-------

Senin, 03 Desember 2012

Berpikir

Rene Descartes bilang, Cogito Ergo Sum artinya Aku berpikir maka aku ada. Selaku insan yang dikaruniai akal sepantasnyalah kita berpikir. Tentunya berpikir mengenai hal-hal yang bisa membawa hasil dan manfaat kepada diri sendiri dan orang lain. Misalnya berpikir tentang solusi dari suatu permasalahan, memikirkan ide untuk kemajuan, dan berpikir untuk membantu orang lain. 

Saya pernah membaca sebuah buku karangan Ismah Gusmian berjudul Surat Cinta Untuk Al-Ghazali. Disana dibilang bahwa setiap kita seharusnya tidak berpikir saja tapi juga berbuat. Aku berpikir, aku berbuat maka aku ada. Itu lebih komplit dan sempurna. Tapi kapankah terakhir kita mempraktikkan itu? Arus waktu selalu dipenuhi oleh hiburan-hiburan dan ajakan-ajakan yang membuat kita kehilangan prioritas. 

Beberapa waktu terakhir saya sudah menjadikan menulis sebagai prioritas. Saya berharap mampu membagikan sedikit kebaikan melalui tulisan-tulisan saya yang masih terlihat begitu miskin. Artinya, jam terbang saya masih terlalu rendah sehingga masih terasa kekakuan ketika membacanya. Saya telat sekali memulainya. Padahal sudah lama saya menyukai dunia ini. Permainan-permainan dan hiburan membuat saya lalai. 

Selama ini pun saya kerap dihantui stress saat memikirkan tema atau ide sebuah cerita. Stress itu bisa sedikit terobati ketika ada tulisan yang dimuat di koran. Kalau tidak salah saya ini dikarenakan hormon endorfin yang menimbulkan rasa puas dan senang pada seseorang setelah berhasil mengerjakan sesuatu. 

Karena saya ingin konsisten, dimuat sekali atau dua kali bukan berarti selesai dengan dunia kata ini. Ini ibarat menjadi tukang bangunan, setelah selesai satu rumah kita harus segera membangun rumah lain. Akibatnya rasa stress itu tidak akan pernah usai tapi bisa terobati selama sejenak. 

Kalau bicara tentang ide sebenarnya banyak. Saya sering mendapat ide dari krisis. Orang bijak berkata bahwa dibalik krisis mengandung peluang. Ada banyak krisis terjadi di sekitar misalnya krisis sosial seperti korupsi, kolusi, nepotisme, tawuran, dan tindakan amoral lainnya. Dari sini bisa muncul banyak cerita. Saya suka ide yang muncul dari krisis-krisis seperti ini tapi masalahnya adalah ketidakmampuan membungkusnya ke dalam sebuah karya sastra sehingga pesan tersampaikan dengan baik. 

Karena itu saya harus memikirkan caranya dan ini sangat melelahkan. Bagi saya menulis sebuah karya sastra semisal prosa ratusan kali lebih sulit dari pada menulis ilmiah semisal opini atau essay. Karena itu berpikir, berproses, dan berlatih menjadi keharusan. Saya harus mempertinggi jam terbang dan semoga bisa konsisten. Amiin.[]

0 comments

Posting Komentar