Oleh Putra Hidayatullah
Kalau kita mulai dari yang paling mendasar, kita akan sadar bahwa manusia telah dilahirkan dalam keadaan lemah dan kosong. Dari kekosongan dan kedhaifan ini kemudian ia tumbuh. Mungkin akan sangat cocok bila hal ini kita analogikan dengan sebuah kaset yang lambat laun akan merekam segala yang dirasakan oleh indra, baik itu ucapan-ucapan, ajaran, maupun sugesti lainnya. Segala bentuk sugesti itu kemudian membentuk diri seseorang. Refleksi dari setiap sugesti ini akan menentukan kualitas manusia baik itu positif maupun negative yang di akhirnya juga akan menentukan bagaimana peradaban sebuah bangsa. Manakala manusianya hidup sebagaimana seharusnya maka akan lahir sebuah peradaban yang mungkin dikenang oleh generasi berikutnya.
Berbicara tentang peradaban ini akan mengingatkan kita pada fakta bahwa Aceh adalah tanah warisan endatu yang juga pernah memiliki peradaban yang gemilang di masa lampau. Siapa yang tidak pernah mendengar nama Iskandar Muda, seorang raja yang namanya hingga hari masih dikenang dan masih saja menjadi bahan diskusi beberapa teungku-teungku di hampir setiap warung kopi. Pembicaraan tentang kejayaan masa lalu ini tidak akan habisnya dan ini adalah salah satu ciri khas orang Aceh. Sadar atau tidak hal ini menyiratkan bahwa mereka punya secercah keinginan untuk menjadi lebih baik.
Untuk membentuk peradaban yang mumpuni dan mengarah kepada humanisme perlu adanya kualitas manusia baik yang berbasis spiritual, moral dan intelektual yang hanya bisa diwujudkan melaui melalui proses pendidikan.
Dinamika yang terjadi dalam dunia pendidikan seperti pergantian kurikulum yang beberapa kali dilakukan adalah merupakan upaya yang dilakukan pemerintah dalam orientasi dan tujuan yang berupa “Behaviour Change”, perubahan sikap untuk menjadi lebih baik. Karena itu tidak salah jika ada tokoh yang mengatakan bahwa pendidikan itu adalah memanusiakan manusia menjadi manusia. Instrument behavior change inilah yang seharusnya telah berperan di negeri ini manakala tingkat pelanggaran norma-norma, tindakan asusila semakin merajalela. seperti korupsi, penipuan, politik kotor, saling menghujat dan lain-lain.
Contoh dari kasus di atas tidak jarang kita temukan dalam keseharian kita. Bahkan jika kita telisik lebih dalam,setiap hari ada saja yang sedang melakukan pelanggaran. Kemudian sesekali muncul kepermukan layaknya fenomena gunung es di tengah lautan seperti kasus pembocoran soal UN, suap menyuap dan nepotisme. Beginilah konsekuensi logis dari “penganaktirian pendidikan”. Persis sekali seperti yang dilantunkan oleh Iwan fals, “Pendidikan adalah anak tiri yang kesepian”. Pendidikan seperti sebuah bentuk yang mulai kehilangan esensi. Alih-alih untuk memanusiakan manusia, malah banyak output dari pendidikan itu menjadi actor dalam banyak kejahatan.
Di pertengahan abad 16, seorang filsuf dan negarawan asal Inggris, Francis Bacon pernah mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan telah beralih fungsi dari pencarian kebenaran berubah kearah pencarian kekuatan. Bacon mencoba menggambarkan bagaimana proses distorsi orientasi pendidikan yang saat itu terjadi.
Bukan bermaksud meniru pernyataan seorang Bacon, namun bau tidak sedap ini seperti mulai tercium dari realita yang terjadi di tengah-tengah hiruk-pikuk atmosfir sosial. Fungsi utama dari ilmu pengetahuan seperti mulai lari dari konteks yang sebenarnya. Distorsi pendidikan hari ini juga terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat aceh. Kalau Francis Bacon mengungkapkan fenomena dari pencarian kebenaran menuju pencarian kekuatan (untuk berperang), hari ini mungkin kita juga bisa mengatakannya dengan “ilmu pengetahuan yang pada hakikatnya memanusiakan manusia menjadi manusia telah beralih fungsi dari pencarian kebenaran menuju pencarian reputasi, harta, dan jabatan yang belum tentu membuat manusia benar-benar bersikap sebagaimana layaknya manusia”.
Di lain sisi, salah satu warisan unik dari pendidikan kita adalah sebuah sikap yang tidak menghargai intelektual. Lihat saja keadaan pemudanya yang rela mengabiskan waktu untuk bermain poker , facebook, domino dan lainnya. Belum lagi di jalanan yang penuh dengan bunga-bunga cinta apa lagi di malam minggu. Lihat saja berapa orang yang menggunakan waktu untuk membaca ketimbang menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak bermanfaat. Percaya atau tidak, lambat-lambat laun perjalanan manusia mulai mengarah kepada hedonisme.
Hal ini terjadi karena sebuah mindset yang telah menjadi falsafah hidup dan selanjutnya merubah orientasi hidup menjadi begitu sempit dan hampa. Track hidup pun menjadi begitu mudah terlihat dan instan untuk ditebak. Lahir, sekolah, kerja dan nikah. Sepertinya beginilah siklus eksistensi bangsa endatu yang mulai berlangsung turun temurun. Kalau kita kaji lebih dalam, ini adalah sebuah bentuk pengebirian dan pelanggaran yang dilakukan manusia hari ini untuk dirinya sendiri. Potensi-potensi dasar seperti kasih sayang, saling menghormati, persaudaraan, dan kesadaran untuk mengembangkan diri serta potensi manusia dan sifat kemanusiaan lainnya menjadi mati dan tergantikan dengan sikap egois untuk kepentingan diri dan keluarga sendiri, yang sangat mungkin mengarah kepada nepotisme dan akhirnya berbuah apatisme. Seolah-olah ada pesan abstrak yang tersirat dalam alam pikiran manusia bahwa kita harus berlomba-lomba untuk menjadi kaya raya agar kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Akibatnya cara-cara instan akan dilakukan dengan mengabaikan proses yang pada hakikatnya menjadi pembentuk jiwa yang bijaksana. Misalnya ketika saatnya menyelesaikan jenjang pendidikan di perguruan tinggi, di sana akan ada beberapa calon “sarjana” yang menyewa otak orang lain dan membayarnya dengan jumlah nominal yang tidak sedikit demi tercipta sebuah skripsi untuk melicinkan perjalanan menuju masa depan yang lebih baik.
Fenomena sosial yang tidak mengenakkan mata hari ini walau bagaimanapun adalah warisan dari pendidikan dan seyogyanya kita tidak mudah tertipu dengan slogan-slogan bias. Butuh penglihatan yang intens untuk bisa menguak hal-hal yang tidak terlihat dengan mata biasa dan dengan itu mudah-mudahan bisa menjadi batu loncatan untuk perubahan terutama dalam diri setiap individu.
Untuk mencapai tujuan dan pendidikan tak teranaktirikan, maka juga perlu sentuhan dari setiap kita. Alangkah indahnya manakala yang tua menjadi guru bagi yang muda dan yang muda juga menjadi guru bagi sesamanya tanpa diiringi sikap saling menggurui.
Pendidikan bukan sekedar pengajaran. Tapi ia lebih dari itu, pendidikan adalah bimbingan dan tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan tetapi kepribadian /akhlaqul karimah bahkan untuk tujuan itu Rasulullah Muhammad saw diutus.
Dimuat di Harian Aceh, 12 Juli 2010
0 comments
Posting Komentar