-------

Senin, 21 Januari 2013

Tini Binti Kutubujaden

Sudah maktub jika nenek-nenek kita terdahulu menamai bulan hijriah dengan nama-nama tertentu. Ada bulan asan usen untuk menyebut muharram, sapha untuk safar, khanduri bungong kayee untuk jumadil akhir dan disebut apam untuk bulan rajab. Maka pada suatu sore, awan hitam menggumpal di ufuk barat. Halilintar menyalak seperti dengan kilat mirip pola akar kayu. Tepat pada bulan apam, saat guntur ke lima belas, lahirlah seorang bayi. Tangisnya pecah, melengking tak kenal ampun. Kelak polah bayi perempuan itu akan sama dengan nama bulan lahirnya itu, meuapam. 

Namanya Tini binti Kutubujaden. Bukan main senangnya hati Maimunah, ibundanya. Seorang mantan kembang desa berparas anggun. Ia tersenyum lega melepas lelah melahirkan. Wajahnya masih pucat. Ayah Tini, Kaoy bin sadikin langsung menarik nafas dalam-dalam seolah menghirup rakus seluruh kebahagiaan di setiap sudut semesta. Ditempelnya kedua telapak di telinga. Lalu suaranya yang bak bambu pecah itu mengalunkan azan dengan makhraj yang tak melanggar hukum. Suara itu menggema ke seisi rumah sakit.

Tahun demi tahun Tini tumbuh hingga sampailah saatnya ia bersekolah. Ia berkulit putih mirip ibundanya. Di antarnya dia ke sekolah dasar kampungnya, SD Negeri Cinta Ibu. Pada caturwulan pertama senyum Maimunah mengembang. Rapor Tini di tangan kanan. Matanya berbinar. Dia diam memejamkan mata bersiap mengatakan sesuatu “Kau seperti emak, Dek Nong. Cerdas! Juara 1. Pintalah sesuatu. Pasti mak kabulkan!” Maimunah mengelus-ngelus kepala anaknya itu. Ia menunggu Tini mengucapkan sesuatu. 

Dalam hati ia menerka-nerka apa gerangan yang akan diminta anaknya itu. Sepeda. “Mungkin sepeda sebab telah kulihat anak ini menatap setiap sepeda lewat. Kemarin lama betul ia memandang sepeda ontel penjual pisang. Atau televisi. Tapi tivi sekarang banyak paha dan dada” perempuan itu mengetuk lembut bibirnya dengan telunjuk. 
“Aku mau ke Banda Mak!” sambar Tini. Alangkah terkejutnya Maimunah. “Ngapain kau ke Banda? Kau masih kecil!” Kedua matanya terbelalak. Bocah kecil itu tersenyum saja. “Aku mau kuliah di Banda nanti Mak” kata Tini. Rasa bangga bergemuruh dalam dadanya. Betapa jauh jarak pandang anak perempuannya itu. “Pasti Dek Nong! Pasti! Kelak kau akan menjadi gadis yang berguna bagi bangsa dan negara.” 

***

Saat ditunggu-tunggu itu telah tiba. Bertahun sudah, semenjak SD. Sanggupkah kau bayangkan, Kawan? Keras betul tekad perempuan yang telah berubah postur menjadi seorang gadis itu. Namanya masih seperti yang dulu, Tini Binti Kutubujaden. Di kampungnya, cuma dia yang lulus di universitas. Senang betul ia melihat gedung-gedung universitas yang berdiri berderet. Wah, mimpi dia semakin liar. Di kuliah ia belajar mati-matian hingga selesai di saat yang tepat.

Tapi ada sesuatu yang hilang dari anak perempuan Maimunah itu semenjak ia diangkat menjadi asisten dosen di kampus. Ia pun diberi tugas melayani mahasiswa-mahasiswa baru. Tapi ada sesuatu yang aneh, kawan, itulah mengapa kusebut meuapam, selain nama bulan, ini istilah untuk menyebut sesuatu yang tak berjalan sebagaimana mestinya. 

Galaknya minta ampun. Seperti petir saat ia lahir, disambarnya setiap mahasiswa-mahasiwa yang tak berkenan di hatinya. Bukan karena mahasiswa itu jahat, tapi bisa jadi hanya karena kejahatan kecil. Katakanlah misalnya mahasiswa itu tidak ganteng, tidak sedap dipandang mata. Atau agak berantakan dan tak tampak seperti tipikal pemuda yang cinta tanah air. Dengan rambut disisir ke samping seperti Presiden SBY. Maka kukatakan padamu, Kawan, jika di dunia ini ketidakgantengan adalah sebuah kejahatan, maka aku telah ditakdirkan menjadi penjahat semenjak aku lahir.

Itu Tini, Tini Binti Kutubujaden. Kalau sudah tak berkenan di hatinya, senyum tulus pun bisa dianggap sebuah kejahatan. Sudah kubilang, ada sesuatu yang hilang dalam diri perempuan itu. Ia lupa cita-cita ibunya untuk menjadi perempuan yang berguna bagi nusa dan bangsa. Pelajaran moral yang dapat dipetik, jangan pernah berharap menjadi orang yang berguna bagi nusa dan bangsa jika tidak bisa tersenyum pada orang yang tak ganteng. Kedua, jabatan (sekecil apa pun), kecantikan, kecerdasan tak akan berguna kalau kau tak bisa menghargai ummat manusia. 

Begitulah sekilas mengenai Tini Binti Kutubujaden, Kawan. Nanti akan kuceritakan lagi kalau kau berjanji tak mengatakan tentang ini pada siapa-siapa.

Rabu, 16 Januari 2013

Kedua mata layu. Sudah lewat tengah malam. Aku masih masih di meja paling luar warung kopi ini. Mendengar sepeda motor atau mobil sesekali lewat. Sudah dua gelas kopi pancung tandas. Aku tersadar betapa waktu berjalan sangat cepat dan meninggalkan orang-orang yang berjalan pelan dan orang-orang yang lalai. Bangun di pagi hari kemudian diberi kebebasan agenda apa yang akan kita lakukan. Dalam waktu satu hari seorang penulis mungkin menyelesaikan sebuah cerita. Dalam satu jam seorang atlit bisa memanfaatkannya untuk mengembangkan otot-ototnya. Tapi bagi orang sepertiku, waktu kadang tak lebih angin lalu. Seperti kapas melayang-layang di udara. Aku baru saja mengatakan pada seorang teman, jejaring sosial betul-betul jaring. Kita adalah ikan. Kemana jaring menghalau, ke sanalah ikan akan mengerumun. Terkurung dan terkungkung. Parahnya lagi kita sering tak sadar. 

Seandainya waktu bermain facebook digantikan untuk membaca atau menulis, mungkin akan lahir-lahir tulisan-tulisan yang bermanfaat ketika dibaca. Pun itu untuk mengembangkan kapasitas diri. Seorang manusia itu ibarat sepotong besi. Jika ia tidak melakukan sesuatu untuk mengasah diri, maka besi tak akan berarti banyak. 

Memang permasalahan yang paling utama adalah persoalan manajemen waktu dan komitmen dalam menjalankan agenda-agenda.