-------

Jumat, 21 Februari 2014

Polem Pergi Jihad

BUKAN kabar baru kalau Polem punya cita-cita belajar nuklir. Katanya, biar negara lain tak berani sembarangan. 


Pernah terlintas dalam benak Polem untuk ke Iran. Ia sangat kenal dengan Ahmadinejad. Dulu lelaki tak berdasi itu sering muncul di koran. Ia terkenal dengan isu nuklir. Polem juga mau terkenal begitu. Tapi niat Polem jadi urung. Iran itu syiah. Ia takut nanti dijuluki syiah. 

Polem lalu merubah haluan cita-citanya. Ia ingin ke Amerika saja. Niatnya sudah mantap. Amerika terkenal dengan senjatanya. Tapi sejenak Polem terpikir. “Tapi apa mungkin Amerika mengajari ilmu nuklir untuk orang lain?” Tapi yang paling mengkhawatirkannya, ia bisa diberi label liberal

Akhirnya Polem tidak jadi bercita-cita ke Amerika. Lebih baik ke Arab Saudi saja, sekalian naik haji. Tapi apa lacur! Setelah berpikir beberapa saat, Polem geleng-geleng kepala juga. “Tidak, tidak. Arab Saudi tak terkenal dengan nuklirnya.” Selain itu, ia bisa diberi label baru lagi nanti, wahabi

Akhirnya Polem sepakat dengan pendapat orang kampungnya. Bahwa cuma di kampungnya lah ilmuan-ilmuan hebat dunia berada. Polem pun akhirnya sadar. Untuk mempelajari nuklir, ngapain jauh-jauh ke Amerika, Iran atau Arab Saudi. Tinggal ambil parang, potong bambu kira-kira 1,5 lalu beri lobang kecil. Polem menaruhnya di pinggir sungai. Di dalam bambu yang telah ia olah itu, ia isi minyak tanah. Polem meniup-niup lobang kecil itu beberapa kali. Lalu menyelipkan api dengan tongkat kecil pada lobang itu. Polem berteriak. “Mati kau Amerika!” 

“Bhomm....” terdengar suara menggelegar. 

Di hari lain, Polem menggantikan minyak dalam bambu itu dengan air. Ia tak perlu meniup-niup lagi. Tinggal memasukkan beberapa keping karbit dan memancing gelegar dengan tongkat yang ujungnya berapi. 

“Mati kau Israel!” 

“Bhoomm...” Suara nuklir Polem semakin menggelegar.

Lama-kelamaan orang mulai ikut-ikutan. Mereka bikin juga nuklir dari bambu. Ternyata nuklir bambu itu cepat tersebar dan terkenal ke segala penjuru. Bahkan sampai ke telinga orang-orang manca negara. 

Pada suatu hari bule-bule datang menonton, termasuk yang dari Amerika. Mereka berdiri dekat Polem dan melihatnya memasukkan karbit dalam bambu.

“Bhoom...” 

Bule-bule itu bertepuk tangan. Polem tersenyum dan semakin bersemangat. Ia melakukan hal yang sama berulang kali. Menjelang sore, bule-bule itu singgah di sebuah warung kopi dan memesan Coca Cola

Saat akan azan magrib, Polem berhenti. Keringat membaluri wajahnya. Ia pulang dan lewat di depan warung kopi.

“Pulang jihad, Pak?” sapa si Bule.

“Iya nih!” Ucap Polem penuh bangga. []



Senin, 10 Februari 2014

Bendera Partai

POLEM teringat kata-kata seorang teman lama, “Hidup adalah lelucon bagi mereka yang mengandalkan rasio dan malapetaka bagi mereka yang mengandalkan perasaan”. Polem tak terlalu paham. Bagi Polem sederhana saja memahaminya: kalau berpikir, jangan dengan perasaan, tapi (sekurang-kurangnya) dengan akal sehat dan hati nurani. Dan bagi Polem, yang terpenting itu lucu. Hidup itu harus lucu. Seperti lirik lagu Iwan Fals, “Hidup sudah susah, ngapain dibikin susah!”

Soal bendera misalnya. Itu lucu. Polem senang. Ada hiburan gratis. Apalagi setelah bertahun-tahun hidup dalam konflik. Untuk tertawa, sulit. Sekarang Polem menikmati itu.

Polem bercerita pada saya, Pembaca. Ada dua tetangganya orang partai. Apa Ta’ak berpartai Asam Sunti (PAS), dan Apa Kapluk berpartai Pliek U (PPU). Nah, ketika Apa Ta’ak sedang tidur, Apa Kapluk bangun dan mencabut bendera Partai Asam Sunti di pagar di pinggir jalan. Tentu saja itu membuat Apa Ta’ak geram. Besoknya Apa Ta’ak melakukan hal yang sama, menyembunyikan bendera Partai Pliek U.

Ini mengingatkan Polem pada masa kecil dulu. Di tempat mengaji, ia menyembunyikan sandal Rabumah. Di hari lain, Rabumah menyembunyikan sandalnya. Mereka berdua ditertawakan dan ikut tertawa. Ketia dewasa, Rabumah kemudian bersatu dengan Polem dalam mahligai percintaan. Seperti dalam Cinderella saja!

Polem pun jadi curiga. Jangan-jangan main cabut dan menyembunyikan bendera itu ciri-ciri mereka akan kawin. Tapi bagaimana mungkin Apa Ta’ak akan kawin dengan Apa Kapluk? Mereka sama-sama lelaki. Polem tertawa. “Mungkin partainya yang akan kawin.”

Tapi apa lacur, ketika Polem baca berita kemarin, ia terperanjat dan ketakutan. Di sebuah daerah, ada yang meninggal gara-gara bendera partai. Katanya dikeroyok. Kok bisa? Polem mengelus-elus dada. Nyawa kok tak ada harga hanya karena bendera, demi secuil kekuasaan!

Polem pun bergumam:

“Itulah kalau mengandalkan perasaan dalam membuat keputusan. Ketika perasaan benci, keputusannya ya hantam alias sipak trom. Aduhai bangsaku! Lelucon macam apa ini! Kenapa membuang akal sehat? Kenapa tak mendengar hati nurani?”

Polem mengelap ingus. []