Sebuah rubik terletak di atas lantai. Semua sisinya telah terlihat sempurna. Semua petak-petak kecil yang mirip ubin mini itu telah menyatu di sisi-sisinya masing-masing. Ada enam sisi dengan masing-masing warna; merah, hitam, biru, hijau, orange, dan kuning. Semua telah tersusun sempurna. seorang teman dengan ke dua tangannya langsung mengambil dan dengan tanpa harus berpikir lama ia mulai mengotak-atik masing-masing warna itu menjadi kacau balau dan tidak lagi beraturan.
Setelah itu ia berusaha menyusunnya kembali. Ia mengacaukan sebuah bentuk kesempurnaan yang telah ada sebelum kemudian ia menyusunnya kembali dengan rapi. Bagi yang telah mahir, tentu ia hanya akan menghabiskan cukup beberapa detik saja. Selain rubik, hal lain yang hampir menyamai proses seperti ini adalah anak-anak yang bermain di pantai sambil mendirikan gunung kecil dari pasir. Kemudian setelah itu mereka kembali menghancurkannya sambil terus berlari-larian dengan girang gembira. Lalu mereka membentuk gunung pasir yang lain lagi.
Rubik sendiri adalah sebuah puzzle mekanis yang membutuhkan kelihaian otak dan indra penglihatan. Permainan ini telah lama ditemukan oleh seorang professor di bidang arsitek asal Hungaria, Erno Rubik. Tahun 1974 adalah awal lahirnya kubik Kemudian secara turun temurun mulai digemari tidak hanya oleh anak-anak namun juga orang dewasa. Sebuah perlombaan rubik pertama dunia pernah digelar di Budapest pada tanggal 5 Juni 1982 dan di menangkan oleh seorang pelajar di Amerika, Minth Thai dengan catatan waktu 22,95 detik.
Namun tidak hanya itu saja, ibarat catur, permainan rubik juga memiliki nilai filosofi tersendiri. Dalam permainan catur dikenal sebuah prinsip yang menjadi representative hidup yang ideal yakni “Bebas tapi tapi terikat dan terikat tapi bebas” artinya, dalam permainan catur bebas melangkah kemana pun kita pergi namun tentunya diikat oleh aturan-aturan tertentu, bebas melakukan apa saja selama tidak melanggar hokum dan norma yang mengikat. Seperti kuda yang dengan aturan permainannya ia harus berjalan seperti huruf L, benteng lurus, pion, raja dan lainnya. Setidaknya itulah hikmah yang bisa dipetik dalam permainan ini. Dalam rubik, peristiwa penyusunan atau perbaikan kembali kemudian diikuti lagi dengan pengrusakan adalah symbol yang nyaris sempurna yang mewakili hampir setiap dinamika yang terjadi di sekiling kita.
Setelah tersusun rapi kemudian setelah beberapa waktu tertentu dikacaukan untuk disusun kembali, secara tidak langsung proses ini telah menggambarkan bahwa sifat manusia itu dinamis, artinya selalu bergerak dan tidak tetap. Tidak ada satu manusia pun yang bisa melanggar prinsip ini. Tidak mungkin sejarah manusia itu selalu konsisten dalam keadaan damai, di sana pasti selalu muncul konflik demi konflik yang pada hakikatnya adalah bagian dari dinamika. Pengetahuan tentang rasa hanya didapat dengan merasa. Tanpa dinamika ini, misalnya saja kita tidak pernah berada dalam konflik, tentu kita tidak pernah tahu bagaimana nikmatnya perdamaian. Jika terus sehat dan tidak pernah sakit, kita tidak pernah tahu apa arti kesehatan yang sebenarnya.
Namun yang disayangkan adalah, dari perubahan-perubahan ini adalah suatu hal yang sulit berubah yakni pola pikir kita. Seperti yang diungkapkan oleh Albert Einstein, Semua telah berubah kecuali pola pikir kita. Seringkali dinamika yang terjadi di dunia di luar tidak singkron dengan pola pikir kita yang cenderung tetap dan kaku. Walhasil kita menjadi bagian dari orang-orang yang tidak siap dan peka kepada perubahan. Padahal, Ali Bin Thalib pernah menasihatkan agar kita pandai membaca tanda-tanda zaman dan mempersiapkan diri untuknya.
Namun,realita seringkali bertentangan dengan impian yang kita dambakan. Ada banyak fakta yang terjadi dimana-mana yang menunjukkan betapa sempit dan kakunya pola pikir sebagian kita. Saat orang-orang di luar sana sibuk mengkampanyekan tentang global warming dan upaya pelestarian hutan demi keselamatan, sebagian kita masih keranjingan menggergaji pepohonan di hutan. Saat orang-orang mulai memikirkan bagaimana cara mengembangkan diri dan memanfaatkan potensi yang dikaruniakan Tuhan, kita malah sibuk mencari yang serba instant dengan prinsip “pengorbanan sekecil-kecilnya dan keuntungan sebesar-besarnya”. Alangkah tidak elok, ketika orang-orang sibuk menciptakan karya dan teknologi, sementara kita membaca Koran saja malas.
Memandang fenomena-fenomena seperti ini, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa pola pikir kita perlu dipermak. Perlu diotak-atik kembali seperti rubik sehingga tidak tetap dan kaku, sehingga sudut pandang kita lebih terbuka lebar dan bisa melihat suatu objek dengan teliti dan kemudian menyikapinya dengan cerdas dan lebih bijaksana.
0 comments
Posting Komentar