Kalau blog ini saya anggap teman, mungkin saya harus bercerita tentang apa yang ada dalam hati saya.
Dalam hidup saya sebenarnya tidak ingin membenci siapa pun. Saya berharap bisa menjalani hari dengan baik. Jika Tuhan telah membuat saya memulai hidup ini dengan baik, saya juga ingin menutupinya dengan baik. Tanpa bercita-cita untuk keburukan atau kejahatan. Tapi di saat bersamaan saya, anda, dan kita semua diberikan perasaan. Ada emosi yang membuat kita menghadapi bermacam dinamika.
Siapa pun tidak suka pada kesombongan apalagi kecongkakan. Itu sifat tak elok kata Nabi. Saya selalu berharap sifat itu tidak melekat pada diri saya. Saya sering melihat orang-orang yang sombong. Beberapa di antaranya mereka yang memiliki kehebatan dalam bidang tertentu semisal fotografi, film, musik, atau kepenulisan/sastra. Saya sering mendengar mereka merendahkan orang lain yang masih belajar. Saya tidak tahu apakah ini salah satu cara membunuh calon pesaing baru atau semata-mata karena mereka dihinggapi (meminjam istilah Andrea Hirata) penyakit gila: mengganggap diri istimewa.
Mungkin sudah hak mereka berlaku demikian. Mereka sudah berjuang keras untuk menjadi “lebih” di bidang mereka. Walau pun akan sangat mulia seandainya dia yang “lebih” itu rendah hati. Tidak menganggap diri superman. Seperti kata orang, “Silakan bercita-cita menjadi superman tapi jangan pernah menganggap diri superman” karena itu bahaya. Orang bisa terjun dari gedung pencakar langit lalu terjatuh kemudian mati konyol hanya gara-gara menganggap diri superman.
Saya teringat sebuah cerita pendek klasik karya Kahlil Gibran. Pada suatu hari ada sebatang pohon yang lantang memarahi ilalang karena bayangannya bergerak-gerak di tanah. Ilalang itu dengan gugup menjawab, bukan dia yang bergerak-gerak. Tapi ada pohon lain yang lebih besar di atas sana. Mendengar itu, pohon yang tadi memarahi ilalang mendongak ke atas. Saat itulah ia terkejut. Ternyata ada pohon lain yang lebih besar. Semenjak itulah pohon yang marah tadi itu tidak lagi berani cerewet.
Di atas langit memang ada langit. Setidaknya saya sadar itu. Tapi yang paling membuat saya muak adalah ketika seseorang menganggap diri hebat padahal dia kerdil. Dia tak sadar kesombongannya telah tumbuh melebihi ukuran tubuhnya. Misalnya posisinya hanya sebagai asisten (kalau tak ingin dikatakan pembantu) pada sebuah institusi. Tapi posisi asisten itu membuatnya merasa diri bagai seorang atasan yang bebas menggunakan kuasanya sesuka hati bahkan mengonggong orang kecil.
Memang, menjadi asisten atau karyawan pada sebuah institusi itu melelahkan. Meski tidak pernah menjalaninya saya bisa merasakan. Sebut saja institusi pendidikan. Kita harus melayani ratusan mahasiswa dengan berbagai laku. Ada yang suka bercanda berlebihan, ada yang suka teledor, ada yang suka kepepet. Tapi itulah risiko kerja. Semua pekerjaan memiliki risiko. Seorang pengusaha bisa menghadapi risiko kerugian. Seorang guru bisa menghadapi ejekan bahkan pelecehan dari muridnya. Tapi itu menjadi menjadi risiko profesi. Apalagi di insitusi yang bertugas memanusiakan manusia menjadi manusia. Hakikatnya mereka yang bekerja di sana adalah pelayan. Bukankah sebuah pekerjaan mulia melayani manusia dengan tulus? Tanpa harus menebarkan energi negatif. Tidak dipungkiri ada beberapa mahasiswa atau siswa yang datang marah-marah atau membawa segudang keluh kesah. Saya ingin mengistilahkan gejala ini sebagai "energi negatif".
Kalau energi negatif ini dibalas dengan cara negatif, akan lahir energi negatif baru yang terakumulasi melahirkan dendam, kebencian atau sifat kebinatangan lain yang siap terinstal kapan saja manakala ada pemicu. Dunia kita hari ini penuh dengan energi negatif. Televisi terus mengabarkan berita buruk, orang-orang bertengkar, tentara bertarung dengan polisi, suami memaki istri, sekte agama saling tuduh, remaja bermain-main dengan kondom. Banyak sekali, terlalu banyak. Energi negatif telah menjadi polusi.
Setidaknya institusi pendidikan semisal kampus, tempat lahir intelektual dan tempat merangsang manusia untuk berpikir dan berbudi tidak ikut-ikutan menyebarkan polusi ini . Mereka-mereka yang bekerja di kampus harus menjadi orang-orang yang sabar dan menghargai manusia. Tidak hanya menghormati rektor tapi juga mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa pandai, tapi juga mahasiswa-mahasiswa dengan intellectual challenge. Tidak hanya mereka yang memakai kemeja mahal dan rambut klimis, tapi juga mereka yang tidak sanggup membeli minyak rambut.
Kalau lembaga pendidikan tidak lagi membudayakan ini, kalau seorang sarjana atau master tidak dapat menghargai manusia, bagaimana dengan yang lain? Saya ingin sekali tidak ada kebencian dalam dada saya, begitu juga anda, kita semua. Saya teringat pesan guru saya ketika saya masih sekolah, “Menghormati dan menghargai manusia itu wajib. Kapan pun dan dimana pun.”
Karena itu, mari. Ijazah dalam negeri, ijazah luar negeri, untuk apa jika menyombong diri dan tak mampu menghargai!
Dalam hidup saya sebenarnya tidak ingin membenci siapa pun. Saya berharap bisa menjalani hari dengan baik. Jika Tuhan telah membuat saya memulai hidup ini dengan baik, saya juga ingin menutupinya dengan baik. Tanpa bercita-cita untuk keburukan atau kejahatan. Tapi di saat bersamaan saya, anda, dan kita semua diberikan perasaan. Ada emosi yang membuat kita menghadapi bermacam dinamika.
Siapa pun tidak suka pada kesombongan apalagi kecongkakan. Itu sifat tak elok kata Nabi. Saya selalu berharap sifat itu tidak melekat pada diri saya. Saya sering melihat orang-orang yang sombong. Beberapa di antaranya mereka yang memiliki kehebatan dalam bidang tertentu semisal fotografi, film, musik, atau kepenulisan/sastra. Saya sering mendengar mereka merendahkan orang lain yang masih belajar. Saya tidak tahu apakah ini salah satu cara membunuh calon pesaing baru atau semata-mata karena mereka dihinggapi (meminjam istilah Andrea Hirata) penyakit gila: mengganggap diri istimewa.
Mungkin sudah hak mereka berlaku demikian. Mereka sudah berjuang keras untuk menjadi “lebih” di bidang mereka. Walau pun akan sangat mulia seandainya dia yang “lebih” itu rendah hati. Tidak menganggap diri superman. Seperti kata orang, “Silakan bercita-cita menjadi superman tapi jangan pernah menganggap diri superman” karena itu bahaya. Orang bisa terjun dari gedung pencakar langit lalu terjatuh kemudian mati konyol hanya gara-gara menganggap diri superman.
Saya teringat sebuah cerita pendek klasik karya Kahlil Gibran. Pada suatu hari ada sebatang pohon yang lantang memarahi ilalang karena bayangannya bergerak-gerak di tanah. Ilalang itu dengan gugup menjawab, bukan dia yang bergerak-gerak. Tapi ada pohon lain yang lebih besar di atas sana. Mendengar itu, pohon yang tadi memarahi ilalang mendongak ke atas. Saat itulah ia terkejut. Ternyata ada pohon lain yang lebih besar. Semenjak itulah pohon yang marah tadi itu tidak lagi berani cerewet.
Di atas langit memang ada langit. Setidaknya saya sadar itu. Tapi yang paling membuat saya muak adalah ketika seseorang menganggap diri hebat padahal dia kerdil. Dia tak sadar kesombongannya telah tumbuh melebihi ukuran tubuhnya. Misalnya posisinya hanya sebagai asisten (kalau tak ingin dikatakan pembantu) pada sebuah institusi. Tapi posisi asisten itu membuatnya merasa diri bagai seorang atasan yang bebas menggunakan kuasanya sesuka hati bahkan mengonggong orang kecil.
Memang, menjadi asisten atau karyawan pada sebuah institusi itu melelahkan. Meski tidak pernah menjalaninya saya bisa merasakan. Sebut saja institusi pendidikan. Kita harus melayani ratusan mahasiswa dengan berbagai laku. Ada yang suka bercanda berlebihan, ada yang suka teledor, ada yang suka kepepet. Tapi itulah risiko kerja. Semua pekerjaan memiliki risiko. Seorang pengusaha bisa menghadapi risiko kerugian. Seorang guru bisa menghadapi ejekan bahkan pelecehan dari muridnya. Tapi itu menjadi menjadi risiko profesi. Apalagi di insitusi yang bertugas memanusiakan manusia menjadi manusia. Hakikatnya mereka yang bekerja di sana adalah pelayan. Bukankah sebuah pekerjaan mulia melayani manusia dengan tulus? Tanpa harus menebarkan energi negatif. Tidak dipungkiri ada beberapa mahasiswa atau siswa yang datang marah-marah atau membawa segudang keluh kesah. Saya ingin mengistilahkan gejala ini sebagai "energi negatif".
Kalau energi negatif ini dibalas dengan cara negatif, akan lahir energi negatif baru yang terakumulasi melahirkan dendam, kebencian atau sifat kebinatangan lain yang siap terinstal kapan saja manakala ada pemicu. Dunia kita hari ini penuh dengan energi negatif. Televisi terus mengabarkan berita buruk, orang-orang bertengkar, tentara bertarung dengan polisi, suami memaki istri, sekte agama saling tuduh, remaja bermain-main dengan kondom. Banyak sekali, terlalu banyak. Energi negatif telah menjadi polusi.
Setidaknya institusi pendidikan semisal kampus, tempat lahir intelektual dan tempat merangsang manusia untuk berpikir dan berbudi tidak ikut-ikutan menyebarkan polusi ini . Mereka-mereka yang bekerja di kampus harus menjadi orang-orang yang sabar dan menghargai manusia. Tidak hanya menghormati rektor tapi juga mahasiswa. Bukan hanya mahasiswa pandai, tapi juga mahasiswa-mahasiswa dengan intellectual challenge. Tidak hanya mereka yang memakai kemeja mahal dan rambut klimis, tapi juga mereka yang tidak sanggup membeli minyak rambut.
Kalau lembaga pendidikan tidak lagi membudayakan ini, kalau seorang sarjana atau master tidak dapat menghargai manusia, bagaimana dengan yang lain? Saya ingin sekali tidak ada kebencian dalam dada saya, begitu juga anda, kita semua. Saya teringat pesan guru saya ketika saya masih sekolah, “Menghormati dan menghargai manusia itu wajib. Kapan pun dan dimana pun.”
Karena itu, mari. Ijazah dalam negeri, ijazah luar negeri, untuk apa jika menyombong diri dan tak mampu menghargai!
1 comments
you are invited to follow my blog
Posting Komentar