-------

Kamis, 28 Maret 2013

Menggambar Karakter

Seminggu sekali saya ikut kelas menulis kreatif. Minggu ini, dua hari yang lalu, kami diajari tentang deskripsi karakter. Secara umum ada dua hal penting ketika mencipta karakter dalam cerpen atau novel. Yang pertama adalah sisi anatomi dan yang kedua sisi personalitas. Kedua unsur ini menjadi penentu apakah pembaca peduli dengan cerita kita atau menatap judul saja sekilas. 

Sisi anatomi adalah penggambaran fisik. Apakah karakter yang kita ciptakan bertubuh tinggi, pincang, bermisai rimbun dan sebagainya. Sebagai contoh penggambaran sosok Hasan dalam novel The Kite Runner karya Khaled Hosseni. Hasan digambarkan sebagai bocah berbibir sumbing; sehingga antara ekspresi senang dan sedihnya nyaris tak terbedakan. Begitu pula penggambaran ayah Hasan yaitu Ali. Ia dilukiskan sebagai seorang ayah yang bekaki pincang. Kalau berjalan tubuhnya naik turun berima.

Setelah sisi anatomi karakter berhasil digambarkan dengan baik, penting juga memasukkan ruh ke dalamnya supaya karakter tampak hidup. Bagian ini disebut sisi personalitas. Sisi ini meliputi perangai, kebiasaan, pandangan hidup, dan nilai-nilai yang dianut oleh karakter. Contoh karakter yang unik adalah Ranchordas Chancad dalam film 3 Idiots. Orang-orang lebih hafal pada namanya ketimbang nama penulis cerita atau sutradara. Karakter Rancho menjadi terkesan karena penggambaran perangai dan pandangannya terhadap pendidikan begitu mencolok. Ia tidak belajar untuk ijazah.

Kedua sisi karakter (anatomi dan personalitas) menjadi penting dalam prosa karena itu salah satu daya tarik dan penentu kualitas sebuah cerita. Konon ada pembaca yang jatuh cinta pada karakter Edward Cullen dalam novelnya Stephenie Meyer,Twilight. Padahal waktu itu novel tersebut belum difilmkan. Di sini letak kepiawaian seorang Meyer dalam menggambarkan karakter baik dari sisi anatomi maupun personalitas, ia menghipnotis pembacanya. 

Sebagaimana nasihat klise yang umum kita dapat dalam pelatihan tulis-menulis, tak terbantahkan bahwa kemampuan menggambarkan karakter ini juga diasah dengan banyak membaca dan banyak berlatih menulis. Sebagai penutup, ada kutipan menarik dari seorang peraih nobel sastra, William Faulkner: "Baca, baca, bacalah. Baca semuanya –karya sampah, karya klasik, tulisan bagus dan tulisan jelek, dan lihat bagaimana cara mereka melakukannya. Sama seperti tukang kayu yang baru belajar. Baca! Anda akan menyerapnya. Kemudian tulis. Jika bagus, Anda akan mengetahuinya. Jika tidak, lempar saja keluar jendela." []










Selasa, 19 Maret 2013

Saya dan Film India

Waktu kecil, saya suka sekali menonton film India. Karena tidak punya televisi, saya menghabiskan waktu di rumah orang selama berjam-jam; sampai film India itu habis. Dulu film india diputar mulai dari jam sembilan pagi di TPI. Jadi, jika tidak ada sekolah, itulah agenda utama saya dan teman-teman. Sekarang pun saya suka film India. Meski tidak sedoyan dulu. Beberapa waktu terakhir saya iseng membuat sebuah grup di facebook. Namanya KOPELAFIA, Komunitas Pecinta Lagu dan Film India. Saya terkejut, ternyata ramai juga peminat film india.

Di antara film india yang saya tonton,  rata-rata ada adegan atau alur cerita yang mampu menguras air mata penonton. Di sinilah, menurut saya, perbedaan mendasar antara film india dengan film barat. Film india cenderung bermain-main di wilayah emosi. Meski begitu, dulu saya tidak pernah (berani) menangis. Karena ketika kami kecil, terdapat kebiasaan mencari mata siapa di antara kami yang sembab saat ada adegan sedih atau mengharukan. Ketika kedapatan, maka kami akan mengejeknya sampai merah muka. 

Konon, apa yang kita tonton berpengaruh pada perilaku kita. Suatu malam, usai salat isya berjamaah dan orang-orang telah pulang, saya memutuskan duduk sendirian di tangga mesjid. Saya memikirkan Rohit (Hritik Roshan) dalam film Kaho Naa... Pyaar Hai. Dia dibunuh oleh sekelompok orang karena Rohit tidak sengaja menyaksikan sekelompok orang itu menghabiskan nyawa seseorang. Karena tidak ingin ada saksi mata, maka bandit itu memutuskan membunuh Rohit juga. Dengan jip bandit-bandit itu mengejar Rohit yang bersepeda motor. Nafas saya tertahan saat ia akhirnya terjatuh ke dalam sungai dan meninggal. Lebih miris, mayatnya (sengaja) tidak ditemukan.  Oh Tuhan, tragis sekali itu! Saya tak sanggup memikirkannya. Lalu sambil duduk itu saya menyanyikan lagu pilu yang menjadi soundtrack film tersebut. Karena tidak tahu kata-katanya, saya menyanyikannya dengan hidung, hmm.... hmm...hmm... hmm.... (saya tidak ingat apakah  ada cairan bening mengalir di pipi) Begitulah saya dulu.

Kamis, 14 Maret 2013

Tentang Sombong dan Menghargai

Kalau blog ini saya anggap teman, mungkin saya harus bercerita tentang apa yang ada dalam hati saya. 

Dalam hidup saya sebenarnya tidak ingin membenci siapa pun. Saya berharap bisa menjalani hari dengan baik. Jika Tuhan telah membuat saya memulai hidup ini dengan baik, saya juga ingin menutupinya dengan baik. Tanpa bercita-cita untuk keburukan atau kejahatan. Tapi di saat bersamaan saya, anda, dan kita semua diberikan perasaan. Ada emosi yang membuat kita menghadapi bermacam dinamika.

Siapa pun tidak suka pada kesombongan apalagi kecongkakan. Itu sifat tak elok kata Nabi. Saya selalu berharap sifat itu tidak melekat pada diri saya. Saya sering melihat orang-orang yang sombong. Beberapa di antaranya mereka yang memiliki kehebatan dalam bidang tertentu semisal fotografi, film, musik, atau kepenulisan/sastra. Saya sering mendengar mereka merendahkan orang lain yang masih belajar. Saya tidak tahu apakah ini salah satu cara  membunuh calon pesaing baru  atau semata-mata karena mereka dihinggapi (meminjam istilah Andrea Hirata) penyakit gila: mengganggap diri istimewa.