Teruntuk
Nenekku di tempat!
Apakabar,
Nek? Semoga Nenek dikaruniai umur panjang dan selalu dalam keadaan sehat walafiat.
Nek,
tentu cucumu ini tidak menyesal sebab tidak terlintas dalam pikiran nenek untuk
mencalonkan diri menjadi presiden. Aku tahu, itu tidak lebih penting dari
stamina nenek.
Selama
musim kampaye ini, Nek, orang-orang suka menulis surat terbuka. Semua menulis
untuk orang-orang besar. Untuk calon presiden, untuk tokoh politik, untuk
pemimpin partai dan lainnya. Tapi untukmu, Nek, tidak pernah ada surat untukmu.
Aku sedih sekali!
Maka
hari ini Nek, jangan nenek kecewa. Aku akan menulis surat ini untuk nenek. Agar
nenek tahu, masih ada orang yang peduli dan mau menulis surat untuk seorang yang
dianggap tidak penting dalam musim kampanye seperti ini.
Nek,
mungkin nenek tidak tahu apa itu twitter, facebook, youtube, blogspot, internet
dan sebagainya. Beberapa kali engkau mengaku diri bodoh, tidak mengerti
teknologi. Tidak jarang aku melihat engkau menunjukkan kekaguman sekaligus sikap
minder saat melihat aku dengan canggihnya memainkan tablet, laptop, dan
smartphone.
Tapi
nenek jangan salah. Teknologi yang canggih, Jejaring sosial yang mutakhir, itu tak
semata-mata bermakna kami lebih pandai darimu, Nek. Benda-benda itu tidak
membuat kami tahu lebih banyak, tidak membuat kami lebih terampil dalam
berpikir, tidak membuat kami saling kenal dan akrab.
Nek,
apalah arti dari perangkat-perangkat ini jika hanya membuat kami lebih lihai
dalam menghujat apalagi ikut menggunakan label-label agama untuk mencerca, hanya
karena dorongan nafsu yang sesaat.
Aku
teringat pesan nenek dulu. Jangan jadi seperti lumo kap situek. Atau dalam bahasa kami yang lebih canggih, “Don’t
jump on the band wagon”. Artinya sama saja: jangan ikut-ikutan tanpa tahu apa
dibalik ini semua. Tanpa mau mempelajari apa akhir dari ini.
Tidak
seperti engkau dan orang-orang terdahulu, kami adalah orang-orang yang tidak
punya sikap, Nek. Tidak mandiri dalam berpikir. Kami ikut orang ramai. Kemana
angin lebih kencang berhembus, ke sanalah kami bergerombol.
Nek,
jangan nenek menganggap kami cerdas dan pintar-pintar. Otak kami ini gersang
sehingga tak mampu melahirkan argumen-argumen jernih. Akibatnya, energi dalam
otak kami ini terkuras untuk mencaci dan mencerca. Kalau Aku di posisi nenek
mungkin Aku akan menyebutnya, generasi yang otaknya tak bekerja.
Beginilah
Nek. Kami terlihat canggih dalam bergaya, terlihat suci dalam berbicara. Tapi
isi di kepala tidak ada. Kami tidak belajar cara menyaring informasi. Kami tak bisa membedakan mana opini, mana persepsi, mana asumsi, dan mana fakta. Kami hanya mau mendengar
yang baik-baik saja tentang diri kami. Tentang kelompok kami. Segala keburukan
seolah ditakdirkan milik orang lain semata. Milik musuh kami. Kami ini
orang-orang yang sombong, Nek. Kami telah mengkultuskan diri paling suci.
Sering
pula kami bersikap seolah-olah kami ini seorang pengamat politik ulung padahal cuma
meniru dan ikut persepsi orang lain, padahal otak kami kosong dan tidak tahu
apa-apa.
Begitulah
kami ini, Nek. Maka jangan nenek heran jika selama bertahun-tahun lamanya kita nyaris
tidak melahirkan orang-orang yang dithee
le kaphe. Jangan heran jika yang pandai cuma bertengkar dengan sesama dan
saling curiga. Kami bangga menutup-nutupi kebodohan diri yang
padahal terlihat menganga dari cara kami bersikap.
Begitulah
isi surat ini Nek. Nenek jangan bersedih lagi. Semoga nenek dan Aku diberkahi
umur dan kita bisa bertemu lagi di hari lebaran nanti. Selamat malam, Nenek.
Cucumu sudah mengantuk. Adek bobok dulu ya, Nek!
Bye
...
Ilustrasi: http://ceritakudaninspirasiku.blogspot.com/2013/01/kisah-penuh-hikmah-nenek-si-pemungut.html
Ilustrasi: http://ceritakudaninspirasiku.blogspot.com/2013/01/kisah-penuh-hikmah-nenek-si-pemungut.html