-------

Selasa, 25 Maret 2014

Cangkoi

“Sudah 2014 tapi belum punya facebook!” sindir saya pada Polem suatu sore. Tapi tentu saja Polem tetap keras kepala. Disindir atau tidak, tak memberi pengaruh apa-apa. Malah Polem yang menceramahi saya. 


“Kau pikir hidup kita lebih baik setelah ada facebook?” ucap Polem sambil membetulkan gagang cangkulnya yang lepas. 

“Tapi itu salah satu penemuan mutakhir, Polem. Menghubungkan orang dari satu benua dengan benua lain” 

“Iya. Tahu saya. Saya tahu si Mark Zuckerberg itu. Saya baca di koran. Jangan anggap saya ini kampungan. Kampungan itu orang yang tak membaca!” 

Melihat wajah saya pucat, Polem jadi lembut lagi. “Tapi saya pesimis dengan ciptaannya itu. Tidak cocok untuk kita. Kau lihat saja kemana facebook digunakan orang kita. Apa kita jadi lebih kompak dengan adanya facebook? Apa manusia bisa memahami keadaan manusia lain dengan jejaring itu?” Polem membuang ludah.

“Apalagi di musim politik begini. Facebook ya jadi alat menjelek-jelekkan. Menyebar berita murahan! Merebut massa dengan cara menipu. Dan massa pun mau ditipu, mau percaya pada media-media tak jelas. Media yang jelas saja kini sudah tak jelas. Apalagi media yang tak jelas!” Polem mengetes cangkulnya. 

“Bagaimana Polem tau? Polem kan tak punya facebook” 

“Jangan kau anggap orang kampung yang tak punya facebook itu bodoh! Kalau facebook atau sejenisnya hanya untuk menyebarkan berita-berita baik-baik tentang diri sendiri dan mencari-cari serta menebarkan keburukan orang lain, lebih baik aku begini saja. Sebuah cangkul untuk membantu menghasilkan padi lebih bermanfaat ketimbang facebook yang canggih tapi untuk membuat kacau umat manusia!”

“Tapi Polem...”

“Apa tapi-tapi?! Mau bilang aku kampungan gara-gara aku tak ada facebook? Justru yang takut pegang cangkul yang kampungan. Ketinggalan zaman!” 



Selasa, 04 Maret 2014

Aceh Bak Mata Polem

SAMBIL membuka-buka halaman koran, dua mata Polem menyorot saya di balik kacamatanya yang besar. Saya bertanya:

“Polem, kenapa kejadian-kejadian di Aceh seperti di film Holliwood?”

“Maksud kamu apa?”

“Ya banyak pukul-memukul, tembak-menembak”

“O itu?” Polem terkekeh. Ia melipat koran. “Itu tanda-tanda bahwa kita ini hebat!” Polem bersendawa. 

“Di Holliwood, aktor-aktor hanya berani dalam film. Sebut saja siapa misalnya Tom Hank, Brad Pitt, Cristian Bale. Mereka cuma berani di depan kamera! Di tempat kita beda. Real! Kan hebat. Kita Selangkah lebih maju dari Holliwood”

“Tapi... tapi orang-orang bisa meninggal, Polem!”

“Bukan meninggal. Mampus.”

“Iya, Polem. Maksud saya itu!”

“Itu sudah risiko. Risiko menjadi hebat. Seorang juarawan mempertaruhkan banyak hal untuk jadi juara. Begitu pula ketika kita ingin menang bersaing dengan holliwood.”

Polem mengeluarkan korek dari saku dan membakar rokok yang sudah terselip di bibir. 

“Itu sebuah pertanda. Tanda-tanda kita sedang mendekati kemajuan. Kita harus mengalahkan siapa saja. Harus menjadi juara.” 

“Tapi Polem...”

“Tapi Apa?”

“Ada kabar kemarin kita juara 1 korupsi se-Sumatera”

“Iya. Bagus itu! Yang penting juara”

“Tapi Polem, Jerman, Jepang, Korea, mereka juara di bidang teknologi”

“Iya. Yang penting juara. Antara juara 1 bidang teknologi dan juara 1 bidang korupsi kan beda tipis. Yang penting bersyukur!”