-------

Sabtu, 31 Desember 2011

Kilas Balik





Syahdan, banyak diceritakan dalam hikayat, baik itu yang tertulis dalam lembaran-lembaran atau pun yang menyebar dari mulut ke mulut. Bahwasanya, dalam kehidupan seseorang, seberapa pahit pun keadaannya, dia pasti sempat merasakan setidaknya sedikit rasa senang atau bahagia. Konon pula, kata seorang penyair dari Lebanon, Kahlil Gibran,  semakin dalam kita mengukir penderitaan, semakin luas pula kebahagiaan yang akan kita dapatkan.

            Sebagai contoh, ada  cerita tentang si Bawang Merah dengan si Bawang putih. Ia tidak jauh berbeda juga dengan cerita Cinderella. Awalnya Cinderella dan si Bawang putih merupakan objek segala caci maki dan hinaan. Seringkali di rumah, oleh ibu tirinya, mereka tidak dianggap. Beranjak dari kepicikan demi kepicikan yang tumbuh dari hati sang ibu tiri yang berhati jahat, mereka merasakan berbagai bentuk dan model penindasan yang tidak pernah mereka harapkan.

            Singkat cerita, mereka akhirnya bisa terlepas dari cengkeraman yang tidak baik itu. Seperti Cinderella misalnya, setelah melewati semua ujian-ujian itu dengan kesabaran, ia dipertemukan dengan seorang pangeran tampan, baik hati dan kaya raya. Mereka kemudian menikah dan menyambut kebahagiaan dengan hati damai. Setiap penderitaan adalah ongkos untuk membeli sebuah kebahagiaan. Mungkin begitulah kesimpulan dan pesan moral yang ingin disampaikan oleh si pengarang cerita dalam dalam fabel tersebut.

            Seperti halnya Cinderella, sedikit tidaknya Bang Lara juga mengalami hal yang hampir serupa. Ada bagian dari perjalanan hidup Bang Lara yang pada awalnya kurang berpihak kepadanya. Bagian itu terdiri dari kepingan-kepingan kekecewaan, amarah, dan kesedihan yang  datang secara silih berganti.

            Bermula pada akhir 2009  dan menjelang tahun 2010. Bang Lara tiba-tiba merasakan hatinya yang remuk, pikiran yang berkecamuk, juga rasa sedih yang terus mengamuk. Waktu itu, sebagai seorang pemuda, ia menjalin kasih dengan seorang wanita. Mereka saling mencintai. Mencoba membangun cinta dari dua hati yang menjadi penopang. Tanpa diduga, sekonyong-konyong prahara datang. Karena satu dan lain hal, akhirnya Bang Lara harus menyambut tahun 2010 dengan duka. Pacar Bang Lara memutuskan cintanya.

Bukan main sakit hati Bang Lara. Kecewa, sedih, kesal dan segala perasaan yang bercampur aduk di dalamnya. Hampir setiap hari ia sampai harus membaca yasin untuk penyembuhan hati yang tergores cinta. Setiap membaca yasin, hati Bang Lara terasa tenang. Setiap kali hati meronta, ia membacanya lagi. Kadang-kadang ia mencari teman-teman untuk bercanda ria demi melupakan segala luka lara. Waktu itulah Bang Lara tersadarkan hatinya akan  arti persahabatan. Ini mengukuhkan kembali apa yang pernah dikatakan oleh seorang Aristosteles bahwasanya, “Jika kamu diberikan apa pun yang kamu inginkan di dunia ini, namun tidak berikan teman, maka semuanya  tidak akan ada artinya.

            Hari demi hari hati Bang Lara mulai tersembuhkan sedikit. Bang Lara ingat sekali, awal tahun 2010, ia mengikuti sebuah program pertukaran pelajar yang diselenggarakan oleh American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF), kurang lebih artinya, “Lembaga Pertukaran Pelajar Amerika Indonesia”. Dalam sisa-sisa luka yang hampir sembuh, Bang Lara mendapat telepon dari Mbak Isye, salah seorang staff yang bekerja di Aminef. Waktu itu Bang Lara baru pulang jum’at. Setelah handphone diangkat, dari seberang terdengar seorang perempuan berbicara. Ia mengatakan selamat kepada Bang Lara karena telah melewati tahap pertama tes. Dan diharapkan untuk mengikuti tahap ke dua, berupa interview di Jakarta. Semua biaya transportasi ditanggung oleh Aminef. Bah! bukan kepalang senang Bang Lara.

            Interview itu berlangsung di ruang yang sedikit lebih kecil dari ruang kuliah. Ada beberapa meja yang disusun hampir mirip dengan meja konferensi para petinggi negara. Ada sekitar lima orang duduk melingkar. Tiga di antaranya adalah orang Amerika. Yang lain orang-orang indonesia. Semua mereka memakai dasi, kemeja putih dan jas berwarna hitam. Mcoy, seorang Amerika. Ia menanyakan pertanyaan pertama. Semua berjalan lancar.

            Setelah wawancara dan memenuhi setiap agenda yang telah direncanakan seperti mengunjungi teman-teman di asrama aceh di Jakarta, juga mencoba mengelilingi beberapa bagian kota Jakarta  seperti monas dan lainnya, akhirnya Bang Lara pulang lagi ke Aceh.

Beberapa bulan kemudian ada kabar baik. Bang Lara lulus. Ia diberikan kesempatan ke Jakarta lagi untuk mengikuti tes toefl Ibt. Staff Aminef menyebutkan bahwa untuk lulus, syarat toefl ibtnya harus di atas 60. Setelah mengikuti toefl dan melihat hasilnya, Bang Lara mendapatakan nilai yang lumayan memuaskan.

Setelah beberapa minggu menunggu di Aceh, akhirnya dikabarkan “Selamat…” Bang Lara lulus untuk belajar di Amerika selama 6 bulan. Sebuah cita-cita yang telah lama sekali Bang Lara dambakan. Ia mempersiapkan segala urusan administrasi seperti mentranslate ijazah, membereskan pasport, bahkan emak Bang Lara sudah membelinya sebuah kamera sebagai alat dokumentasi gambar sewaktu di Amerika nanti.

Namun setelah menghubungi teman-teman lain di luar Aceh, akhirnya terdapat sesuatu yang aneh. Semua teman-teman sudah mendapatkan tiket untuk mengikuti Pre Departure Orientation (PDO) di Bali. Sementara status Bang Lara tiba-tiba dirubah. Ia tidak pernah diberangkatkan. Bang Lara kembali remuk. Hancur! Kecewa. Ia merasa telah ditipu. Ia merasa aminef telah berlaku tidak fair. Padahal itu kali ke dua dan kali terakhir untuk Bang Lara karena setelah itu sudah memasuki semester 7. Bang Lara merasa tidak pantas digagalkan. Beberapa kali bang lara bertanya tentang apa salah dan kekurangan bang lara sehingga tidak diberangkatkan, tidak ada jawaban yang jelas dari aminef. Alih-alih menjelaskan sebab musabab, Bang Lara malah ditawarkan program beasiswa-beasiswa lain untuk S2. Jelas-jelas Bang Lara mengalami ilfil berat.

Bang Lara depresi. Berhari-hari ia tidak ke kampus. Kekecewaan itu tidak hanya memberi efek terhadap proses akademik, namun juga hubungan sosial. Ia mulai suka menyendiri. Yang lebih parahnya, penyakit ini juga ikut merambah pada aspek spiritual. Bang Lara marah pada Tuhan. Marah sekali!

Itu adalah cita-cita Bang Lara semenjak SMA. Namun cita-cita itu tidak pernah sampai. Padahal Bang Lara sudah bekerja keras dan melebihi di atas kerja teman-temannya. Waktu untuk ke kantin ia kurangi dengan membaca-baca buku toefl di ruang kelas. Ia membaca buku-buku umum untuk memperluas wawasan. Ketika gagal itu, Bang Lara mencoba melihat kembali orang-orang yang sudah pernah Amerika. Dulu mereka juga tidak terlalu keras belajar, malah lebih sering menghabiskan waktu untuk ngobrol-ngobrol di kantin. Namun mereka bisa berangkat dan terpilih ke Amerika. Bang Lara merasa bahwa Tuhan itu tidak adil.

Belum cukup  sembuh dari rasa sakit itu, Bang Lara sudah harus mengawal roda pemerintahan organisasi di kampusnya. Kebetulan ia terpilih sebagai ketua himpunan mahasiswa jurusan (HMJ). Di sini ia dihadapkan lagi dengan banyak permasalahan-permasalahan baru. Mulai dari anggota-anggota yang malas hingga para pembesar organisasi yang sering bikin Bang Lara kesal. Juga persoalan politik kampus dan tak kenal akhir. Berbelit-belit ibarat melerai benang kusut. Ada saat ketika Bang Lara harus merangkak sendiri dari pagi sampai malam mengurus amprahan sebagai dana operasional dan ruh organisasi. Pernah tidak ada yang menemani. Miris!

Sederetan peristiwa itu terjadi di sepajang tahun 2010, bahkan sedikit merembes ke permulaan 2011. Secara keseluruhan, tahun 2010 bermuka muram pada hidup Bang Lara.
Memasuki tahun 2011, bulan april, Bang Lara diberikan kesempatan untukmengikuti Pelatihan Ketahananan Nasional Untuk Pemuda (TANNASDA) di  Pusat Pengembangan Pemuda dan Olah Raga, Cibubur, Jakarta Timur.

Di sana ia berjumpa dengan para pembesar Republik Indonesia. Salah satunya adalah Mentri Pemuda dan Olah Raga, Andi Malarangeng. Satu hal yang tak terlupakan adalah Bang Lara tidak bawa sikat gigi ke Jakarta dan tidak sempat beli pula di sana. Itulah pengalaman terdahsyat Bang Lara, bertemu Menteri dengan tidak sikat gigi. Selain juga bertemu dengan beberapa jenderal besar berpangkat tinggi, Bang Lara dengan teman-teman TANNASDA lainnya juga dijadwalkan untuk makan malam bersama duta besar Indonesia untuk Malaysia, Bapak Da’i Bachtiar. Namun itu tidak kesampaian. Karena ada sedikit dinamika yang terjadi dalam kementrian pemuda dan olah raga. Dua hari sebelum program berakhir, kami mengadakan kunjungan ke Universitas Taylor Malaysia dan beberapa tempat refreshing, meski tidak berjumpa dengan Bapak Dubes.

Dua minggu genap, kegiatan usai. Kuliah Pengabdian Masyarakat baru satu hari berjalan di Aceh Besar. Bang Lara harus langsung pulang karena telah mendaftar untuk ikut kuliah tersebut. Orang-orang menyebutnya juga dengan KKN, Kuliah Kerja Nyata. Namun ada beberapa orang memplesetkannya menjadi Kura-Kura Ninja.

            Sambil KKN/KPM, Bang Lara yang suka menulis, mendaftar dirinya untuk menjadi siswa Muharram Journalism College. Sebuah sekolah jurnalis. Tidak teralu susah untuk menyesuaikan waktu di antara ke duanya. Antara KPM dan belajar di MJC. Hanya perlu menyediakan stok alasan yang super supaya pihak yang berkepentingan tidak memberi stigma negatif atas pembagian waktu yang ilegal ini.

            Hampir selesai di MJC, Bang Lara diberikan kesempatan untuk belajar secuil tentang sinematografi, cara membuat film. Ini adalah kesempatan emas yang sangat Bang Lara syukuri. Hasil kerja sama antara Yayasan Kampung Halaman Jogjakarta dengan Komunitas Tikar Pandan inilah menjadi cikal bakal lahirnya “film Habis Terang Terbitlah Gelap”. Sebuah film yang dimainkan oleh Bang Lara yang berperan sebagai Sam dan juga Fira sebagai pacarnya.

Senangnya hati Bang Lara melihat film tersebut yang akhirnya sukses digarap secara bersama-sama. Terimakasih sekali RA Karamullah yang menjadi editor akhir pada film ini. Ketika diputar perdana, semua penonton memberi applause dan tanggapan positif terutama kepada aktornya. Bang Lara senang sekali.

Selang beberapa hari, sebuah tulisan opini Bang Lara berjudul “Melirik Perempuan” akhirnya dimuat di Serambi Indonesia. Sesuatu yang sudah sangat lama Bang Lara idam-idamkan. Ini bagai mimpi. Banyak teman-teman memberi selamat. Serambi Indonesia adalah surat kabar yang sulit ditembus oleh penulis-penulis pemula seperti Bang Lara.

Bulan demi bulan terus bergulir hingga tibalah pada akhir 2011. Tepatnya tanggal 31 Desember 2011, hari terakhir sebelum tahun baru, Bang Lara dan teman-teman diwisudakan di Muharram Journalim College (MJC). Panitia mengumumkan bahwa Bang Lara terpilih sebagai mahasiswa terbaik II angkatan VI. Alhamdulillah.

Berbeda dengan tahun 2010, 2011 adalah tahun yang cukup ramah terhadap Bang Lara. Meski ujian dan penderitaan Bang Lara dalam kilas balik 2010 tidak sebanding dengan derita Cinderella, begitu juga pencapaian Bang Lara yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Tarzan, namun satu pertanyaan yang tertinggal di hati adalah “kenapa Bang Lara harus sempat marah pada Tuhan?”

Jika kita menderita, ada lagi yang lebih menderita. Jika pun harus berbangga, ada orang lain yang lebih luar biasa. Di atas awan ada awan lain yang lebih tinggi. Derita dan bahagia harus disambut dengan lapang dada. Akhirnya, selamat datang 2012 !  []

Selasa, 27 Desember 2011

Skripshit



Anjrit! Kalau kata orang Jakarta. Bah! Kata orang Batak. Dua kata ini cukuplah untuk mewakili kekesalan yang terlalu keras untuk di rasakan. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah ada. Bah! Ia datang lagi. Perlahan mengendap-endap dengan mata tajam ibarat pencuri. Gelagat yang penuh kepaspadaan dan juga kekhawatiran. Khawatir tertangkap, khawatir gagal, dan khawatir target operasi yang berjaya, bukan dirinya. Tapi, pagi ini dialah yang telah tertawa melihat keberhasilannya itu.

Hal yang sama terulang lagi. Aku yang gagal. Matahari telah meninggi setinggi galah.  Dan aku baru membuka mata pertama kali untuk hari ini. Subuhku kemana? Iblis itu sungguh celaka dan bedebah. Subuhku hilang. Tadi ia datang lagi dan mengikat tubuhku dengan godaannya yang menghanyutkan sekaligus mematikan. Aku jadi teringat seorang pesohor tempo dulu di Perancis. Aku lupa namanya siapa. Kata-katanya begini, “aku bisa menahan apa pun kecuali godaan”. Aku kalah, makhluk itu datang lagi dan menggoda lagi. Ia mencoba menekan tombol otomatis pada jiwaku agar besok bangun telat dan tidak disiplin lagi; supaya sifat itu mengeras dan membentuk kebiasaan hingga membatu.

Anjrit! Aku tak ingin melakukannya lagi. Aku ingin bikin skripsi, sesuatu yang sama sekali tidak menyenangkan itu. Meski suka menulis, tapi kalau skripsi, selera menulisku bisa  tumbang tiba-tiba. Bukan karena tidak bisa. Terlalu gengsi untuk kukatakan tidak bisa. Hanya saja, aku bosan. Dicoret lagi, tulis lagi, coret lagi, begitulah seterusnya. Seperti itulah siklusnya berputar-putar sehingga membentuk bola kekecewaan besar yang siap menggelinding dan menghancurkan masa depan, mungkin.

Kau tahu? Seperti kata orang, “Manusia berencana, Tuhan tertawa”, sudah terlalu sering aku berencana. Rencana bangun lebih awal, rencana memelihara ikan lele, rencana mengajar, dan yang paling menyesakkan, rencana bikin skripsi yang sudah ratusan kali tak pernah berjalan. Ah skripsi, kau terlalu buas untuk dijinakkan. Bukan karena aku takut, tapi karena kau memuakkan. Bagaimana Tuhan akan menentukan jika tidak pernah bertindak begini.

Semalam ibuku menelpon, sudah sampai di mana skripsimu Nak? Aku terkejut dan mulai memutar kembali jurus lamaku, berbohong. Hampir selesai Mak. Sedikit lagi.

Skripsi oh skripsi, kamu sungguh tidak menyenangkan! Kalau begini, jadi teringat sama lagu Iwan Fals, Cemburu pada ombak yang selalu bergerak! 

Minggu, 25 Desember 2011

Melirik Perempuan

http://aceh.tribunnews.com/2011/12/24/melirik-perempuan


Oleh Putra Hidayatullah

LAKI-LAKI dan perempuan sama-sama punya peran dalam menciptakan peradaban dan juga kelangsungan hidup manusia. Seringkali perdebatan muncul. Tentang siapa yang lebih berperan, siapa yang lebih berhak dan siapa yang lebih kuat.

Dalam beberapa budaya dan lingkungan, lelaki dipandang lebih kuat dan perempuan cenderung dianggap sebagai manusia kelas dua. Bahkan pemikir Yunani, Aristosteles, menyebutkan, perempuan adalah pria yang tak lengkap. Ia lemah secara psikologis dan emosional serta tidak independen. Menurutnya perempuan lebih perkasa ketimbang laki-laki. Perihal ini tergambar dalam bukunya yang sempat dicekal oleh pemerintah Rusia pada 1889. 

Leo Tolstoy (1828-1910), seorang sastrawan dunia kelahiran Rusia, juga memberikan pandangan terbalik. Dalam novelnya, The Kreutzer Sonata, ia menampilkan tokoh perempuan, Posdnicheff. Leo menulis, di balik kelemah-lembutan, kemerduan suara dan lenggak-lenggok tubuhnya, wanita justru menyimpan kekuatan. Perempuan juga menguasai lelaki dengan pakaian dan hal-hal yang menggugah hasrat lelaki. 

Sekilas, perempuan terlihat sebagai objek yang dinikmati lelaki. Namun tanpa disadari lelaki telah terjebak pada kondisi itu. Maka kemudian perempuanlah yang sebenarnya berkuasa atas lelaki. Dengan kekuatan itu pula istri Podsnicheff berhasil merebut hati seorang pelatih biola hingga kemudian terlibat dalam perselingkuhan. Di akhir cerita, pada novela tersebut Posdnicheff mengakhiri nyawa istrinya dengan ujung belati.

Dalam hikayat lain juga menceritakan tentang kehebatan seorang perempuan yang dengan pesonanya mampu menaklukkan seorang laki-laki bahkan raja sekalipun. Contohnya seperti Cleopatra yang sering dikisahkan dalam drama-drama, novel dan film. Ratu Mesir ini berhasil menggaet orang terkuat pada masanya yakni Julius Caesar dan Mark Antony. Konon Antony adalah seorang jenderal besar yang karir dan hidupnya harus hancur akibat asmara dan sensualitas Cleopatra.

Lain Mesir lain pula Aceh. Aceh juga punya sejarah tersendiri tentang perempuan. Dulu kekuatan dan keperkasaan perempuan terejawantah dalam bentuk yang berbeda. Ada dalam kisah-kisah heroik nyata yang menakjubkan. Di antaranya adalah Laksamana Keumalahayati. Pada tahun 1590 ia ditunjuk oleh Sultan Alaudin Riyatsyah al Mukammil (1589-1604) sebagai armada Aceh untuk berperang dan mengusir tentara kolonial Belanda. 

Cut Nyak Dhien, ia mendampingi suaminya untuk berperang melawan Belanda bahkan ketika Teungku Umar sudah wafat di Meulaboh (1899), ia terus berjuang dalam perang. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh Cut Meutia (1870-1910). Ia ikut memimpin perang melawan kolonial Belanda.

Cerita di atas jelas menggambarkan bahwa perempuan bukanlah semata-mata lembar manifes yang cabik. Ia memiliki kekuatan dan pengaruh baik dengan pesona maupun keteguhannya. Dalam Islam perempuan juga digambarkan sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar. Ia ikut menjadi tolak ukur baik tidaknya sebuah negara. Seperti dikatakan oleh Rasulullah, “Sebuah negara itu tergantung pada perempuan. Jika perempuan itu baik maka baiklah suatu negara.” 

Namun di zaman yang semakin canggih dan tantangan yang semakin ketat, segelintir orang memanfaatkan energi magis perempuan yang tidak terlihat tersebut. Aktor-aktor itu mengerti akan adanya tiga titik yang membuat manusia sering tidak berdaya: harta, tahta, dan wanita. Pada ruang tertentu lalu perempuan dijadikan komoditi dan alat untuk mendulang uang dari kantong-kantong manusia yang lain. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa produk yang dijual atau dipromosikan oleh perempuan cantik akan lebih cepat laku ketimbang dipromosikan oleh laki-laki. Iklan-iklan di TV akan kalah menarik jika tanpa kehadiran perempuan. Di saat peluncuran produk mobil terbaru misalnya, akan ada satu atau dua perempuan cantik yang berdiri setengah erotis di salah satu sudut mobil. Mereka melayani setiap setiap sesi pemotretan sambil menyenyumi setiap pengunjung juga pelanggan. Mobil yang bagus dan perempuan yang cantik adalah dua “magnet” yang cukup menggoda siapa saja. 

Sementara di beberapa desa tertentu ada pemandangan berbeda. Ada perempuan yang di pagi buta sudah di sawah seusai mengurus dapur dan lainnya sementara ada sang suami yang sibuk mengoceh di warung kopi. Fenomena ini mungkin juga sedikit tergambar dalam sajak Hartojo Andangdjaja yang tentunya beranjak dari keadaan:

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka. Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa. Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota. Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa. 

Kondisi seperti inilah yang terkadang menyebabkan lahirnya aktivis perempuan untuk membela. Hal ini kemudian merambah pada emansipasi yang menuntut persamaan hak antara lelaki dan perempuan; hak berpolitik, hak bersuara, hak ngopi dan sebagainya karena mereka merasa berada pada pihak yang teraniaya.

Di banyak warung kopi di kota semisal Banda Aceh juga ada lakon lain yang kontras. Mungkin bukan hal yang asing lagi ketika muncul segerombolan wanita-wanita cantik dengan pakaian seragam  menawarkan rokok dari meja ke meja. Tidak jarang mereka digoda atau dipermainkan para lelaki. Dengan sabar dan teguh kemudian mereka pergi lagi ke meja lain. Dengan pesona dan model sabar yang demikianlah beberapa perempuan mengejawantahkan kekuatan dan keperkasaan mereka.

Percaya tidak percaya, perempuan adalah makhluk yang kuat dan berpengaruh. Ia tidak boleh tidak dihargai dan diremehkan. Karena perempuan juga ibu yang berjasa melahirkan banyak laki-laki hebat di dunia. Pun demikian, perempuan akan lebih hebat jika seandainya tegas dan tidak membiarkan orang-orang tertentu menyalahgunakan kecantikan dan keberadaannya sebagai pelaris mobil, rokok dan sebagainya. Karena model seperti itu adalah bagian dari eksploitasi perempuan yang jarang dikritisi bahkan oleh aktivis perempuan sendiri. 

* Penulis adalah mahasiswa TEN IAIN Ar-Raniry. Peserta Sekolah Remaja 2011 Tikar Pandan.


Bahasa Propaganda

http://harian-aceh.com/2011/11/03/bahasa-propaganda


Oleh Putra Hidayatullah — Persepsi adalah timah. Timah ini kemudian dipanaskan oleh campur tangan manusia melalui lisan, tulisan atau media massa. Karena dipanaskan secara terus menerus maka timah ini berubah menjadi cair. Timah panas inilah yang kemudian disemprotkan pada golongan atau kelompok tertentu seperti HMI, KAMMI, LDK, PKI, MASYUMI, PSI, dan lain-lain yang lebih akrab terdengar. Tidak jarang kemudian lahir stigma dan kebencian berlebihan yang terkadang tanpa dasar dan bukti. Dari sinilah perang dimulai. Masing-masing pihak akan berusaha mati-matian mencari fakta-fakta dan data yang sanggup menjatuhkan kelompok lawan. Dalam banyak hal ini erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan alias kepentingan politik.
Lalu berselisihlah mereka, pihak yang memiliki kepentingan ini. Dan orang-orang ramai dan awam menjadi kebingungan ketika masing-masing kelompok menyebutkan berbagai frasa dan kalimat yang dimunculkan seolah-olah itu adalah dalih utama.  “Demi rakyat, atas nama mahasiswa, atas nama kesejahteraan, demi kemakmuran”. Teriakan-teriakan ini terus menggema mulai dari yang halus, dari bisik-berbisik muda-mudi di warung kopi, di depan kamera, sampai pada TOA yang melengking keras menggetarkan gendang telinga. Kata-kata dianggap peluru yang begitu menyerang meski terkadang kosong tanpa ruh sama sekali.
Orang-orang awam terjebak dan ramai pula yang tersesat dalam rimba pikir yang belum jelas ujung pangkalnya ini.  Terperangkap dalam alam pikiran dua kelompok atau lebih yang memiliki kepentingan. Mereka menjadi bingung dan menyerah pada “kesesatan”. Seperti ungkap Goenawan Moehammad mantan pemimpin redaksi Koran Tempo, “Kekuasaan menginginkan sahaya”. Orang-orang ramai inilah yang menjadi sahaya. Mereka membiarkan dirinya yang menjadi sahaya. Jika pada diri mereka tersimpan bibit idealisme atau bertipe ideologis, maka mereka akan ditipu dengan logika dan retorika menawan yang bisa mematahkan pola berpikir sehingga menjadi sinkron dengan cara  berpikir si pemilik kepentingan.
Sebagian lainnya mungkin dilahirkan untuk menjadi seorang materialist sejati. Tipe ini juga salah satu jenis manusia yang ada dalam masyarakat. Pikiran dan hati mereka bisa berubah mudah dengan diberikan sejumlah uang, sebuah mobil, sebuah rumah, jaminan tertentu bahkan ada yang bisa menjadi sahaya hanya dengan segelas kopi. Kelompok mana yang membayar kopinya, kelompok itulah yang baik dan di kelompok itulah ia berada. Persepsi begitu mudah dibentuk.
Pembentukan persepsi adalah bagian dari teknik propaganda. Sebuah bentuk komunikasi yang pesan di dalamnya tak terikat dengan nilai benar atau salah. Ia sengaja dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk  membentuk, mengawasi atau mengubah sikap dari orang banyak dengan tujuan agar  mereka yang dipengaruhi akan bertindak  seperti yang diinginkan oleh sang propagandis (pelaku propaganda). Tak pelak jika dalam hal ini praktek kibul mengibuli tumbuh subur bak jamur di musim hujan.
The Fine Art of Propaganda, sebuah buku yang ditulis oleh Alfred McClung Lee dan Alizabeth Briant Lee pada tahun 1939. Di dalamnya dijelaskan tentang beberapa teknik propaganda yang cukup efektif. Salah satunya yang paling terkenal adalah Name Calling. Name Calling adalah pemberian nama atau melekatkan label tertentu kepada lembaga, orang, atau gagasan sehingga massa atau orang ramai membenci dan menolaknya. Praktek ini tumbuh subur di sekeliling kita. Contoh kecil ada pada level mikro yakni universitas. Di kebanyakan universitas,  setiap tahunnya kita bisa melihat fenomena unik. Mahasiswa baru digiring oleh seniornya yang notabene telah mengikat diri dengan golongan tertentu. “Jangan ikuti kelompok itu! Kelompok itu adalah kelompok para pengkhianat!” atau dalam redaksi lain yang sejenis.
Pesan tersirat yang ingin disampaikan adalah ikuti kelompok kami saja. Karena kelompok kamilah yang paling suci alias kami butuh banyak massa untuk berkuasa. Sekali lagi, “Kekuasaan menginginkan sahaya”. Jadilah sahaya.  Tidak cukup dengan cara itu, cara-cara halus dan santun juga diterapkan dengan bermacam kedok yang terkesan etis,  menawan, bahkan agamis. Soe Hok Gie di tengah kegalauannya pada suatu hari menuliskan, “Masih banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik baru dari sekolah menengah, mereka akan jadi korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”.
Jarang ada yang “terselamatkan” dalam propaganda seperti ini kecuali mereka yang memiliki daya kritis sehingga masih mampu berpikir secara jernih dan tidak terbawa arus. Ketika orang ramai telah teracuni oleh si propagandis lalu mengklaim kelompok atau orang tertentu buruk, maka mereka yang “terselamatkan” akan mencari bukti-bukti terlebih dahulu karena mereka yakin “penipu ada di mana-mana”. Merekalah yang percaya pada ayat Allah, “Jika datang orang fasik kepadamu, maka periksalah tentang kebenaran berita yang ia kabarkan”
Inilah praktek yang terjadi pada level mikro. Maka bagaimana dengan level makro yakni pada tingkat pemerintahan? Mahasiswa baru itu adalah seumpama masyarakat awam atau rakyat banyak yang kerap ditipu melalui retorika-retorika dan materi atau uang. Tak heran jika seorang politisi di Amerika pernah berkata, “Rakyat selalu ingin ditipu, maka biarkanlah mereka tertipu!”. Bul kibul kibul… tak kibul..kibul.. kibul diadu demi perkibulan, kata Iwan Fals.
Akhir kata, kebanyakan kita adalah para  korban dan juga sahaya karena “timah” kita dengan begitu mudah bisa dipanaskan dan dicairkan. Karena itu mari kita selamatkan daya kritis dan berpikir dengan jernih. Apalagi ke depan juga akan berlangsung pemilihan kepala daerah di Aceh. Semoga dalam memilih nanti  di antara kita tidak ada yang mudah tertipu dengan propaganda-propaganda yang tak jelas ujung pangkalnya.[]
*Penulis Mahasiswa Tadris English IAIN Ar-Raniry

Minggu, 11 Desember 2011

AJO


Ajo adalah sebuah kata yang muncul sekitar tahun 1998. Setidaknya pada tahun itulah Bang Lara pertama sekali mendengarnya. Bang Lara waktu itu masih SD. Masih memakai celana pendek merah, baju putih dan topi pet merah. Sebuah logo burung mirip pancasila tertempel di sana. Di bawahnya bertuliskan “tut wuri handayani”. Waktu SMA guru sejarah Bang Lara menambah lagi kata-kata itu menjadi lebih panjang, “Ing karso martolodo, wa immadya mangun karso, tut wuri handayani”. Hingga kini pun Bang Lara tidak tahu apa artinya. Oh  iya, Satu lagi yang  terlupa adalah dasi merah dengan tali karet. Dasi bertali karet itu memang tak mampu membuat kita tampil perlente seperti para pejabat. Namun ia mengandung hikmah. Jika misalnya kepepet jadi tidak ribet. Dasi itu tinggal disawak saja ke kepala hingga melingkari leher. Lalu anak-anak berangkat ke sekolah.

Dulu, Kecil-kecil sudah sudah fashion. Teman-teman suka memamerkan apa saja yang baru mereka beli, terutama aksesoris-aksesoris yang lagi ngetrend. Teman Bang Lara, Dek Ki pada suatu pagi sengaja masuk ke ruang kelas agak telat. Padahal dari jam 7.30 ia sudah tiba. Sekolah Bang Lara tidak memiliki bel. Sebuah roda truk bekas  digantungkan di depan kantor guru. Roda itu diikat dengan menggunakan rantai sepeda motor yang bekas pula. Pak Rih, pesuruh sekolah yang selalu membuat lonceng itu berdentang. Bel pertanda masuk telah dipukulnya sejak lima menit lalu. Bang Lara dan teman-teman sudah di ruang kelas. Akhirnya Dek Ki masuk. Ia berjalan pelan penuh gaya seperti mode slow motion dalam film matrix. Kakinya melangkah elegan. Ia berpura-pura tidak tahu jika kami sedang memperhatikannya. Lalu ia berhenti di mejanya. Dek Ki memakai sepatu baru. Merknya ATT  berwarna hitam. Begitulah cara ia memberi tahu kawan-kawannya. Lakonnya seolah berkata begini, “Lon ka na sipatu baro beh! Kah na?!”  (aku sudah punya sepatu baru. Kalian nggak ada kan?!).

Sebulan kemudian ATT Dek Ki lecet. Tapaknya merenggang. Warnanya pun memudar. Melihat itu ketua kelas, Mat Nu, berkata setengah berbisik, “ATT ajo!” kata Mat Nu sinis. Bang Lara dan teman-teman meledak terbahak. Semenjak itu Ajo  menjadi kata paling populer yang pernah mereka ucapkan. Setidaknya pada tahun tersebut. Mereka menggunakannya untuk mengejek teman-teman yang  terjebak oleh yang tiruan dan palsu.

Bang Lara kini sudah kuliah. Kata ajo sudah out. Andai saja ajo adalah sebuah barang, ia pasti bisa dijual dengan harga tinggi: antik. Sayang, ajo bukan barang. Hanya sekedar kata. Pun demikian, fenomena yang dulu dideskripsikan dengan kata ajo masih ada. Fenomena kekal namun kata yang berubah rasa dan warna.

Bang Lara pernah membaca satu artikel di pada sebuah blog. Ia tidak ingat lagi apa nama dan alamatnya. Tulisannya sangat menarik. Penulisnya bilang bahwa orang Jepang itu adalah kumpulan para pemalas dan penakut. Malah lebih malas dari rata-rata orang Indonesia. Orang Jepang malas jalan kaki karena itu mereka menciptakan sepeda motor. Orang Jepang malas mencuci baju lalu mereka menciptakan mesin cuci. Tidak hanya itu, orang Jepang juga penakut dan pengennya yang nyaman-nyaman saja. Mereka takut musim hujan karena itu mereka menciptakan mobil. Lihat saja orang Indonesia. Walau terik matahari menggodam kulit kepala, namun tidak takut. Di waktu musim hujan, anak-anak saja tidak takut kena hujan. Mereka malah senang dan bergembira taloe jalan (sepanjang jalan).  Tidak mau kalah, artis dan selebritisnya juga suka hujan. Bahkan ada sebuah lagu yang  diciptakan oleh sebuah grup band. Potongan liriknya kurang lebih begini, “Aku merasa bahagia saat hujan turun…bla…bla…bla..” Orang Indonesia itu  bahagia kalau hujan turun. Meski tingkat penambangan liar yang tinggi dan kebiasaan buang sampah sembarangan membuat banjir datang saban tahun. Seperti kata lagu lain, “senyum di waktu susah tanda ketabahan”. Orang Indonesia orang yang tabah.

Belum lagi kalau kita ke Aceh, salah satu propinsi di ujung pulau sumatera. Bangsa Aceh adalah bangsa teuleubeh di ateuh rhueng donya  alias bangsa pilihan di atas muka bumi ini. Katanya. Pada abad XX, Adolf Hitler juga sempat berpikiran serupa. Baginya bangsa Jerman adalah bangsa Arya yang telah dipilih oleh Tuhan untuk menjadi yang terbaik. Karena itu mereka membenci bangsa semit (keturunan Nabi Ibrahim/arab khususnya Yahudi). Pikiran seperti itu membuat mereka memandang remeh bangsa lain. Benarkah pilihan? Bang Lara tidak berani memvonis. Yang jelas untuk Aceh, seorang polisi yang pernah bertugas di penjara pernah berkata begini, “Orang Aceh itu kaya-kaya. Di penjara, tidak banyak orang Aceh yang ditangkap gara-gara mencuri. Rata-rata mereka dibui karena kasus jual beli dan  memakai narkoba. Bayangkan? Sabu-sabu satu kilogram saja bisa berharga milyaran rupiah dan orang Aceh sanggup membelinya. Hebat bukan?

Kata ajo memang hampir punah namun bau ajo semakin kentara saja. Klaim hebat, kaya, terbaik, tabah, dermawan, dan rajin jadi ajo belaka. Dikhawatirkan lama-lama bisa berubah nama menjadi bangsa ajo. Rakyatnya ajo, wakil rakyatnya ajo, akademisinya ajo, presidennya juga ajo, bahkan Bang Lara pun ikut ajo. Hehe …

Jumat, 02 Desember 2011

Lagha



Jadi, tadi Bang Lara pergi shalat jum’at. Seperti biasa, sedikit telat. “Telat sedikit tidak apa-apa dari pada tidak sama sekali” Bang Lara berkilah pada hati nuraninya yang kian  sepi. “Yah, kalau tidak percaya, lihat saja betapa banyak laki-laki yang tidak pergi shalat jum’at. Bersembunyi dalam rumah-rumah, warung kopi, toko-toko bahkan di meunasah. Bila dikumpulkan semuanya, cukup untuk diajak berdemo”. Salah satu diri di antara diri-diri lain pada Bang Lara menimpali.

Bang Lara memang tidak begitu bersemangat tadi. Sepulang mengajari anak-anak cara bertengkar (debat bahasa inggris), ia langsung merebahkan badan dan tangannya mulai menari di atas tuts laptop. Situs yang pertama dibuka tidak lain adalah facebook. “jaring” ini memang cukup menggoda. Setiap wifi atau modem menjadi “connected”, tanpa pikir panjang, jemari langsung mengetik www.facebook.com. Bila sudah dengan facebook, Bang Lara bisa langsung seperti bidadari yang mencium bau axe, bikin lupa diri.

“Lupa diri itu tidak baik”, ujar Bang Taqin pada suatu ketika. “itu adalah gejala kematian jiwa, bahasa arabnya disebut dengan “lagha”. Refreshing sih boleh, tapi jika refreshing itu berlebihan dan merengut waktumu untuk melakukan kewajiban, itu sudah bisa dikatakan sikap yang tidak bijak Dek Lara. Ingat nggak apa yang pernah dikatakan sama Hasan Al-Banna?” Tanya Bang Taqin. Bang Lara menggeleng-gelengkan kepala hingga air liurnya sedikit kecipratan ke baju temannya itu. “hehe… hujan lokal!” Kata Bang Lara polos. “Apa itu?” Bang Lara akhirnya terpancing juga.

“Kewajiban yang ada lebih banyak dari pada waktu yang tersedia”. Sehari ada dua puluh empat jam, nah lihat saja seberapa produktif kita. Seberapa besar porsi untuk lagha dan seberapa besar porsi untuk berkarya?. Sebenarnya Dek Lara musti bangga menjadi seorang yang beragama, konsep islam itu konsep sukses. Munculnya predikat haram pada pekerjaan tertentu seperti berjudi, berfoya-foya menunjukkan makna bahwa kita diajak untuk memilih menjadi produktif dalam berkarya dan berkarsa. “Sudah berapa tahun umur Dek Lara sekarang?”

“Dua puluh tiga tahun Bang” Jawab Bang Lara terbata-bata. “Dua puluh tiga tahun?, tua amat!” Bang Taqin seakan tak percaya. “Iya sih Bang, teman-teman juga bilang gitu, mereka sering manggil saya orang tua. Renta lagi Bang!”.

“Iya, makanya itu setidaknya menjadi teguran buatmu Dek! Dua puluh tiga tahun itu dianggap sudah cukup tua untuk melahirkan sebuah karya. Di Jawa sana Dek, orang-orang seumuran kamu sudah menciptakan hal-hal besar seperti menulis buku, bikin film, berbisnis dan lain sebagainya. Yang kreatif dong!”

“Iya Bang. Oya Bang, ada juga kawan yang bilang kalo saya itu masih imut. Kalau pakai celana pendek masih mirip anak SMP. Anak SMP yang tinggal kelas lima belas tahun”.
Seketika tawa Bang Taqin meledak. Giginya terlihat besar-besar.
“hahahahahaha….”