-------

Selasa, 01 Juli 2014

Surat Terbuka Untuk Nenek

Teruntuk Nenekku di tempat!

Apakabar, Nek? Semoga Nenek dikaruniai umur panjang dan selalu dalam keadaan sehat walafiat.

Nek, tentu cucumu ini tidak menyesal sebab tidak terlintas dalam pikiran nenek untuk mencalonkan diri menjadi presiden. Aku tahu, itu tidak lebih penting dari stamina nenek.

Selama musim kampaye ini, Nek, orang-orang suka menulis surat terbuka. Semua menulis untuk orang-orang besar. Untuk calon presiden, untuk tokoh politik, untuk pemimpin partai dan lainnya. Tapi untukmu, Nek, tidak pernah ada surat untukmu. Aku sedih sekali!

Maka hari ini Nek, jangan nenek kecewa. Aku akan menulis surat ini untuk nenek. Agar nenek tahu, masih ada orang yang peduli dan mau menulis surat untuk seorang yang dianggap tidak penting dalam musim kampanye seperti ini.

Nek, mungkin nenek tidak tahu apa itu twitter, facebook, youtube, blogspot, internet dan sebagainya. Beberapa kali engkau mengaku diri bodoh, tidak mengerti teknologi. Tidak jarang aku melihat engkau menunjukkan kekaguman sekaligus sikap minder saat melihat aku dengan canggihnya memainkan tablet, laptop, dan smartphone.

Tapi nenek jangan salah. Teknologi yang canggih, Jejaring sosial yang mutakhir, itu tak semata-mata bermakna kami lebih pandai darimu, Nek. Benda-benda itu tidak membuat kami tahu lebih banyak, tidak membuat kami lebih terampil dalam berpikir, tidak membuat kami saling kenal dan akrab.

Nek, apalah arti dari perangkat-perangkat ini jika hanya membuat kami lebih lihai dalam menghujat apalagi ikut menggunakan label-label agama untuk mencerca, hanya karena dorongan nafsu yang sesaat.

Aku teringat pesan nenek dulu. Jangan jadi seperti lumo kap situek. Atau dalam bahasa kami yang lebih canggih, “Don’t jump on the band wagon”. Artinya sama saja: jangan ikut-ikutan tanpa tahu apa dibalik ini semua. Tanpa mau mempelajari apa akhir dari ini.

Tidak seperti engkau dan orang-orang terdahulu, kami adalah orang-orang yang tidak punya sikap, Nek. Tidak mandiri dalam berpikir. Kami ikut orang ramai. Kemana angin lebih kencang berhembus, ke sanalah kami bergerombol.

Nek, jangan nenek menganggap kami cerdas dan pintar-pintar. Otak kami ini gersang sehingga tak mampu melahirkan argumen-argumen jernih. Akibatnya, energi dalam otak kami ini terkuras untuk mencaci dan mencerca. Kalau Aku di posisi nenek mungkin Aku akan menyebutnya, generasi yang otaknya tak bekerja.  

Beginilah Nek. Kami terlihat canggih dalam bergaya, terlihat suci dalam berbicara. Tapi isi di kepala tidak ada. Kami tidak belajar cara menyaring informasi. Kami tak bisa membedakan mana opini, mana persepsi, mana asumsi, dan mana fakta. Kami hanya mau mendengar yang baik-baik saja tentang diri kami. Tentang kelompok kami. Segala keburukan seolah ditakdirkan milik orang lain semata. Milik musuh kami. Kami ini orang-orang yang sombong, Nek. Kami telah mengkultuskan diri paling suci.

Sering pula kami bersikap seolah-olah kami ini seorang pengamat politik ulung padahal cuma meniru dan ikut persepsi orang lain, padahal otak kami kosong dan tidak tahu apa-apa.

Begitulah kami ini, Nek. Maka jangan nenek heran jika selama bertahun-tahun lamanya kita nyaris tidak melahirkan orang-orang yang dithee le kaphe. Jangan heran jika yang pandai cuma bertengkar dengan sesama dan saling curiga. Kami bangga menutup-nutupi kebodohan diri yang padahal terlihat menganga dari cara kami bersikap.

Begitulah isi surat ini Nek. Nenek jangan bersedih lagi. Semoga nenek dan Aku diberkahi umur dan kita bisa bertemu lagi di hari lebaran nanti. Selamat malam, Nenek. Cucumu sudah mengantuk. Adek bobok dulu ya, Nek!