Ajo adalah sebuah kata yang muncul sekitar tahun 1998. Setidaknya pada tahun itulah Bang Lara pertama sekali mendengarnya. Bang Lara waktu itu masih SD. Masih memakai celana pendek merah, baju putih dan topi pet merah. Sebuah logo burung mirip pancasila tertempel di sana. Di bawahnya bertuliskan “tut wuri handayani”. Waktu SMA guru sejarah Bang Lara menambah lagi kata-kata itu menjadi lebih panjang, “Ing karso martolodo, wa immadya mangun karso, tut wuri handayani”. Hingga kini pun Bang Lara tidak tahu apa artinya. Oh iya, Satu lagi yang terlupa adalah dasi merah dengan tali karet. Dasi bertali karet itu memang tak mampu membuat kita tampil perlente seperti para pejabat. Namun ia mengandung hikmah. Jika misalnya kepepet jadi tidak ribet. Dasi itu tinggal disawak saja ke kepala hingga melingkari leher. Lalu anak-anak berangkat ke sekolah.
Dulu, Kecil-kecil sudah sudah fashion. Teman-teman suka memamerkan apa saja yang baru mereka beli, terutama aksesoris-aksesoris yang lagi ngetrend. Teman Bang Lara, Dek Ki pada suatu pagi sengaja masuk ke ruang kelas agak telat. Padahal dari jam 7.30 ia sudah tiba. Sekolah Bang Lara tidak memiliki bel. Sebuah roda truk bekas digantungkan di depan kantor guru. Roda itu diikat dengan menggunakan rantai sepeda motor yang bekas pula. Pak Rih, pesuruh sekolah yang selalu membuat lonceng itu berdentang. Bel pertanda masuk telah dipukulnya sejak lima menit lalu. Bang Lara dan teman-teman sudah di ruang kelas. Akhirnya Dek Ki masuk. Ia berjalan pelan penuh gaya seperti mode slow motion dalam film matrix. Kakinya melangkah elegan. Ia berpura-pura tidak tahu jika kami sedang memperhatikannya. Lalu ia berhenti di mejanya. Dek Ki memakai sepatu baru. Merknya ATT berwarna hitam. Begitulah cara ia memberi tahu kawan-kawannya. Lakonnya seolah berkata begini, “Lon ka na sipatu baro beh! Kah na?!” (aku sudah punya sepatu baru. Kalian nggak ada kan?!).
Sebulan kemudian ATT Dek Ki lecet. Tapaknya merenggang. Warnanya pun memudar. Melihat itu ketua kelas, Mat Nu, berkata setengah berbisik, “ATT ajo!” kata Mat Nu sinis. Bang Lara dan teman-teman meledak terbahak. Semenjak itu Ajo menjadi kata paling populer yang pernah mereka ucapkan. Setidaknya pada tahun tersebut. Mereka menggunakannya untuk mengejek teman-teman yang terjebak oleh yang tiruan dan palsu.
Bang Lara kini sudah kuliah. Kata ajo sudah out. Andai saja ajo adalah sebuah barang, ia pasti bisa dijual dengan harga tinggi: antik. Sayang, ajo bukan barang. Hanya sekedar kata. Pun demikian, fenomena yang dulu dideskripsikan dengan kata ajo masih ada. Fenomena kekal namun kata yang berubah rasa dan warna.
Bang Lara pernah membaca satu artikel di pada sebuah blog. Ia tidak ingat lagi apa nama dan alamatnya. Tulisannya sangat menarik. Penulisnya bilang bahwa orang Jepang itu adalah kumpulan para pemalas dan penakut. Malah lebih malas dari rata-rata orang Indonesia. Orang Jepang malas jalan kaki karena itu mereka menciptakan sepeda motor. Orang Jepang malas mencuci baju lalu mereka menciptakan mesin cuci. Tidak hanya itu, orang Jepang juga penakut dan pengennya yang nyaman-nyaman saja. Mereka takut musim hujan karena itu mereka menciptakan mobil. Lihat saja orang Indonesia. Walau terik matahari menggodam kulit kepala, namun tidak takut. Di waktu musim hujan, anak-anak saja tidak takut kena hujan. Mereka malah senang dan bergembira taloe jalan (sepanjang jalan). Tidak mau kalah, artis dan selebritisnya juga suka hujan. Bahkan ada sebuah lagu yang diciptakan oleh sebuah grup band. Potongan liriknya kurang lebih begini, “Aku merasa bahagia saat hujan turun…bla…bla…bla..” Orang Indonesia itu bahagia kalau hujan turun. Meski tingkat penambangan liar yang tinggi dan kebiasaan buang sampah sembarangan membuat banjir datang saban tahun. Seperti kata lagu lain, “senyum di waktu susah tanda ketabahan”. Orang Indonesia orang yang tabah.
Belum lagi kalau kita ke Aceh, salah satu propinsi di ujung pulau sumatera. Bangsa Aceh adalah bangsa teuleubeh di ateuh rhueng donya alias bangsa pilihan di atas muka bumi ini. Katanya. Pada abad XX, Adolf Hitler juga sempat berpikiran serupa. Baginya bangsa Jerman adalah bangsa Arya yang telah dipilih oleh Tuhan untuk menjadi yang terbaik. Karena itu mereka membenci bangsa semit (keturunan Nabi Ibrahim/arab khususnya Yahudi). Pikiran seperti itu membuat mereka memandang remeh bangsa lain. Benarkah pilihan? Bang Lara tidak berani memvonis. Yang jelas untuk Aceh, seorang polisi yang pernah bertugas di penjara pernah berkata begini, “Orang Aceh itu kaya-kaya. Di penjara, tidak banyak orang Aceh yang ditangkap gara-gara mencuri. Rata-rata mereka dibui karena kasus jual beli dan memakai narkoba. Bayangkan? Sabu-sabu satu kilogram saja bisa berharga milyaran rupiah dan orang Aceh sanggup membelinya. Hebat bukan?
Kata ajo memang hampir punah namun bau ajo semakin kentara saja. Klaim hebat, kaya, terbaik, tabah, dermawan, dan rajin jadi ajo belaka. Dikhawatirkan lama-lama bisa berubah nama menjadi bangsa ajo. Rakyatnya ajo, wakil rakyatnya ajo, akademisinya ajo, presidennya juga ajo, bahkan Bang Lara pun ikut ajo. Hehe …
1 comments
hehe, bang lara memang AJO!
Anak Jenius Oksigen
(maksud??)
terus menulis bang!
tulisanmu khas, pas, dan cukup beringas!
Posting Komentar