-------

Rabu, 17 Juli 2013

Sabang Suatu Ketika



Oleh Putra Hidayatullah



Bunyi sirene menggema. Terdengar gesek katrol berputar. Pelan-pelan pintu raksasa itu tertutup. Dalam lambung kapal berbaris ambulan, beberapa mobil pribadi, dan truk fuso yang penuh muatan. Petugas berseragam oranye dan biru masih mencari-cari celah untuk sepeda motor. Menjelang pukul 11 pagi itu, 26 Juni 2013, kapten menghidupkan mesin. Perlahan KMP BRR beringsut meninggalkan bibir dermaga Ulee Lheue. 

Aku menaiki tangga besi menuju lantai dua. Puluhan penumpang duduk berderet di kursi hitam yang empuk. Seorang pemuda menyandarkan kepala dengan headset di telinga. Kursi dekat jendela tak ada yang kosong. Sama seperti di pesawat terbang, orang-orang berebut duduk dekat tingkap demi pemandangan laut atau pulau. 

Aku mondar-mandir mencari teman yang lebih dulu masuk. Di luar dekat pagar kapal tampak seorang ibu menggendong anaknya sambil berdiri menatap laut. Ombak menggerayangi dan membuncahkan buih. Aku menyandarkan siku pada pagar besi. Beberapa laki-laki dan perempuan lalu lalang. Ada yang turun, ada yang menaiki lantai paling atas. Lantai itu tak beratap kecuali tempat khusus kapten sebesar tiga kali ruang kelas. 

Angin berhembus. Sebagian orang duduk di bangku besi. Beberapa yang lain sibuk memotret atau memicing mata menatap laut lepas. Lantai tiga ini mengingatkanku pada film Titanic. Si Rose, aktris cantik, berdiri di bengket kapal dan menatap samudra. Angin melerai rambutnya. 

Rasanya seperti di Titanic meski tak sama mewah. Sebuah kantin rakitan terletak di tengah-tengah dan berdempet dengan ruang kapten dan stafnya. Di atasnya dirangkai besi pelintiran berbentuk bunga yang kurang rapi. Aneka kue basah seperti bakwan, timphan, kue lapis, dan kue bolu dihidangkan terbuka. Beberapa lelaki bersandar di meja kasir berbentuk letter U seperti pada bar-bar. Mereka menyesap kopi Ulee Kareng saset dalam gelas plastik. Lagu barat berdentam-dentam dari sebuah loudspeaker. Suaranya sedikit lebih baik dari bunyi bambu belah. 

Seorang bule laki-laki asal Inggris duduk bersandar di dinding kapal. Rambut pirangnya yang keriting tergerai diterpa angin. Di mulutnya terselip sebatang rokok. Beberapa jenak kemudian, kulihat ia bangkit dan membuang puntung rokok ke laut. Sesuatu yang tak lazim untuk seorang Eropa: buang sampah sembarangan. 

Kapten memberitahu bahwa perjalanan dari pelabuhan Ulee Lheue menuju Balohan ditempuh dalam waktu 1.5 jam. Aku mendekat ke pinggir dan menjenguk ke laut. Tampak sepasang lumba-lumba serentak menyaingi laju kapal. “Beberapa bulan lalu ke Sabang bisa habis 2 jam lebih. Kapal berputar jauh sampai ke kota untuk berlabuh di tempat sementara. Pelabuhan waktu itu sedang direhab” Kata Khalisil, seorang pemuda bertubuh jangkung. 

Aku duduk berselonjor kaki dan bersandar di dinding luar ruang kapten. Dua perempuan dan seorang pemuda berpindah tempat. Mereka kini duduk di bangku yang tak jauh dariku. Perempuan itu berkelakar dengan temannya, "Aku malas ngomong sama qe, kayak kita ngomong sama PKI" gadis itu terbahak. Rambutnya yang panjang diikat mirip ekor kuda. Ujungnya yang pirang dilerai angin. "Di Sabang tak apa-apa hai kalau tak pake jilbab" katanya sambil tersenyum. 


2 

Dari jarak jauh sudah tampak daratan berwarna biru, Pulau Weh. Perahu-perahu kecil bertebaran. Di atasnya duduk nelayan bertudung sambil menjaring ikan. Mereka berlayar menjauhi pulau. Tujuh jam kemudian aku tahu bahwa ada penyebab “lain” selain alasan mencari ikan. 

Jam 12.45 kapal berlabuh. Lima belas menit bergeser dari jadwal yang diumumkan. Terdengar gemerincing seperti bunyi rantai. Pintu raksasa kembali dibuka. Sepeda motor menderu berebut keluar. Truk-truk dihidupkan. Asap berbau solar menguar. Seratusan lebih penumpang mengantre. Anak-anak mengekor ibu mereka. Dalam sekejap pelabuhan berubah jadi pasar tumpah. 

Aku mengeluarkan Jupiter MX merah dari perut kapal. Sebuah becak berdiri dekat kapal. Seorang lelaki tua berkeriput menjual rokok, semangka, nenas dan rujak. Beberapa anak-anak Sabang berdiri dekat bibir dermaga kemudian satu persatu terjun bebas ke laut. Kulit mereka tampak legam. 

Sepeda motor menggerung menanjak. Jalanan teraspal mulus. Konon hampir setiap jalan di Sabang begitu. Dari daratan yang lebih tinggi terlihat hamparan laut biru yang memukau. Pohon-pohon kelapa yang lengkung bergoyang diterpa angin sepoi-sepoi. 

Pasee seorang wartawan muda berhidung mancung, kurus, dan berkulit sawo matang. Ia mendapat amanah atasan untuk mengantar surat ke kantor Wali Kota Sabang. Kantor itu terletak di pinggir jalan utama. Di pintu gerbang terdapat lampu berbentuk peta pulau weh. Pikiranku mengatakan bahwa malam hari lampu ini akan kerlap-kerlip dan berputar seperti baling-baling. 

Di seberang jalan terdapat tempat bercengkerama berbentuk kursi yang dipasangi keramik mengkilap. Di atasnya kulit jeruk berserakan. Semen-semen dicat berwarna cerah. Di tengah-tengah terdapat sebuah pot bunga yang dibeton. Di dalam pot itu sebuah botol minuman keras bermerek Stevenson tergeletak. "Khusus 21 tahun ke atas" tertulis pada label. Aku mendekatkannya ke hidung. Baunya sudah tak kentara. Isinya kosong kecuali sebuah puntung rokok Dji Sam Soe berwarna kumal. Aku menaruhnya kembali dan menyapu pandang. Dari tempat ini masih tampak Pelabuhan Balohan dan laut permai menghampar. Tampak pula atap rumah-rumah penduduk berwarna cokelat, perak, biru dan oranye. 

Kami sedang melanjutkan perjalanan ketika seorang teman bernama Muhajir menelpon. Tadi ia berangkat dengan kakaknya dan bertemu kami di kapal. Pemuda bertubuh pendek dan selalu berkemeja itu memberitahu  agar tak menyewa tempat penginapan. “Nginap di rumah kakak saya. Ada tempat kosong” Bagai musafir bertemu sungai di tengah gurun, senang bukan buatan. Bagaimana tidak, biaya penginapan di Sabang berkisar antara 150 sampai 200 ribu permalam; sangat tidak sesuai untuk ukuran dompet kami di penghujung bulan. 

Siang menjelang. Kami mencari rumah makan. Tak terlalu susah menjumpainya. Sebuah toko satu pintu. Di terasnya berdiri rak kaca berisi ikan rendang, telur asin, dan telur ikan digulai. Air liurku menderas. Kami makan dengan lahab. Lidah yang terkena kuah pedas memicu keringat  di dahi bercucuran. 

Usai membayar di kasir, temanku berbisik, “Di sini harga barang, termasuk harga nasi, lebih mahal. Mereka ‘mengimpor’ barang dari banda Aceh. Harga standar nasi di Sabang Rp. 10.000 per bungkus sementara di Banda Aceh Rp. 8000,-. 

Di depan rumah makan itu terdapat Mesjid Agung Sabang. Sebuah mesjid berwarna cream dengan arsitektur unik, rapi dan bersih. Halamannya luas. Lebih kurang lima kali lapangan bola voli. Usai salat dhuhur kami merebahkan badan. Sampai jelang asar seorang lelaki masuk menuju ruang ganti dekat podium. Ia memakai baju koko biru muda. Di depan podium itu ia duduk bersila, membuka Al-Qur’an dan menghidupkan mic. Sudah lupa kapan terakhir kali kulihat orang bersedia membaca langsung ayat-ayat Al-Qur’an di mic. Biasanya orang sekarang sudah memilih cara instan dengan memutar kaset. 


3 

Selain di Aceh Besar, Krueng Raya juga nama salah sebuah perkampungan di Sabang. Di tempat ini kami akan bermalam. Sebuah rumah yang terletak di dataran tinggi. Dari sini kita dapat melihat laut dengan jarak lebih dekat. Sebuah pulau berwarna hijau membuat lanskap makin eksotis. Konon pada 2004 lalu pulau ini menjadi penghalang yang memecahkan ombak tsunami sehingga tak banyak yang porak-poranda juga yang menjadi korban. 

Sebuah mobil fortuner hitam berdiri di samping rumah sederhana itu. Pak Muzakkir adalah seorang lelaki berkumis yang murah senyum. Ia suami dari kakak ipar Muhajir. Kutaksir usianya sekira 40 tahun. Ia memperlakukan kami seperti menyambut raja. Begitu pula istrinya, seorang seorang bidan yang selalu memakai jilbab besar. Wajahnya teduh dan ramah. 

Pak Muzakkir bekerja di Kantor Pertanian Sabang. Sekilas kehidupannya mencerminkan kecintaannya pada flora. Di halaman rumah yang sempit itu ia tanami bermacam tumbuhan. Sesekali sengaja disiram dengan air beras bercampur air darah pesiang ikan. “ Itu bagus sekali untuk kesuburan tanaman” katanya. Di rumah ini juga aku pertama kali melihat rupa pohon zaitun. Di samping pohon zaitun ditanaminya pula pohon tin, dua nama tumbuhan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, (surat At-Tiin). 

Ada pula pohon-pohon unik lain yang ia pesan dari Malang, Jawa timur. Ada daun binahong, ubat mujarab untuk penyakit lambung. Pohon srikaya yang berbuah manis. Buah kiwano, sejenis mentimun berwarna kuning yang unik hampir mirip belimbing bintang, “antioksidan yang cukup bagus” katanya. Pak Muzakkir juga berlangganan majalah Trubus, majalah khusus tumbuh-tumbuhan. Ia menyusun rapi majalah itu di atas balai bambu belakang rumah, tempat kami sedang duduk. 

Seperti pemain sepak bola profesional amsal Christiano Ronaldo, selain menjadi profesi, pekerjaan Pak Muzakkir juga menjadi kesenangannya. Aku teringat kata-kata Konfusius, “Carilah pekerjaan yang kamu cintai dan kamu tidak akan pernah lagi bekerja satu hari pun sepanjang hayat” 

Hampir sepanjang sore itu kami bicara tentang tumbuh-tumbuhan. “Sekarang banyak pohon dan buah-buahan yang hampir punah. Contohnya buah tuphah, buah munje, buah meuriya. Dulu Sabang juga terkenal dengan buah geureundong. Tapi sekarang hampir kita tidak mendengarnya. Begitulah orang kita. Tidak melestarikan apa yang menjadi kekayaannya. Pepohonan yang khas ditebang tanpa ditanami pengganti. Pohon seuntang misalnya. Datang orang menamainya pohon Afrika dan mengklaim asal dan kepemilikan. Pun, apa yang datang dari luar begitu cepat kita menerimanya. Misalnya obat-obatan atau ramuan yang telah diolah dan dicampur bahan kimia. Padahal tumbuhan kita lebih mujarab” Pak Muzakkir tersenyum. 

Mendengar kenyataan itu membuat sesuatu terbesit dalam benak. “Saat ini untuk kemanusiaan sudah ada aktifis kemanusiaan; untuk wanita ada aktifis perempuan. Sepertinya kita juga mulai butuh aktifis buah-buahan” kataku bergurau. Pada Pasee, temanku yang berprofesi wartawan, aku mengusulkan untuk membuat majalah buah-buahan yang tumbuh di Aceh terutama yang terancam punah. “Supaya menjadi dokumen karena No document no history” kami tergelak. 

Kami tinggal di rumah adik lelaki istri Pak Muzakkir. Tepat di samping rumahnya. Rumah itu kosong. Menjelang magrib kami mengantre mandi di ruang tengah sambil bergolek bebas di depan televisi. Di Krueng Raya air PDAM mengalir dua hari sekali. Karena itu kalau ramai air bisa tidak cukup. Istri Pak Muzakkir begitu serius menyuruh kami mandi di rumahnya kalau air tak cukup. 

*** 

Sudah menjadi budaya orang Aceh untuk membawa semacam oleh-oleh saat bertamu ke rumah kenalan, kerabat atau saudara di perantauan. Tapi kami lupa. Dan alpa ini membuat perasaan bersalah menebal setiap detik. Istri Pak Muzakkir dengan ramah mengatakan, “makan malam sudah Kakak siapkan. Jangan malu-malu!” ia tersenyum. Tidak ada pilihan yang bijak untuk menolak sebuah ketulusan yang jujur. Meski di sisi lain ada malu yang menohok. 

4 

Saat kembali ke rumah, kami melihat dua lelaki duduk di kursi teras rumah. Mereka tersenyum dan kami berjabat tangan. “Tidak apa-apa, Dek. Silakan. Masuk saja.” Di dalam kami mengecas hp, melipat baju kotor, dan bermalas-malasan di sofa. Beberapa saat kemudian temannya pergi. Lelaki itu tinggal sendiri. Ia kemudian masuk dan duduk di lantai. Kami yang duduk di sofa ikut berpindah ke lantai. 

Tidak tampak aura arogan. Ia langsung bicara panjang lebar sambil sesekali menyelip senyum. Dari pembicaraannya aku mengetahui lelaki jangkung ini bekerja sebagai nelayan. Usianya sekitar 33 tahun. Kumisnya jarang-jarang. Karena satu dan lain hal, anggap saja namanya AN. 

“Angin di laut lagi kencang. Jadi Abang libur dulu. Kemarin ada kawan terbalik boatnya. Ia berenang sampai 2.5 jam pakai jeriken” AN menggeleng-geleng kepala. Kemudian melanjutkan, “Sekarang hidup kita rakyat kecil begini susah. Banyak peraturan macam-macam. Dilarang menangkap ikan lah, itulah; seperti di Gapang. Padahal Nabi Khaidir bilang bahwa laut punya Tuhan. Kita boleh mengambil ikan tapi ini ...” Wajah cerianya redup. “Gapang dikelola oleh orang bule dengan mempekerjakan orang kita. Ia buat peraturannya sendiri, tak boleh nangkap ikan. Kalau di Iboih, bolehlah dibuat peraturan begitu. Untuk pembibitan ikan, tapi ini?!” ia menghela nafas. “Orang kita mana ada, kalau sudah dikasih pulsa gratis, diberi uang, dan tugasnya cuma melapor kalau ada perahu mencari ikan, senang betul! Kami sudah dua kali ditangkap dibawa ke kantor polisi. Kena denda 20 juta. Lebih parahnya, polisi mengambil ikan kami untuk barang bukti. Tapi setelah kami tebus, ikan itu tak dikembalikannya. Saya bilang ke polisi itu, kalau begini caranya, cara Bapak mencuri lebih parah!” Wajahnya tegang. Matanya nyalang. 

“Kalau tanggapan dari pemerintah sendiri bagaimana, Bang?” tanya Pasee. Lelaki itu menghembuskan asap rokok. “Pemerintah mana ada melarang. Mereka kan senang, dapat pajak tinggi” Mendengar itu membuat dadaku sesak. Tidak jauh berbeda dengan kisah masa kolonial dalam roman-roman sejarah. “Area nafkah sekarang pun jadi sempit. Pawang laot dulu cuma ada dua. Sekarang hampir tiap kampung punya pawang sendiri, punya wilayah penangkapan sendiri” Wajah lelaki itu terlihat getir. 

*** 

Malam itu kami juga keluar menghirup udara malam kota Sabang. Dingin malam menyapa pori-pori. Tak seperti di Banda Aceh, warung-warung kopi tidak begitu ramai. Jalanan kurang pencahayaan. Apalagi di kawasan Sabang Fair. Suasana lebih remang-remang. Tampak berpasang muda-mudi bermesraan. Melihat pemandangan itu dan memutar ulang cerita Bang AN yang berprofesi nelayan tadi, aku seperti mencium ironi dan kepincangan. 

Jam 11 malam di ruang tamu, di atas sofa, dan di atas kasur dalam kamar, kami berlima sudah menarik selimut. Di luar dingin. Angin berdesau. 


5 

Pagi di Krueng Raya adalah pagi yang menggiurkan. Kami berdiri di depan rumah dengan pandangan menghadap laut. Matahari masih ramah. Dingin masih ada. Bahari Tuhan itu sungguh memesona. Pasee tak menyiakan kesempatan. Ia menyambar Nikon dan menjepret wajah kami yang masih sembab satu persatu. 

Tapi ceria kami wagu ketika Muhajir memberi tahu, “Kakak menyuruh kita makan pagi dulu” Oh Tuhan, perasaan ‘tidak enak’ bercampur malu itu... Kami merasa merepotkan. Padahal mendapat penginapan saja sudah sangat lebih dari cukup. “Kita makan di bale bambu saja, dekat tumbuh-tumbuhan Pak Muzakkir” Kopi dan kue basah bulat mirip donat berbalut tepung gula juga hadir. 

Usai makan kami bicara-bicara dan tanpa sadar lari ke persoalan politik. Kami bicara praktik demokrasi yang tak luput intimidasi. Rakyat yang mudah ditipu. Pejabat yang memperkaya diri. Debat kecil-kecilan muncul. Sesekali terselip pula lelucon yang membuat semua terkikik. 

Di luar sadar, seorang lelaki tua lewat dan berdiri di depan kami. Ia menyungging senyum. Kepalanya tampak uban. Celananya agak kedodoran hingga menyentuh bumi. Bajunya kumal seperti petani mau berangkat ke sawah. Di tangannya sebuah parang dibalut karung. Ia seperti telah menguping pembicaraan kami. Pak tua itu menyapa dan menanyakan asal daerah kami satu persatu. Aku mengatakan datang dari kabupaten X, kecamatan, X dan desa X. “Ow, ya... ya.. Bupati X itu itu keponaan saya” ia mengangguk-angguk tersenyum. 

Setelah itu ia diam menunggu kami melanjutkan. Mungkin sedang membaca arah pembicaraan. “Saya tidak sekolah dan tidak juga pintar agama. Tapi saya bertanya pada orang yang lebih mengerti semisal ulama” Bapak berkulit legam itu tersenyum. Kelak kuketahui namanya dan kuberinya inisial KR. 

Ia ternyata mantan kombatan GAM. Dulu sempat menenteng senjata dari satu wilayah ke wilayah lain. Tahun 1990 ia pernah dirantai oleh tentara di Kota Bakti, Lamlo, Pidie. Tapi kemudian ia dilepas dan akhirnya kembali angkat senjata bersama Abdullah Syafi’i, panglima GAM. Saat ditanya apakah dia berjalan kaki atau naik gunung ketika dulu berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, ia menjawab, “Mana ada. Tidak begitu. Kita pakai seragam loreng, naik mobil dan jalan terus. Masuk perkampungan, naik lagi ke jalan raya. Begitu seterusnya. Kalau memang berjumpa musuh, kita hajar saja” ia terkekeh. Aku seperti mampu melihat pijar keberanian di matanya. Mungkin beginilah tipikal orang Aceh zaman dulu. Khalisil bertanya, “Pak, jadi menurut Bapak bagaimana situasi politik di Aceh sekarang? Pak KR terdiam. Wajahnya redup. Ia menggeleng kepala. 

“Aceh akan selamanya perang sampai akhir anak cucu nanti kalau perjuangan dilalui dengan partai. Apalagi kalau petinggi sibuk berbagi tumpuk dan melupakan darah syuhada yang telah banyak tumpah. Berapa banyak perempuan jadi janda. Dan, apakah bisa dijamin kalau anak yatim korban konflik dulu tidak akan bangkit melawan dan membalas? Apalagi jika menyibukkan diri dengan pembagian tumpuk. Saya ini, wahai anakku (ia memanggil kami anak), sudah lelah. Berpuluh tahun melawan. Saya memang tidak sekolah, tidak pandai agama. Tapi tidak mencari tumpuk. Saya tak akan menjual kepala saya ini dengan uang seharga seratus ribu! Lebih baik saya pergi berkebun walau pun tertatih menyekolahkan anak saya” Mata Pak KR berkaca-kaca. 

“Kalau persoalan bendera itu, Pak?” tanya Khalisil. Pak RK menyeringai senyum. “Tidak. Itu bukan bendera Aceh. Bendera Aceh berwarna hijau. Itu bendera perjuangan, bendera perlawanan yang kalau menang, bendera hijaulah yang dinaikkan” jawab Pak KR. Ia juga mengatakan bahwa tanah Aceh itu bukanlah milik suku atau golongan tertentu. Tapi milik siapa saja yang tinggal dan menetap di Aceh. Dari mana pun asalnya, ia adalah orang Aceh yang harus dijaga haknya. “Kami ini sudah tua-tua. Tinggal kalian ini yang muda-muda. Kalian harus tahu bagaimana sejarah, bagaimana bangsa kita” Pak RK mengakhiri. Suaranya rendah. Aku menghela nafas. Resah. 


6 

Ibarat bibir bagi seorang wanita, iboh adalah bagian penting yang mempercantik rona wajah Pulau Weh. Di sini terdapat sebuah pulau eksotis bernama Pulau Rubiah. Dari pantai Iboih pengunjung dapat menapakkan kaki di pulau itu dengan membayar ongkos boat sebesar Rp. 150.000,-. Jarak dari Iboih ke Pulau Rubiah hanya sejauh mata memandang. “Bagaimana bisa ongkosnya Rp. 150.000,- sementara jarak dari pantai iboih ke Pulau Rubiah hanya sekitar dua ratus meter saja?! Tak sampai habis satu liter solar yang harganya Rp. 5000,-.” Khalisil memprotes. “Jasa tak dapat dikur” tandas Nailul, temanku yang tambun dan berbrewok tebal. Tapi kemudian keningnya berkerut, matanya memicing “Iya juga. Betul. Mahal!” 

Untuk ke menyeberang pulau Iboih, orang biasanya menyewa kaki katak, baju pelampung dan selang untuk snorkling. Sekali sewa dalam satu paket (kaki katak, selang pernapasan, dan baju pelampung) Rp. 40.000,- per orang. Nailul membawa pelampung dan selang sendiri dari Banda Aceh. Ia membelinya seharga Rp. 80.000,-. Isi dompet memacu otak kalkulatifku―yang hanya tajam dalam urusan uang―cepat bekerja dan memberi kesimpulan tragis: penyewa baju itu langsung memperoleh modalnya kembali hanya dengan dua kali penyewaan. Selebihnya untung yang melipatgandakan isi dompetnya. Karena sehari bisa berpuluh orang datang ke Iboih. 

Selain harga makanan dan minuman seperti Pop Mie, Coffe Mix, Sprite, Cokelat Beng Beng, hal lain yang menakutkan di Iboih adalah bue alias monyet yang liarnya melampaui dosis. Di jalan menuju kesana, seperti polisi melakukan sweeping, mereka berdiri dipinggir jalan. Memasang wajah buas dan garang. Lalu coba-coba mengejar orang yang lewat. Tapi siapa sangka, daya tarik Iboih membuat tantangan itu tak lebih dari lelucon belaka. 


7 

Mungkin Tuhan telah mengisi benak orang timur “perasaan tidak enak” yang lebih kental. Pulang dari Iboih kami tak ingin salat magrib di rumah karena tidak mau merepotkan keluarga Pak Muzakkir. Mereka pasti akan menyiapkan makan malam. Karena itu kami keluar ke kota sebelum magrib. Anak Pak Muzakkir bernama Qissy kami bawa bersama. Ia masih kelas 1 SMP. Fasih berbicara bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia. Ia mengarahkan kami ke sebuah warung yang menjual mie sedap, sejenis mie kocok yang baru pertama kulihat dalam hidup. Semua makan dengan lahab. Sementara aku memesan nasi. 

Selepas salat magrib di mesjid Agung, aku melihat orang-orang baca yasin bersama. Malam ini malam jum’at. Pemandangan seperti ini, baca yasin bersama, juga mulai jarang kulihat di beberapa tempat lain bahkan di kampungku. Di langit bintang berkedip dan berserakan. Kami sedang duduk di teras mesjid saat lamunan pecah. Muhajir mengangkat telpon. Tingkahnya tiba-tiba panik. Bibirnya bergerak-gerak, “kebakaran!” 

*** 

“Api hampir menjilat selang tabung gas” seorang lelaki menunjukkan. Sebuah kulkas menghitam dan hilang bentuk. Kayu-kayu telah jadi arang. Ibu-ibu bicara dengan sisa-sisa ketakutan. Nafas mereka tersengal-sengal. “Tak ada orang pula. Rumah kosong. Mereka udah berangkat. Katanya di tempat kayu itu disusun, sering keluar ular maka dibakar. Tapi tak disiram merata. Ternyata api masih nyala” 

Rumah yang hampir mengalami nasib tragis itu terletak jauh dari tempat kami menginap. Hanya dapur belakang yang terbakar. “Kakak takut api menjalar sampai ke mari. Jadi, maaf, tas kalian sudah Kakak masukkan ke mobil. Takut ada laptop.” Wajah istri Pak Muzakkir masih pucat. “Kenapa nggak panik. Kami perempuan semua. Bapak-bapak komplek ini sudah pergi samadiah ke tempat orang meninggal” katanya. Satu kata yang tak akan pernah terlepas dari mulut orang Aceh saat mengalami musibah adalah kata untung. “Untung tabung gas tidak meledak. Kalau tidak ...” ia menghela nafas. 


8 

Kami pulang besok, 28 Juni 2013. Teman-teman bersemangat ke kota untuk bakpia. Diajak, aku manut. Uang di kantong tandas. Untuk pulang saja sudah tak ada. “Untuk orang rumah harus kita beli sesuatu” kami sepakat. Aku sangat setuju. Sudah terlalu banyak yang kita nikmati. Kami beli roti kaleng untuk sedikit menambal hutang budi yang sudah lebih dari cukup. 

Tapi tiba di rumah setumpuk ikan mirah mata sudah dipesiang. “Ini untuk dipanggang” kata istri Pak Muzakkir. “Oh Tuhan... Perasaan ‘tidak enak’ menebal. Sampai tengah malam kami makan di teras dengan kelakar yang bertubi-tubi. Qissy sampai mengeluarkan air mata. 

Hari jum’at kapal hanya berangkat pagi jam 8.00. “Berarti besok jam 7 kita harus sudah di pelabuhan untuk antri sepeda motor” 

Hening. 

*** 

Kami tiba di pelabuhan saat pagi masih gelap. Sepeda motor sudah terparkir di tempat antri menuju pintu kapal. Di sana dua orang lelaki yang agak tua mendekati setiap yang baru tiba. Tangan kanannya memegang pulpen ia mencatat plat honda dan menawarkan tiket kapal. Harganya sedikit lebih mahal meski mereka bilang sama. Kami memilih antri untuk membeli di loket resmi. Harga tiket untuk sepeda motor Rp. 23.700,- dan untuk penumpang Rp. 18.850,-.Kapal akan berangkat satu jam lagi. 

Aku sedang menyeruput kopi yang tinggal separuh di sebuah warung kopi seputar pelabuhan saat pintu kapal perlahan dibuka. Dalam gegas aku langsung menuju lantai paling atas. Di sana terlihat wajah-wajah yang sama saat berangkat dua hari lalu. Dua puluh menit kemudian sirene berbunyi. Aku membeli kue dan bersandar di pagar besi paling belakang. Laut terhampar. Angin menerpa wajah dan membuat rambutku berantakan. Aku berpaling ke belakang. Beberapa orang melambai tangan di pelabuhan. Aku ikut melambai meski tak kukenal. 

Sambil mengunyah kue bolu, aku memikirkan sesuatu. Di Sabang, tiga hari dua malam terlewati. Terbuang sudah suntuk dan beban-beban yang menggerogoti kepala. Dibarengi rasa terimakasih, aku terkenang keluarga pecinta tumbuhan itu. Selangka harimau sumatera, mereka betul-betul menganut falsafah “Peumulia jamee adat geutanyoe” 





Note: 

Peumulia jamee adat geutanyoe: Memuliakan tamu adalah adat kita 

Bakpia: Kue populer di Sabang

Sumber foto: Google



0 comments

Posting Komentar