-------

Rabu, 23 November 2011

Menteri Pemberdayaan Lelaki

MENDENGAR wanita turun ke jalan memperjuangkan  macam-macam hak, hak menyampaikan pendapat, hak memilih, hak berpolitik, dan hak-hak lain membuat hati Bang Lara jadi iri. Konon mereka perlu diberdayakan. Karena itu pada kabinet almarhum Soeharto ada menteri pemberdayaan perempuan. Khusus mengurus persoalan perempuan: mulai dari dapur hingga kasur.

Mengapa pemberdayaan laki-laki tidak ada ya? Padahal, seringkali laki-laki yang tidak berdaya; buktinya obat kuat saja dijual untuk laki-laki bukan perempuan. Mulai dari akar rahwana sampai pineung nyen. Bang Lara jadi heran!

Di beberapa tempat, ada hal lain yang melukiskan ketidakberdayaan ini. Seorang perempuan misalnya, di pagi juling (dari pada buta lebih baik juling) sudah bangun dan bergerak. Mencuci piring, memasak, menyiapkan makan pagi, membersihkan rumah, memandikan anak-anak, menyisirkan rambut bahkan ada yang sampai harus mengantarkan mereka ke sekolah. Sementara suaminya kadangkala masih berdengkur dan terbuai oleh mimpi-mimpi indah.

Drama hidup ini kadangkala dilakonkan secara tajam dan kontras. Saat matahari belum sempurna terbit, beberapa perempuan perkasa sudah berada di sawah untuk  teuupah seumula (Menanam padi orang lalu diberi upah selayaknya). Saking paginya mereka berangkat, perempuan-perempuan ini harus membawa nasi sendiri dari rumah. Nanti mereka memakannya di pematang sawah, setelah separuh bekerja. 

Sementara laki-laki/suami asik mengepulkan asap rokok di warung kopi sambil peh tem. Biasanya  peh tem ini selalu disertai cet langet. Seperti Apa Kasem yang suka mengkritik pemerintah, bahkan dalam sehari saja dia dan teman-teman mampu berkali-kali menurunkan presiden. Sungguh terlalu! Ngopi  sambil peh tem  ini bisa berlangsung berjam-jam, dari pagi hingga siang.

Sepulang dari sawah, perempuan-perempuan perkasa itu tidak istirahat dulu. Terkadang mereka harus memasak, menyiapkan bekal makan siang untuk anak dan suami. Saat jadwal makan siang tiba, Apa Kasem dan beberapa temannya pulang “Dinas” (Peh tem dan ngopi). Di meja makan ia melihat wajah lelah dan muram istrinya. “Kayaknya udah boleh cari istri baru nih!” Apa Kasem membatin sambil melahab nasi kuah leumak berlauk ikan asin.

Di kampung Bang Lara sendiri, jarang ada wanita yang duduk-duduk tanpa kegiatan. Ada saja kegiatan paling tidak bergosip. Sebut saja seperti dalam seumula. Tak bosan-bosan perempuan-perempuan itu mencari topik terkini untuk diperbincangkan. Mulai dari si Surti yang emas kawinnya cuma seperangkat laptop rusak sampai pada si Putra, sarjana ganteng yang tak ada kerja. Mereka begitu aktif dalam hal apa pun. 

Namun di kebanyakan desa, lelaki yang menghormati perempuan terancam punah. Mereka semakin tidak berdaya untuk melakukan itu. Tidak jarang wanita diperlakukan seperti sapi perah. Laki-laki hanya memperhatikan susu saja sementara yang lain diabaikan. Perempuan tidak bisa memprotes itu meski sering oleng terbentur realita. Konon itu sudah kodratnya mereka. 

Tapi Bang Lara belum tertarik mempersoalkan bagaimana hakikat kodrat itu. Bagi Bang Lara, yang terpenting itu adalah “menghargai” karena kebutuhan tertinggi manusia itu adalah ingin dihargai. Ketidakberdayaan laki-laki menghargai perempuan adalah persoalan. Bang Lara teringat apa dikata oleh Mario Teguh, “Hadiah terbaikmu untuk anak-anakmu adalah mencintai ibu mereka”.

Akhirnya Bang Lara bertanya pada diri sendiri, “Selain obat kuat, perlu tidak Menteri Pemberdayaan Lelaki supaya mereka bisa menghargai istri. Misalnya tidak menjadi sungkan menyajikan segelas air putih saat melihat istrinya pulang bekerja.” 

Tiba-tiba selesai menulis ini Bang Lara didatangi seorang bocah. “Bang Lara, kok tulisan Bang Lara menyudutkan lelaki sih? Bukan malah membela kaum Bang Lara!” 

“Hihi… Dek Amir bisa aja. Bang Lara sengaja tulis gini Dek, ini kan taktik. Mana tau nanti ada perempuan yang jatuh hati sama Bang Lara gara-gara membaca tulisan ini. hihi..” Bang Lara kesengsem.

Kamis, 17 November 2011

Realita Cinta Rok and Dodol



TAK mudah bagi Bang Lara menjalani hidup begini, mulai subuh hingga fajar menyingsing kembali. Bukan sehari dua hari, sudah bertahun-tahun. Ada saja yang mengusik kelaki-lakiannya.

Setiap malam minggu di jalanan banyak pemuda. Mereka tidak sendiri. Ada sesosok lain menempel di punggung, meliuk indah. Anak muda sekarang memang pandai menjinakkan perempuan. Mungkin pernah mendengar petuah mantan kepala buruh Inggris, “Ayah saya masih membaca kamus setiap hari. Katanya, hidup kita sangat bergantung pada kemampuan kita menggunakan kata-kata”. Perempuan memang ditaklukkan dengan kata-kata. Maka jadilah muda mudi itu seperti amplop. Ada lem yang merekatkan ke duanya. Lem bermerk “cinta”. Dalam amplop itu tersimpan romansa, api asmara, birahi, hingga sesuatu yang tak pasti (kata Iwan Fals). Sedangkan Bang Lara hanya sediri, terpaku menatap langit seperti Ebit G Ade.
           
Suatu malam Bang Lara jalan-jalan sendirian dengan Jupiter MX. Ia melintas kawasan  remang-remang. Ada sebuah sepeda motor berjalan aneh. Astaga!! Ada meuruwa ek trieng ! Bang Lara kaget. Air liurnya yang merembes segera ditelan kembali. Ada muda-mudi yang sama-sama bekerja di atas sepeda motor. Bang Lara termegap-megap. Pikirannya berfantasi dan mulai terbang jauh membuka lembar-lembar sejarah. 

Akhirnya berhentilah ia pada abad XX. Abad yang diwarnai oleh seorang tenar bernama Adolf Hitler.  Ada sebuah cerita di sana. Jadi ada seorang perempuan bangsawan Jerman bernama Magda Goebbels. Ia istri petinggi partai Nazi, Joseph Goebbels. Joseph ini juga menjabat Menteri Propaganda Kabinet Hitler. Tanggal 1 May 1945 adalah hari yang tragis bagi Magda. Ia masuk ke kamar. Enam orang anaknya ada disana. Dengan sikap tenang dan elegan ia memasukkan pil sianida ke dalam mulut ke enam anaknya. Selesai melakukan itu ia menutup pintu kamar dan membiarkan kematian menerkam semua buah hatinya itu. Dia dan suami kemudian bunuh diri. Telah tercatat,  Magda meniadakan darah dagingnya. Magda … Oh Magda…

Lain Magda, lain pula Hugh Hefner. Dia Bos Besar majalah Play Boy. Dia lahir pada 9 April 1926 di Chicago, Illinois, Amerika Serikat. Lelaki ini hidup glamour dan selalu dikelilingi oleh gadis-gadis cantik. Gadis-gadis itu model pada majalahnya. Sisi lain dari Hefner adalah hobinya menabur benih pada banyak perempuan. Uniknya, merupakan kebanggaan bagi para model itu jika dapat kesempatan menghabiskan malam bersama Hefner.

Kisah tentang Magda dan Hefner tidak akan berakhir. Bisa jadi akan banyak Magda-Magda lain yang tega membunuh anaknya sendiri dengan alasan lain. Dikarenakan aib dari cinta illegal. Baik dengan cara elegan atau yang mengerikan. Begitu juga dengan Hefner. Terbuka kemungkinan bagi Hefner-Hefner muda untuk menabur benih sembarangan. 

Inilah ‘Realita Cinta Rok and Dodol’. Rok bermakna cinta dimaknai sebagai penyalur sex yang tidak jauh-jauh dari rok. Sedangkan kata dodol bermakna ‘oon’ alias tolol. 

Malam itu Bang Lara langsung pulang. Ia menatap ke langit-langit kamarnya dan tersenyum sendiri. "Enak juga jadi Hugh Hefner" 

Bang Lara… oh Bang Lara... 

Minggu, 13 November 2011

Antara Bang Lara Dan Istri Belanda

SUDAH lama Bang Lara tidak tidur dengan istri Belanda. Semenjak meninggalkan kampung halaman, Bang Lara lebih sering tidur telat. Tugas kuliah yang berjibun dan juga kebiasaan minum kopi membuat matanya melek hampir sepanjang malam.  Ia tinggal bersama adiknya di sebuah rumah kecil. Setiap malam adik Bang Lara tidur lebih cepat. Bang Lara sering hilang kesempatan. Istri belanda itu duluan dipakai adiknya. Itu terjadi hampir saban malam. Kasihan!

Nyaman, santai, hanyut, dan empuk, itu yang terasa saat berhubungan dengan istri belanda itu. Dulu beberapa orang tua di beberapa kampung di Aceh melarang anak-anak tidur dengan istri model begini. Katanya menyebabkan kemalasan dan susah bangun pagi. Sewaktu kecil Bang Lara jarang berhubungan dengan istri belanda. Ketika dewasa, kesempatan untuk memiliki istri belanda itu pun melebar.

Nah, bagaimana kalau istri Indonesia? Pembahasannya akan jauh beda. Pasalnya istri belanda ini bukanlah istri betulan. Ini hanya arti dari Bahasa Inggris, dutch wife. Menurut kamus Oxford, dutch adalah kata benda berarti orang belanda. Sedangkan wife  kata Inggris untuk menyebutkan istri. Nah, ketika dua kata ini digabung, dutch wife itu pun jadi istri orang belanda. Sesederhana itu? Tidak, tidak. Banyak orang Indonesia memang memandang aneh Bahasa Inggris. Di Aceh saja muncul pameo, “Bahasa inggreh, laen tabaca, laen tatuleh” (Bahasa inggris lain kita baca, lain pula kita tulis). Begitu juga dengan kata dutch wife. Arti sebenarnya dari kata ini bukan “istri orang belanda” tetapi BANTAL GULING.

Kenapa dikatakan dutch wife? Pertanyaan menarik! Menurut artikel yang Bang Lara baca pada Majalah Historia, konon kata itu stereotip (pelabelan) yang diberikan Inggris pada Belanda. Katanya dulu orang Inggris menyebut Belanda bangsa pelit. Ini disebabkan persaingan antara Inggris dan Belanda di abad ke-17. Selain itu, setiap berperang ke negara lain khususnya Hindia, prajurit Belanda dilarang bawa istri. Hal ini dibenarkan Robert Jan Nix, pimpinan Yayasan Peutjut yang mengurusi makam Belanda di Aceh, Kerkhoff. Mantan Perwira Kavaleri Belanda itu diwawancarai Bang Lara saat ia mengunjungi Kerkhoff di Banda Aceh.  Nix bilang prajurit Belanda tidak dibolehkan membawa istri ke Indonesia pada masa kolonial dulu kecuali para perwira. Karena itu banyak prajurit Belanda memilih menggundik dengan “Nyai”. Salah satunya adalah kakek Nix itu sendiri. Itu sebabnya mengapa bekas perwira belanda yang dilahirkan di Geumpang, Pidie ini sedikit memiliki darah Indies (Pribumi).  

Selain itu, Pramoedya Ananta Toer dalam sebuah percakapan pada novelnya, Jejak Langkah menuliskan,   “Tapi orang Belanda terkenal sangat pelit. Mereka ingin pulang ke negerinya sebagai orang berada. Maka banyak juga yang tak mau menggundik. Sebagai pengganti gundik, mereka membikin guling-gundik yang tak dapat kentut itu (dutch wife/bantal guling).

Dalam kamus Bahasa Inggris juga terdapat frasa  go dutch. Mungkin gabungan kata ini juga dikaitkan dengan steriotip itu. Go dutch bukan berarti “pergi ke Belanda” ia memiliki arti “bayar sendiri-sendiri”. Saya berfirasat ungkapan ini digunakan Inggris untuk mengukuhkan stereotip pelit untuk Belanda juga. Seolah-seolah orang Belanda kalau makan jarang mentraktir orang lain.  Suatu ketika pada 2009, Bang Lara ditraktir makan oleh guru bahasa Inggrisnya. Seusai makan-makan dengan puasnya, perempuan kelahiran Amerika itu bilang, “Now, Go dutch!”  Bang Lara tercengang. Untung saja wanita cantik itu mengakhirinya dengan tawa manis yang kurang lebih bermakna “cuma bercanda”.

Bagi  Bang Lara kata-kata “Istri Belanda” untuk menyebutkan bantal guling itu lebih menarik. Menurut kabar, dalam Encyclopedia of World and Phrase Origins Robert Hendrickson menulis: “Orang-orang Belanda begitu tersinggung oleh Bahasa Inggris selama tiga abad sehingga pada tahun 1934 pemerintah mereka memutuskan untuk membuang kata ‘Dutch’ dan menggunakan kata ‘Netherlands’ jika memungkinkan.

Bang Lara tidak memakai kata ‘Netherlands’ karena takut orang tidak paham. Maka dari itu Bang Lara ambil jalan tengah saja. Untuk dutch wife Bang Lara cuma bilang Istri Belanda. Tidak memakai kata ‘Dutch’, tidak pula menggunakan kata ‘Netherlands’. Di akhir kata Bang Lara memberi sedikit wejangan,

“Sebelum punya istri sendiri, peluklah istri Belanda dulu. Yang penting jangan sampai menganggur!” 

ucap Bang Lara dengan muka lugu. Tak sedikit pun tersirat rasa bersalah pada raut wajahnya yang manis itu.[]

Rabu, 02 November 2011

Bunyi-Bunyi Yang Indah



Barangkali sudah agak lama beberapa mahasiswa dan mahasiswi tidak pulang kampung semenjak perantauan menuju Kuta Radja atau kota lainnya. Katanya untuk menuntut ilmu. Entah karena beranjak dari pernyataan Imam Syafi’i bahwa untuk memperoleh ilmu seseorang harus keluar dari kampongnya dan berhijrah ke tempat lain yang berbeda.  Atau bisa jadi  karena gengsi; sebagai upaya untuk menghasilkan bunyi yang indah alias jawaban “berbobot” sebagai respon terhadap pertanyaan. Bunyi yang indah, sudah seperti musik saja.

Pasalnya  dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi melihat “kemajuan” yang terjadi dewasa ini,  banyak orang yang ingin mengenal seseorang. Dan itu masih bisa dikatagorikan hal yang wajar dan normal. Namun dalam pada itu orang juga ingin mengenal latar belakang kita. Biasanya hal yang paling ingin diketahui adalah pekerjaan atau pendidikan. Dua kata ini terkadang membuat beberapa individu tertentu  terpaksa mengekang diri demi sebuah jawaban yang indah dan enak di dengar; dan tentunya tidak dianggap kampungan. “Kuliah di mana?” Tanya seseorang kepada Bang Lara pada suatu ketika. “Saya kuliah kedokteran” jawab Bang Lara dengan penuh semangat. Dalam semangatnya itu rupanya juga muncul dalam hati Bang Lara akan adanya pengakuan bahwa dirinya hebat, memiliki kapasitas intelektual di atas rata-rata, berpenampilan elit dan lain-lain.  Padahal kalau mau jujur, di dalam lubuk hati yang paling dalam, Bang Lara sama sekali tidak menyukai kedokteran. Jiwanya lebih menyenangi belajar bahasa. Dari SMA ia sudah suka mempelajari bahasa inggris, bahasa arab, bahasa jerman dan lainnya. Ia juga pernah mengikuti tes bakat kecil-kecilan yang didapat dari sebuah buku motivasi yang dibacanya kala itu. Hasilnya luar biasa: Bang Lara mempunyai kecerdasan linguistic alias kecerdasan bahasa. Wajar saja jika ia lebih cepat memahami hal-hal yang ada kaitannya dengan bahasa. Namun waktu melanjutkan ke universitas, Bang Lara pilih kedokteran. Biar bunyinya terdengar keren dan indah.

Bang Lara mungkin sudah lupa bahwa tujuan utama menuntut ilmu itu harus karena Allah (Bi ismi llah) bukan karena gengsi dan dianggap hebat (bi ismi gengsi). Kalau tidak, tidak akan dapat pahala dan tak bernilai apa-apa. Misalnya, katakanlah Bang Lara sedang dalam perjalan pulang atau pergi kuliah. Tiba-tiba Damri yang ditumpangi Bang Lara terjungkir terbalik. Semua penumpang yang rata-ratanya mahasiswa tewas tragis. Saat  malaikat datang menghampiri, ia menemukan tidak ada kemuliaan yang tersimpan dalam diri Bang Lara selain kesombongan dan bekas birahi liar yang selalu menginginkan pengakuan hebat di mata manusia. Tamatlah riwayat Bang Lara. Kasihan Bang Lara, ternyata bunyi-bunyi indah itu tak mampu menolongnya.