan bermain kejar-kejaran. Nanti saat lelah, buat lagi mainan pasir baru.

Hidup adalah permainan juga bagi orang dewasa, yang mengurus kita. Mereka juga main-main juga soal pembangunan. Bahwa pembangunan musti memberi perubahan, mereka mengerti. Buktinya sering betul mereka mengubah-ubah. 

Begitu jalan berlobang, Mereka langsung mengganti dengan aspal baru. Mulus, bisa dijilat kalau kata orang kampung saya. Setelah itu datang orang yang mengurusi air. Mereka rusak itu jalan untuk memasang saluran air. 

Juga di depan KAPOLDA Aceh pernah ada belokan. Saya sering berbelok arah di situ. Tapi kemudian belokan itu ditutup. Saya terpaksa cari belokan lain, lebih jauh. Saya tak mempersoalkan. Kemudian dibuka lagi belokan lain. Sedikit lebih dekat. Dan kemarin sudah ditutup lagi untuk dibuka di tempat baru.

Oh Tuhan! Saya jadi pusing. Apa tidak kasihan kalau saya jadi seperti arwah penasaran yang tak tahu belokan pulang? Orang di negeri antah berantah tak berani cokeh-cokeh sarana publik sembarangan begitu. Mereka punya orang-orang universitas untuk mengukur berapa volume jalan, berapa rata-rata kenderaan lewat per jam, terus baru diputuskan dimana belokan yang pantas. 

Kawan saya mahasiswa Ekonomi Pembangunan. Dia juga bilang, di negeri antah berantah, sebelum jalan diaspal mereka cek dulu akses air. Pasang pipa dulu baru aspal. Di sana kalau mau buat sesuatu memang begitu. Penuh pertimbangan ilmiah. Dilihat ketepatan, untung-rugi, dampak baik-buruk. Semua agar mereka tak tergolong ke dalam golongan merugi.

Tapi itu di negeri orang, Pembaca. Tempat kita beda. Orang kita sudah cerdas-cerdas, dewasa-dewasa. Bangsa teuleubeh ateuh rhueng donya. Untuk apa pertimbangan ini itu. Yang perlu dipertimbangkan adalah jalan pintas masuk sorga. Lain apa perlu dipikir. Donya mandum! [] 









Kamis, 09 Januari 2014

Polem

HAL yang saya kagumi dari Polem adalah kebiasaannya bertanya. Tidak seperti saya, kalau tidak tahu ya diam saja biar tak kelihatan dungu. Dia orang kampung saya. 


Tapi ada juga yang tidak saya senangi darinya. Polem suka memberi kesimpulan aneh dari pertanyaan-pertanyaannya itu. Kemarin saja misalnya. Saya ajak dia ke Banda Aceh. Di luar dugaan saya, Polem sontak takjub. 

"Mobil ini bagus-bagus semua! Ini berapa harganya ni?" Saya langsung menepuk jidat sendiri. "Ini tidak dijual, Polem. Ini mobil punya mahasiswa." 

"Ini kampus? Universitas? Bukannya showroom?" Polem melongo dan mengedipkan mata beberapa kali. "Aduh, Polem jangan gede-gede suara. Malu didengar orang. Ini bukan showroom. Ini universitas."

"Beda universitas dengan showroom apa?" Tanya Polem lagi. Saya menghela nafas. "Coba Polem tebak! Kira-kira perbedaannya apa?" Polem memutar bola mata ke atas dan mengetuk-ngetuk bibirnya dengan telunjuk. Ia mulai berpikir.

"Saya tahu..! saya tahu..! Kalau showroom, tempat pamer mobil untuk dijual. Kalau universitas, tempat pamer mobil tapi mobilnya nggak dijual" Polem tertawa menang. "Betul kan?" 

"Hmm... ada benarnya juga sih. Tapi jangan gede-gede suara Polem. Kalau kedengaran, mereka bisa tersinggung. Tapi yang jelas mereka memang orang-orang berkelas, Polem. Anak orang kaya semua."

"Orang berkelas itu bukannya orang yang mampu menghasilkan sesuatu? Kami tiap tahun menghasilkan padi, menanam tomat, semangka, ada juga yang jahit baju, bikin tampi, bikin rumah. Kami produktif. Kalau mereka, apa yang mereka hasilkan?" Polem tampak penasaran. Mulutnya terbuka.

"Hmm... hmm... Tidak ada sih. Tapi pokoknya mereka berkelas, Polem. Mereka punya mobil, berbaju necis, berpenampilan borjuis. Nggak kayak Polem. Baju ketinggalan zaman, rambut kribo, naik sepeda butut, tinggal di kampung, pergi ke sawah."

"Oh, berkelas itu kalau bisa pamer mobil, berbaju necis, penampilan gaul, bicara bahasa kota, begitu definisi dari 'berkelas' ?"

"Iya, Polem"

"Masa definisi 'berkelas' bagi orang-orang universitas begitu?" 

"Polem ini memang banyak kali tanya!"

"Kita justru harus banyak tanya, biar banyak tahu!" 

"Tapi diam itu emas, Polem."

"Siapa bilang! Diam itu taik."

Pembaca, saya jadi tambah kesal saja ini. Seperti saya katakan di awal, Polem memang suka memberi kesimpulan-kesimpulan aneh. Sore itu dia langsung minta pulang kampung. Katanya, orang-orang di kampung lebih berkelas. [] 







Minggu, 05 Januari 2014

Mahatma Gandhi Tahu Apa!

SAYA senang nonton film India. Hidung artisnya mancung-macung. Pembaca lihat saja Salman Khan, Kareena Kapoor, dan kawan-kawan. Kalau minum kopi, hidung mereka masuk ke dalam gelas. Saya membayangkan waktu mereka sedang flu. Terus ingus meleleh ke dalam kopi. Aih, sedap betul!



Tapi ada juga yang hidungnya mancung dan tidak pernah main film. Pembaca pasti kenal. Namanya Mahatma Gandhi. Kalau ingat kakek berkacamata itu, saya selalu ingat binatang. Ada kata-katanya yang menurut saya berlebihan. Coba Pembaca simak baik-baik. Gandhi bilang begini:

“Kebesaran moral sebuah bangsa dilihat dari cara mereka memperlakukan binatang.”

Kan berlebihan itu, Pembaca? Di tempat kita mana ada begitu! Jangankan binatang, terhadap manusia saja asal-asalan. Dulu ada seorang ibu terpaksa jadi janda. Padahal suaminya cuma penyadap karet. Tapi sudah ditembak gara-gara dikira pemberontak. Yang sadap presiden saja tidak diapa-apain, kok yang sadap karet malah ditembak. Kan nggak lucu!

Terus, kemarin saya baca berita (di sini dan di sini). Lima anak SMA dipukul anggota TNI di Sabang. Mereka atlit surfing. Konon mau memancing tapi lupa minta izin. Pukulannya tidak tanggung-tanggung, Pembaca. Katanya memar dan harus masuk rumah sakit. 

Kenapa bisa begitu? Padahal dulu di SD ibu guru mengajari kita, yang muda kita sayangi, yang tua kita hormati. Kan tidak diajari yang muda kita hajar kalau yang tak tua tak dihormati. Itu pepatah di sekolah dasar, Pembaca. Semua yang pernah bersekolah juga tahu. Kalau Pembaca tidak tahu, sudah cukup di sini saja membacanya.

Nah, itu terjadi di Sabang. Jangan-jangan di Merauke juga begitu. Coba Pembaca bayangkan kalau seandainya dari Sabang sampai Merauke pukul-memukul mewarnai pulau-pulau. Kan kasihan ambulan? Capek meraung terus, bolak-balik ke rumah sakit. 

Jika sedikit-sedikit sudah main pukul, saya bisa bosan jadi Indonesia, Pembaca. Sudah cari kerja susah, koruptor banyak, kena pukul lagi. Kalau memang Mahatma Gandhi serius dengan kata-katanya, lebih baik saya jadi India saja. Toh, hidung saya juga mancung. Mirip-miriplah sama Hritik Roshan.

Rabu, 01 Januari 2014

Kolor Sarjana



SORE itu saya sedang duduk di depan rumah. Tampak awan berarak di langit cerah. Nyiur kelapa tetangga berayun gemulai. Di luar pagar ada rawa-rawa kecil. Berpuluh-puluh biawak berkeluarga di sana. Sering mereka berjemur di pinggir rawa itu. Seperti turis dari Georgia saja.


Biawak-biawak itu bikin saya iri. Mereka pasti bahagia. Seperti dalam lagu dangdut saja. Kalau mau makan silakan, kalau mau minum silakan. Anak-anaknya pun tak bergantung lama pada induknya. Tak lama setelah telur menetas, mereka langsung cari makan sendiri. 

Saya resah dan berkhayal. Tapi apa lacur. Seorang teman memukul pundak saya dan bikin saya kaget. 

“Apa juga sarjana. Ganti kolor saja harus minta uang sama orang tua!”

“Kok kamu tahu?”

“Itu, Saya lihat udah berjemur kolor oranye baru. Kolormu biasanya kan bolong. Mana ada kolormu yang tidak bolong!” 

“Oh... hehe...” Saya terdiam. Beberapa anak biawak bangkit dari rawa-rawa. 

“Memang sih, anak-anak biawak itu hidup mandiri. Tapi saya kan bukan biawak. Lagi pula kamu pikir kita ini dididik untuk dapat hidup mandiri? Tidak. Dan ada satu lagi yang paling penting ... ”

“Apa?”

“Kamu pasti tidak pernah baca naskah drama Manusia Adimanusia karya Bernard Shaw.” 

“Orang Inggris peraih nobel sastra itu? Tau saya. Memang sih dia orang barat. Tapi tidak semua orang barat itu tolol. Begitu pula tak semua orang arab itu lugu. Jahat-bajik, buruk-baik, ada di mana saja. Bahkan dalam diri kita”

“Sedap! Tumben kamu ngomong begitu! Terus, dia bilang apa kalau memang kamu tahu?”

“Jangan ngetes saya. Saya punya naskahnya. Saya hafal bahkan. Nih, pasang kuping baik-baik. Ini kata-kata si Tanner, tokoh paling nakal dalam drama itu,

Universitas, Tav, bukan Oxford, Cambridge, Durham, Dublin, atau Glasgow, atau sebangsanya. Tapi ini Politeknik, universitas yang sesungguhnya, Tav. Bukan sekedar tempat PEMBENTUKAN KELAS SOSIAL seperti universitas-universitas kita.

“Terus?”

“Ada lanjutannya lagi. Tapi aku lupa. Intinya, kalau alumni politeknik―katakanlah seorang mekanik―jika mobilnya rusak, ia senang. Dengan keadaan itu ia bisa jadi jentelmen. Ia dapat menunjukkan kepiawaiannya dengan memperbaiki mobil. Tapi kalau alumni universitas? Lihat aja sendiri!”

“Tumben orang kampung lebih pandai dari sarjana” Saya bergumam. 

Ia terdiam. Biawak makin ramai naik ke jalan. Ada yang mencari makan, ada yang berjemur. Kawan saya menguap lalu berkata,

“Makanya besok-besok, kalau mau ganti kolor, pinjam punya saya saja.”

“Oh Tuhan”

Dia lalu mendekat ke telinga saya dan berbisik pelan, 



“Dijamin nggak bolong.”