Alhamdulillah hari ini mendapat sedikit pencerahan setelah membaca opini Syahrol Kirom, master filsafat Universitas Gajah Mada di Media Indonesia (16/10/12). Syahrol mengurai masalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Krisis ini jelas terlihat pada ketidakmerataan kesejahteraan dalam bidang ekonomi. Kalau kita pergi ke pasar kita bisa dengan mudah melihat ketidakmerataan ini. Pemasukan seorang nenek-nenek yang berjualan di atas tikar lapak pinggir jalan tentu jauh berbeda dengan pemilik toko. Kalau di kota besar bahkan ada mall. Tentunya penghasilan pengusaha mall jauh lebih banyak dibanding orang yang berjualan di gerobak dorong. Padahal produk yang dijual rasanya tidak jauh berbeda.
Nah, permasalahan ini ternyata berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Pemerintah punya peran untuk memberdayakan ekonomi nenek-nenek tadi atau memihak pada para pemilik mall. Kalau pemerintah fokus memberdayakan ekonomi masyarakat kecil seperti nenek tadi, maka akan terjadi pemerataan kesejahteraan. Pemberdayaan ekonomi rakyat kecil ini tentunya tidak hanya berkutat pada nenek-nenek yang berjualan di lapak pasar tapi termasuk juga pemberian kesempatan dan modal kepada para pemuda yang tidak mendapat pekerjaan yang layak. Dengan cara ini, pemerintah akan mengurangi jumlah pengangguran yang terjadi di negeri. Pemberdayaan ekonomi rakyat kecil inilah yang dipraktikkan oleh negara Cina. Di Cina mungkin bukan barang baru ketika berbicara tentang home industry atau industri kecil-kecilan yang dikelola di rumah-rumah sehingga roda perekonomian rakyat bergeliat dengan leluasa.
Tetapi akan berbeda halnya ketika pemerintah hanya memperdulikan pengusaha-pengusaha yang memiliki mall dan omset besar. Roda perekonomian tetap akan berputar seiring banyaknya pengunjung berbelanja di mall tersebut. Sayangnya semua uang tersebut akan bersarang kepada individu-individu atau sekelompok orang tertentu ketimbang pemberdayaan ekonomi kepada rakyat banyak. Sayangnya, hal kedua ini yang dipraktikkan oleh pemerintah baik di ibu kota propinsi mau maupun ibu kota Jakarta. Ini terjadi dikarenakan kebanyakan pengusaha besar termasuk pemodal asing mampu memberi fee kepada pejabat yang berwenang memberi kebijakan. Dengan demikian tentunya kebijakan yang dikeluarkan nanti akan berpihak kepada pemberi fee. Contoh kasus lain adalah pemberian izin tambang kepada perusahaan tertentu. Dampak yang mungkin ditimbulkan oleh tambang dan dirasakan oleh rakyat mungkin akan terabaikan.
Ada alasan yang sangat masuk akal mengapa pejabat negara bisa terlibat perselingkuhan dengan para pemodal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mencalonkan diri menjadi pejabat publik butuh biaya yang tidak sedikit. Ini sering diistilahkan dengan cost of politic. Cost of politic di Indonesia sangat mahal terutama dalam masalah kampanye. Bisa dilihat beberapa banyak spanduk dan baliho bertebaran menjelang pemilihan wakil rakyat, calon gubernur bupati dan lain-lain. Sudah menjadi kecenderungan alamiah manusia tidak ingin rugi. Biaya dan dana yang dikeluarkan ini akan diambil kembali ketika mereka terpilih menjadi pejabat nantinya. Beginilah putaran rantai ini.
Di negara demokrasi yang menganut sistem voting seperti ini, kualitas dan moral pemimpin sangat ditentukan oleh rakyat. Rakyat yang tak pandai dan apatis terhadap masa depan bangsanya tentu akan memilih pemimpin-pemimpin yang mampu memberikannya baju, fasilitas, sampai uang. Akibatnya, pemimpin yang terpilih nanti akan berselingkuh dengan orang lain. Dan perselingkuhan ini berdampak pada masa depan termasuk dalam hal pemerataan ekonomi seperti digambarkan di atas. Akhir kata, kita ikut menentukan bagaimana pemimpin kita. Syech Abdul Qadir Jailani berkata, sebagaimana kamu begitulah pemimpinmu.[]
0 comments
Posting Komentar