“Sudah 2014 tapi belum punya facebook!” sindir saya pada Polem suatu sore. Tapi tentu saja Polem tetap keras kepala. Disindir atau tidak, tak memberi pengaruh apa-apa. Malah Polem yang menceramahi saya.
“Kau pikir hidup kita lebih baik setelah ada facebook?” ucap Polem sambil membetulkan gagang cangkulnya yang lepas.
“Tapi itu salah satu penemuan mutakhir, Polem. Menghubungkan orang dari satu benua dengan benua lain”
“Iya. Tahu saya. Saya tahu si Mark Zuckerberg itu. Saya baca di koran. Jangan anggap saya ini kampungan. Kampungan itu orang yang tak membaca!”
Melihat wajah saya pucat, Polem jadi lembut lagi. “Tapi saya pesimis dengan ciptaannya itu. Tidak cocok untuk kita. Kau lihat saja kemana facebook digunakan orang kita. Apa kita jadi lebih kompak dengan adanya facebook? Apa manusia bisa memahami keadaan manusia lain dengan jejaring itu?” Polem membuang ludah.
“Apalagi di musim politik begini. Facebook ya jadi alat menjelek-jelekkan. Menyebar berita murahan! Merebut massa dengan cara menipu. Dan massa pun mau ditipu, mau percaya pada media-media tak jelas. Media yang jelas saja kini sudah tak jelas. Apalagi media yang tak jelas!” Polem mengetes cangkulnya.
“Bagaimana Polem tau? Polem kan tak punya facebook”
“Jangan kau anggap orang kampung yang tak punya facebook itu bodoh! Kalau facebook atau sejenisnya hanya untuk menyebarkan berita-berita baik-baik tentang diri sendiri dan mencari-cari serta menebarkan keburukan orang lain, lebih baik aku begini saja. Sebuah cangkul untuk membantu menghasilkan padi lebih bermanfaat ketimbang facebook yang canggih tapi untuk membuat kacau umat manusia!”
“Tapi Polem...”
“Apa tapi-tapi?! Mau bilang aku kampungan gara-gara aku tak ada facebook? Justru yang takut pegang cangkul yang kampungan. Ketinggalan zaman!”