Barangkali sudah agak lama beberapa mahasiswa dan mahasiswi tidak pulang kampung semenjak perantauan menuju Kuta Radja atau kota lainnya. Katanya untuk menuntut ilmu. Entah karena beranjak dari pernyataan Imam Syafi’i bahwa untuk memperoleh ilmu seseorang harus keluar dari kampongnya dan berhijrah ke tempat lain yang berbeda. Atau bisa jadi karena gengsi; sebagai upaya untuk menghasilkan bunyi yang indah alias jawaban “berbobot” sebagai respon terhadap pertanyaan. Bunyi yang indah, sudah seperti musik saja.
Pasalnya dalam kehidupan bermasyarakat, apalagi melihat “kemajuan” yang terjadi dewasa ini, banyak orang yang ingin mengenal seseorang. Dan itu masih bisa dikatagorikan hal yang wajar dan normal. Namun dalam pada itu orang juga ingin mengenal latar belakang kita. Biasanya hal yang paling ingin diketahui adalah pekerjaan atau pendidikan. Dua kata ini terkadang membuat beberapa individu tertentu terpaksa mengekang diri demi sebuah jawaban yang indah dan enak di dengar; dan tentunya tidak dianggap kampungan. “Kuliah di mana?” Tanya seseorang kepada Bang Lara pada suatu ketika. “Saya kuliah kedokteran” jawab Bang Lara dengan penuh semangat. Dalam semangatnya itu rupanya juga muncul dalam hati Bang Lara akan adanya pengakuan bahwa dirinya hebat, memiliki kapasitas intelektual di atas rata-rata, berpenampilan elit dan lain-lain. Padahal kalau mau jujur, di dalam lubuk hati yang paling dalam, Bang Lara sama sekali tidak menyukai kedokteran. Jiwanya lebih menyenangi belajar bahasa. Dari SMA ia sudah suka mempelajari bahasa inggris, bahasa arab, bahasa jerman dan lainnya. Ia juga pernah mengikuti tes bakat kecil-kecilan yang didapat dari sebuah buku motivasi yang dibacanya kala itu. Hasilnya luar biasa: Bang Lara mempunyai kecerdasan linguistic alias kecerdasan bahasa. Wajar saja jika ia lebih cepat memahami hal-hal yang ada kaitannya dengan bahasa. Namun waktu melanjutkan ke universitas, Bang Lara pilih kedokteran. Biar bunyinya terdengar keren dan indah.
Bang Lara mungkin sudah lupa bahwa tujuan utama menuntut ilmu itu harus karena Allah (Bi ismi llah) bukan karena gengsi dan dianggap hebat (bi ismi gengsi). Kalau tidak, tidak akan dapat pahala dan tak bernilai apa-apa. Misalnya, katakanlah Bang Lara sedang dalam perjalan pulang atau pergi kuliah. Tiba-tiba Damri yang ditumpangi Bang Lara terjungkir terbalik. Semua penumpang yang rata-ratanya mahasiswa tewas tragis. Saat malaikat datang menghampiri, ia menemukan tidak ada kemuliaan yang tersimpan dalam diri Bang Lara selain kesombongan dan bekas birahi liar yang selalu menginginkan pengakuan hebat di mata manusia. Tamatlah riwayat Bang Lara. Kasihan Bang Lara, ternyata bunyi-bunyi indah itu tak mampu menolongnya.
2 comments
Subhanallah...
mengingatkan kembali apa yang telah menjadi amanah seorang anak di perantauan..
hahahaa... mantabb coy! lanjutkan!
Posting Komentar