“If there are dreams about a beautiful South Africa, there are also roads that lead to their goal. Two of these roads could be named Goodness and Forgiveness (Nelson Mandela).”
INGUS saya merembes. Saya sedih dan tidak tahu harus berbagi dengan siapa. Berbagi dengan Pak Presiden, tidak mungkin. Dengan Pak Gubernur apalagi. Lagi pula, tahu apa mereka soal Nelson Mandela. Kemarin, 6/12/2013, di usia 95, pemimpin idola saya itu menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit di Johannesburg, Afrika Selatan.
Pertama mendengar Mandela, saya masih gadis. Teman saya banyak bercerita tentangnya. Orang bergelar Madiba ini terlahir sebagai orang kulit hitam di Mvezo, 18 Juli 1918. Dan itu bertanda buruk. Sebab akan diperlakukan buruk oleh orang kulit putih, waktu itu.
Saya pernah melihat foto lama sebuah pantai di Afrika Selatan. Di sana dibuat batasan: tempat berenang orang kulit putih dan tempat berenang orang kulit hitam. Hampir sama seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat. Konon, di pintu toko orang kulit putih di sana tertulis, “Anjing dan orang kulit hitam dilarang masuk!”
Kejam sekali, Pembaca! Tentang bagaimana bisa orang yang mengaku diri paling waras, paling maju, dan paling beradab bisa berbuat demikian, saya tidak mengerti. Tapi katanya sekarang tidak lagi. Katanya.
Karena diskriminasi itu Mandela melawan. Ia kemudian sempat dituduh teroris. Ini memang cerita lama. Setiap ada yang mengonggong, yang berkuasa akan langsung memberi label semisal teroris, GPK, PKI, dll. Mandela ditangkap dan dipenjara selama 27 tahun. Kata teman saya, dalam penjara Mandela pernah dikencingi. Ini memang kurang ajar, Pembaca! Kencing ke sarang semut saja kita dilarang, apalagi ke kepala manusia?
Tapi yang membuat saya terharu, ketika terpilih menjadi presiden, Mandela tidak menaruh dendam. Ia duduk tersenyum dan makan bersama orang yang mengencinginya dulu. Ada kata-katanya yang bijak, “If you want to make peace with your enemy, you have to work with your enemy. Then he becomes your partner.”
Ini mengingatkan saya pada cerita Nabi Muhammad yang berturut-turut dilempari taik unta. Ketika suatu hari Nabi tahu si pelempar itu jatuh sakit, Nabi berkunjung ke rumahnya, selayaknya mengunjungi seorang sahabat yang sedang terbaring.
Tapi sayangnya, Mandela tak sempat ke Indonesia untuk memberi kursus. Saya punya impian melihat Pak Presiden, Pak Gubernur, Pak Bupati, dan Pak Keusyik memasang tas kuning bergambar Hello Kitty lalu dengan penuh ceria pergi mengaji pada Pak Mandela.
Ini perlu Pembaca. Sebab di tempat kita, jangan harap menjadi menteri, kepala dinas termasuk juga kepala sekolah, kalau semasa kampanye kita menjadi lawan politik. Walau pun kita pandai, punya pengalaman cukup, ahli, berkapasitas untuk memajukan, dan sebagainya. Tetap tak akan dipakai.
Kalau di tempat orang ada slogan, “lawan bukanlah musuh”, di tempat kita “lawan adalah najis”. Jangankan itu, untuk saling berpelukan saja susah. Mungkin karena takut dikira homo kali ya?
Tapi ya sudahlah, Pembaca. Yang jelas saya sedih. Sebentar ya, saya ambil sapu tangan dulu.[]
1 comments
Keren... kkkk Ambil Tisu ,,,
Posting Komentar