“Sudah beberapa minggu kamu tidak menulis di blog. Kenapa?” tanya Polem tanpa melihat ke wajah saya.
“Polem diam dan murung terus. Saya jadi tak ada bahan. Jadi caleg gagal itu biasa, Polem. Janganlah terlalu dipikirkan begitu.”
“Kau jangan sok-sok menggurui aku! Kalau kau mau menulis, tulis saja terus. Jangan kau khotbahi aku pagi-pagi”
“Maaf, Polem. Maaf! Kalau Polem tak bicara, saya tak ada bahan untuk saya tulis”
“Kenapa tidak kau tulis tentang caleg. Tulis saja begini, jadi caleg itu tidak mudah. Tak semudah menjadi artis. Kalau mau jadi aktor, kau tinggal mengasah baik kemampuan acting-mu dan ikut casting. Tapi kalau caleg, jangan coba-coba! Baik saja tidak cukup. Harus punya ini ...” Polem menggesek-gesek telunjuk dengan ibu jari.
“Tak usahlah kita bicara soal moral. Sekarang dengan uang, semua jadi baik. Modal, Dek Gam. Modal yang bicara. Tergantung seberapa banyak modal yang kau keluarkan. Aku misalnya, percuma yang kupelajari dari buku-buku ilmu politik dan ilmu sosial. Walau aku punya niat baik, punya pengalaman memimpin, pengetahuan yang mumpuni, tetap saja aku bakal kalah oleh caleg minyak goreng, caleg kain sarung dan caleg daging meugang.” Polem menghela nafas. “Modal, Dek Gam. Modal.” Ia menggesek-gesek lagi telunjuk pada ibu jari.
“Kau tulis juga tentang suara-suara yang hilang. Dari sepuluh suara, dihapus satu jadi nol. Begitu juga sebaliknya. Kalau ada seratus suara tinggal tambah nol satu, jadi seribu. Gampang saja Dek Gam. Sekarang yang kau perlukan adalah uang, suara yang garang, dan sedikit rasa tidak tahu malu. Itu Dek Gam. Kau tulis nanti di blogmu begitu.” Nafas Polem tersengal-sengal seperti orang dikejar hiu.
“Baik, Polem. Nanti kalau ada waktu saya akan tulis begitu. Tenang Polem. Tenang!”