-------

Rabu, 01 Januari 2014

Kolor Sarjana



SORE itu saya sedang duduk di depan rumah. Tampak awan berarak di langit cerah. Nyiur kelapa tetangga berayun gemulai. Di luar pagar ada rawa-rawa kecil. Berpuluh-puluh biawak berkeluarga di sana. Sering mereka berjemur di pinggir rawa itu. Seperti turis dari Georgia saja.


Biawak-biawak itu bikin saya iri. Mereka pasti bahagia. Seperti dalam lagu dangdut saja. Kalau mau makan silakan, kalau mau minum silakan. Anak-anaknya pun tak bergantung lama pada induknya. Tak lama setelah telur menetas, mereka langsung cari makan sendiri. 

Saya resah dan berkhayal. Tapi apa lacur. Seorang teman memukul pundak saya dan bikin saya kaget. 

“Apa juga sarjana. Ganti kolor saja harus minta uang sama orang tua!”

“Kok kamu tahu?”

“Itu, Saya lihat udah berjemur kolor oranye baru. Kolormu biasanya kan bolong. Mana ada kolormu yang tidak bolong!” 

“Oh... hehe...” Saya terdiam. Beberapa anak biawak bangkit dari rawa-rawa. 

“Memang sih, anak-anak biawak itu hidup mandiri. Tapi saya kan bukan biawak. Lagi pula kamu pikir kita ini dididik untuk dapat hidup mandiri? Tidak. Dan ada satu lagi yang paling penting ... ”

“Apa?”

“Kamu pasti tidak pernah baca naskah drama Manusia Adimanusia karya Bernard Shaw.” 

“Orang Inggris peraih nobel sastra itu? Tau saya. Memang sih dia orang barat. Tapi tidak semua orang barat itu tolol. Begitu pula tak semua orang arab itu lugu. Jahat-bajik, buruk-baik, ada di mana saja. Bahkan dalam diri kita”

“Sedap! Tumben kamu ngomong begitu! Terus, dia bilang apa kalau memang kamu tahu?”

“Jangan ngetes saya. Saya punya naskahnya. Saya hafal bahkan. Nih, pasang kuping baik-baik. Ini kata-kata si Tanner, tokoh paling nakal dalam drama itu,

Universitas, Tav, bukan Oxford, Cambridge, Durham, Dublin, atau Glasgow, atau sebangsanya. Tapi ini Politeknik, universitas yang sesungguhnya, Tav. Bukan sekedar tempat PEMBENTUKAN KELAS SOSIAL seperti universitas-universitas kita.

“Terus?”

“Ada lanjutannya lagi. Tapi aku lupa. Intinya, kalau alumni politeknik―katakanlah seorang mekanik―jika mobilnya rusak, ia senang. Dengan keadaan itu ia bisa jadi jentelmen. Ia dapat menunjukkan kepiawaiannya dengan memperbaiki mobil. Tapi kalau alumni universitas? Lihat aja sendiri!”

“Tumben orang kampung lebih pandai dari sarjana” Saya bergumam. 

Ia terdiam. Biawak makin ramai naik ke jalan. Ada yang mencari makan, ada yang berjemur. Kawan saya menguap lalu berkata,

“Makanya besok-besok, kalau mau ganti kolor, pinjam punya saya saja.”

“Oh Tuhan”

Dia lalu mendekat ke telinga saya dan berbisik pelan, 



“Dijamin nggak bolong.”






4 comments

Anonim

kancut bolong... hahaha

Yanti Oktiva 1 Januari 2014 pukul 11.15

Saran saya jangan pake kolor lagi. Lebih sehat dan makin jentelmen

Lintasanpenaku 3 Januari 2014 pukul 09.20

haha....bereh, kolor ijo gaa ,mas bro?

jack's blog 4 Januari 2014 pukul 11.48

kancut ..hahahah

Posting Komentar