Waktu kecil, saya suka sekali menonton film India. Karena tidak punya televisi, saya menghabiskan waktu di rumah orang selama berjam-jam; sampai film India itu habis. Dulu film india diputar mulai dari jam sembilan pagi di TPI. Jadi, jika tidak ada sekolah, itulah agenda utama saya dan teman-teman. Sekarang pun saya suka film India. Meski tidak sedoyan dulu. Beberapa waktu terakhir saya iseng membuat sebuah grup di facebook. Namanya KOPELAFIA, Komunitas Pecinta Lagu dan Film India. Saya terkejut, ternyata ramai juga peminat film india.
Di antara film india yang saya tonton, rata-rata ada adegan atau alur cerita yang mampu menguras air mata penonton. Di sinilah, menurut saya, perbedaan mendasar antara film india dengan film barat. Film india cenderung bermain-main di wilayah emosi. Meski begitu, dulu saya tidak pernah (berani) menangis. Karena ketika kami kecil, terdapat kebiasaan mencari mata siapa di antara kami yang sembab saat ada adegan sedih atau mengharukan. Ketika kedapatan, maka kami akan mengejeknya sampai merah muka.
Konon, apa yang kita tonton berpengaruh pada perilaku kita. Suatu malam, usai salat isya berjamaah dan orang-orang telah pulang, saya memutuskan duduk sendirian di tangga mesjid. Saya memikirkan Rohit (Hritik Roshan) dalam film Kaho Naa... Pyaar Hai. Dia dibunuh oleh sekelompok orang karena Rohit tidak sengaja menyaksikan sekelompok orang itu menghabiskan nyawa seseorang. Karena tidak ingin ada saksi mata, maka bandit itu memutuskan membunuh Rohit juga. Dengan jip bandit-bandit itu mengejar Rohit yang bersepeda motor. Nafas saya tertahan saat ia akhirnya terjatuh ke dalam sungai dan meninggal. Lebih miris, mayatnya (sengaja) tidak ditemukan.
Oh Tuhan, tragis sekali itu! Saya tak sanggup memikirkannya. Lalu sambil duduk itu saya menyanyikan lagu pilu yang menjadi soundtrack film tersebut. Karena tidak tahu kata-katanya, saya menyanyikannya dengan hidung, hmm.... hmm...hmm... hmm.... (saya tidak ingat apakah ada cairan bening mengalir di pipi) Begitulah saya dulu.
Tapi, selain bikin sedih, film india juga kental dengan persoalan asmara. Film asmara yang membuat saya terkesan adalah Kites, (Kebetulan juga diperankan oleh Hritik Roshan). Film itu berlatar di Texas dan juga Meksiko. Hritik Roshan hidup dalam dunia gemerlap. Dia juga menjalin cinta gelap dengan istri mafia judi. Akibatnya ia dan juga kekasihnya yang berkewarganegaraan Meksiko itu dikejar-kejar. Mereka disergap namun lolos hingga beberapa kali. Di akhir, kekasih Hritik Roshan itu terjun ke laut dari sebuah tebing tinggi dengan mobil. Hritik Roshan yang sebelumnya pingsan, sedih sekali saat mengetahui belahan jiwanya telah pergi. Kemudian Hritik Roshan mendatangi tebing itu. Dia dengan ikhlasnya melakukan hal yang sama. Ia terjun dari tebing demi bertemu dengan kekasihnya.
Oh Tuhan! Saya mendecakkan lidah. Tidak karena kisahnya begitu sedih, tapi karena bodoh sekali cara mereka mencintai. Kenapa Hritik Roshan tidak cooling down dulu kemudian mencari belahan jiwa lain yang mungkin bisa membuatnya lebih bahagia; ketimbang bunuh diri. Pada titik ini, pandangan hidup si pemeran utama terlalu sempit. Tapi itulah film. Dalam film, Hritik Roshan berjuang sampai meneteskan darah terakhir demi cinta. Ia memperjuangkan cinta. Sehingga bagi mereka yang terlalu terbawa oleh film, terutama film india, bisa jadi akan melakukan hal yang sama. Pernah beberapa waktu lalu di jembatan Alue Naga, dekat tempat saya tinggal, ada seorang perempuan yang terjun ke sungai gara-gara cinta. Aih, konyol sekali!
Saya menggemari Hritik Roshan. Dia lelaki yang berhasil membuat dirinya mahal. Dia bisa menari dengan tubuh lentur bak karet. Dia beda. Saya salut. Tapi saya telah memutuskan untuk tidak memperjuangkan cinta. Saya kira, Hritik Roshan juga sama. Yang dia perjuangkan sebenarnya bukan cinta, tapi skill dia dalam berakting, karir dia di perfilman, cita-cita dia, masa depan dia. Bukan cinta. Menurut saya, seseorang tidak perlu memperjuangkan cinta apalagi jika sampai harus bunuh diri. Atau contoh sederhana, ketika tamat SMA seorang pemuda memutuskan berkuliah di jurusan yang sama dengan orang yang dicintainya padahal dia tidak berkompeten untuk jurusan itu. Tapi pendewaan terhadap cinta membuatnya mati logika. Tidak perlu memperjuangkan cinta karena itu bisa berujung tragis. Setidaknya jadilah seperti Hritik Roshan yang memperjuangkan masa depan dan kemampuan diri.
Sebagai penutup, saya menemukan sesuatu yang baru dalam diri saya. Jika dulu saya menonton film india dan menganggap itu sebuah realitas sejati, sekarang saya sadar. Film india itu tidak sama dengan buku tuntunan salat lengkap. Meski disajikan dengan apik, beberapa hal di dalamnya tidak elok diterapkan dalam kehidupan. Dan memperjuangkan cinta terkadang menjadi sebuah kekonyolan terkonyol di dunia ini. Apalagi jika sampai harus terjun ke sungai. Ishk, amit-amit!
0 comments
Posting Komentar