-------

Minggu, 25 Desember 2011

Bahasa Propaganda

http://harian-aceh.com/2011/11/03/bahasa-propaganda


Oleh Putra Hidayatullah — Persepsi adalah timah. Timah ini kemudian dipanaskan oleh campur tangan manusia melalui lisan, tulisan atau media massa. Karena dipanaskan secara terus menerus maka timah ini berubah menjadi cair. Timah panas inilah yang kemudian disemprotkan pada golongan atau kelompok tertentu seperti HMI, KAMMI, LDK, PKI, MASYUMI, PSI, dan lain-lain yang lebih akrab terdengar. Tidak jarang kemudian lahir stigma dan kebencian berlebihan yang terkadang tanpa dasar dan bukti. Dari sinilah perang dimulai. Masing-masing pihak akan berusaha mati-matian mencari fakta-fakta dan data yang sanggup menjatuhkan kelompok lawan. Dalam banyak hal ini erat kaitannya dengan perebutan kekuasaan alias kepentingan politik.
Lalu berselisihlah mereka, pihak yang memiliki kepentingan ini. Dan orang-orang ramai dan awam menjadi kebingungan ketika masing-masing kelompok menyebutkan berbagai frasa dan kalimat yang dimunculkan seolah-olah itu adalah dalih utama.  “Demi rakyat, atas nama mahasiswa, atas nama kesejahteraan, demi kemakmuran”. Teriakan-teriakan ini terus menggema mulai dari yang halus, dari bisik-berbisik muda-mudi di warung kopi, di depan kamera, sampai pada TOA yang melengking keras menggetarkan gendang telinga. Kata-kata dianggap peluru yang begitu menyerang meski terkadang kosong tanpa ruh sama sekali.
Orang-orang awam terjebak dan ramai pula yang tersesat dalam rimba pikir yang belum jelas ujung pangkalnya ini.  Terperangkap dalam alam pikiran dua kelompok atau lebih yang memiliki kepentingan. Mereka menjadi bingung dan menyerah pada “kesesatan”. Seperti ungkap Goenawan Moehammad mantan pemimpin redaksi Koran Tempo, “Kekuasaan menginginkan sahaya”. Orang-orang ramai inilah yang menjadi sahaya. Mereka membiarkan dirinya yang menjadi sahaya. Jika pada diri mereka tersimpan bibit idealisme atau bertipe ideologis, maka mereka akan ditipu dengan logika dan retorika menawan yang bisa mematahkan pola berpikir sehingga menjadi sinkron dengan cara  berpikir si pemilik kepentingan.
Sebagian lainnya mungkin dilahirkan untuk menjadi seorang materialist sejati. Tipe ini juga salah satu jenis manusia yang ada dalam masyarakat. Pikiran dan hati mereka bisa berubah mudah dengan diberikan sejumlah uang, sebuah mobil, sebuah rumah, jaminan tertentu bahkan ada yang bisa menjadi sahaya hanya dengan segelas kopi. Kelompok mana yang membayar kopinya, kelompok itulah yang baik dan di kelompok itulah ia berada. Persepsi begitu mudah dibentuk.
Pembentukan persepsi adalah bagian dari teknik propaganda. Sebuah bentuk komunikasi yang pesan di dalamnya tak terikat dengan nilai benar atau salah. Ia sengaja dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk  membentuk, mengawasi atau mengubah sikap dari orang banyak dengan tujuan agar  mereka yang dipengaruhi akan bertindak  seperti yang diinginkan oleh sang propagandis (pelaku propaganda). Tak pelak jika dalam hal ini praktek kibul mengibuli tumbuh subur bak jamur di musim hujan.
The Fine Art of Propaganda, sebuah buku yang ditulis oleh Alfred McClung Lee dan Alizabeth Briant Lee pada tahun 1939. Di dalamnya dijelaskan tentang beberapa teknik propaganda yang cukup efektif. Salah satunya yang paling terkenal adalah Name Calling. Name Calling adalah pemberian nama atau melekatkan label tertentu kepada lembaga, orang, atau gagasan sehingga massa atau orang ramai membenci dan menolaknya. Praktek ini tumbuh subur di sekeliling kita. Contoh kecil ada pada level mikro yakni universitas. Di kebanyakan universitas,  setiap tahunnya kita bisa melihat fenomena unik. Mahasiswa baru digiring oleh seniornya yang notabene telah mengikat diri dengan golongan tertentu. “Jangan ikuti kelompok itu! Kelompok itu adalah kelompok para pengkhianat!” atau dalam redaksi lain yang sejenis.
Pesan tersirat yang ingin disampaikan adalah ikuti kelompok kami saja. Karena kelompok kamilah yang paling suci alias kami butuh banyak massa untuk berkuasa. Sekali lagi, “Kekuasaan menginginkan sahaya”. Jadilah sahaya.  Tidak cukup dengan cara itu, cara-cara halus dan santun juga diterapkan dengan bermacam kedok yang terkesan etis,  menawan, bahkan agamis. Soe Hok Gie di tengah kegalauannya pada suatu hari menuliskan, “Masih banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik baru dari sekolah menengah, mereka akan jadi korban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam tadi”.
Jarang ada yang “terselamatkan” dalam propaganda seperti ini kecuali mereka yang memiliki daya kritis sehingga masih mampu berpikir secara jernih dan tidak terbawa arus. Ketika orang ramai telah teracuni oleh si propagandis lalu mengklaim kelompok atau orang tertentu buruk, maka mereka yang “terselamatkan” akan mencari bukti-bukti terlebih dahulu karena mereka yakin “penipu ada di mana-mana”. Merekalah yang percaya pada ayat Allah, “Jika datang orang fasik kepadamu, maka periksalah tentang kebenaran berita yang ia kabarkan”
Inilah praktek yang terjadi pada level mikro. Maka bagaimana dengan level makro yakni pada tingkat pemerintahan? Mahasiswa baru itu adalah seumpama masyarakat awam atau rakyat banyak yang kerap ditipu melalui retorika-retorika dan materi atau uang. Tak heran jika seorang politisi di Amerika pernah berkata, “Rakyat selalu ingin ditipu, maka biarkanlah mereka tertipu!”. Bul kibul kibul… tak kibul..kibul.. kibul diadu demi perkibulan, kata Iwan Fals.
Akhir kata, kebanyakan kita adalah para  korban dan juga sahaya karena “timah” kita dengan begitu mudah bisa dipanaskan dan dicairkan. Karena itu mari kita selamatkan daya kritis dan berpikir dengan jernih. Apalagi ke depan juga akan berlangsung pemilihan kepala daerah di Aceh. Semoga dalam memilih nanti  di antara kita tidak ada yang mudah tertipu dengan propaganda-propaganda yang tak jelas ujung pangkalnya.[]
*Penulis Mahasiswa Tadris English IAIN Ar-Raniry

0 comments

Posting Komentar