-------

Sabtu, 28 Januari 2012

Belajar Menulis

Tulislah apa yang kamu pikirkan, jangan pikirkan apa yang kamu tulis. Itu kata kata guru saya pada suatu hari. Waktu itu adalah hari-hari yang sulit, bahkan sampai hari ini pun sebenarnya masih terasa sulit. Bukanlah perkara mudah menyusun kata demi kata, merangkai  kalimat menjadi paragraf apalagi jika harus berakhir menjadi sebuah tulisan yang lengkap dengan segala unsur seperti koheren, sistematis, runut dan sebagainya. Sulit sekali! Tidak jarang frustrasi muncul terus menerus. Kalau menulis di kertas, maka tong sampah bisa penuh karena tulisan-tulisan yang salah terpaksa kita buang. Hal seperti ini adalah ilustrasi klasik bagi seorang yang sudah menjadi penulis dan merupakan awan gelap bagi penulis pemula seperti saya.

Kesulitan-kesulitan inilah yang membuat seorang penulis sukses itu menjadi terhormat khususnya di mata orang-orang yang belum bisa menulis. Dia telah berhasil menghancurkan mental block atau pun penghalang dalam dirinya. Kalau seandainya kita ber-analogi, pikiran kita itu tidak berbeda dengan sebuah bendungan beton besar. Supaya air bisa mengalir lancar, maka bendungan itu harus dibuka atau bila perlu dihancurkan. Satu hal yang pasti adalah perjuangan yang berdarah-darah untuk menghancurkan tembok-tembok besar penghalang itu. Setidaknya begitulah gambaran tentang pikiran. Untuk mengalirkan ide-ide, maka kebekuan harus dihancurkan, tentunya dengan latihan yang tak kenal lelah.

Pada kesempatan lain, Ampuh Devayan, seorang penulis yang pernah mengajari kami, sempat mengatakan hal yang sampai hari ini masih selalu saya ingat, “Menulis itu tidak enteng meski yang kita tulis itu adalah yang enteng-enteng”. Saya setuju sekali. Untuk menulis tentang air dalam gelas saja bisa butuh waktu yang lama. Kalimat-kalimat yang yang kami tulis banyak sekali salah. Seperti waktu itu, beliau menggambarkan sebuah gelas yang terisi 50% air pada selembar kertas plano. Masing-masing kami disuruh maju ke depan untuk menggambarkan hal tersebut dalam kata-kata. Ada yang menulis, “air dalam gelas berisi setengah”, “setengah gelas berisi air”, “air dalam gelas itu kurang setengah” dan lain-lain. Ternyata, semua kalimat-kalimat itu kurang tepat. Akhirnya Ampuh menulis sebuah kalimat kalimat lain yang lebih bagus, “Gelas berisi separuh air”. Inilah contoh-contoh kecil betapa menulis itu tidak enteng meski yang kita tulis adalah yang enteng-enteng.

Bagi saya pribadi, menulis itu tak ubahnya seperti pekerja bangunan. Satu demi-satu kita menyusun batu bata. Perlahan-lahan dengan sabar dan telaten akhirnya berwujud istana. Tidak hanya diperlukan bata, namun perlu pengetahuan tentang pola dan gambaran awal seperti apa rumah yang akan dibangun. Bukan itu saja, lelahnya juga tidak jauh berbeda. Kalau pekerja bangunan lelah fisik, maka penulis itu lelah jiwa dan raga, lelah pikiran dan perasaan. Namun semua itu harus bisa ditaklukkan.

Dalam novel Ranah 3 Warna, karya A. Fuadi, (kalau tidak salah, halaman 145) saya bisa merasakan bagaimana seorang Alif berjuang mati-matian untuk bisa menulis sebuah artikel. Bang Togar, gurunya yang kejam dan sangar, tidak melunturkan semangatnya untuk belajar dan terus belajar. Menulis itu ternyata perlu perjuangan yang berdarah-darah.

Saya sendiri baru saja belajar menulis. Beberapa opini dan puisi saya sudah dimuat di media lokal. Namun, saya merasa seperti semakin bodoh saja. Seringkali kehilangan kata-kata, tidak ada ide, susunan pokok permasalahan yang tidak runut. Melelahkan. Biasanya, kalau sedang tak ada ide, saya akan menulis tentang menulis. Yah, seperti yang sedang saya lakukan ini; karena mengingat “Tulislah apa yang kamu pikirkan, jangan pikirkan apa yang kamu tulis. Kalau begitu, saya padai di sini dulu ya! Nanti saya tulis lagi. Terimakasih sudah membaca tulisan ini! []

Senin, 09 Januari 2012

Sebiji Selongsong

















Karya  Putra Hidayatullah (Sumber : Serambi Indonesia, 8 Januari 2012)


Sebiji selongsong
Kosong melompong
Telunjuk kasar tarik pelatuk, sombong
Tubuh-tubuh kaku lalu digotong
 
Kosong melompong
Dua butir selongsong
Di tengah tawa nyawa ditodong
Nun jauh, hati anak-istri ikut  terpotong-potong
 
Kosong melompong
Tiga selongsong
Senapan menyalak, manusia tak tertolong
Selongsong, serigala malam tak jua lelah melonglong
 
RSU Zainoel Abidin,  5 Januari 2011