PEPATAH berkata, beda BH
beda ukurannya. Ups.. maksud saya, beda lubuk beda ikannya. Dari
dulu saya memang curiga. Otak saya ini perlu direndam pakai deterjen! Tapi
ada juga pepatah klise lain, "Tong kosong nyaring bunyinya".
Nah, kalau boleh saya
bikin perumpamaan, bulan Desember itu seperti tong. Nyaring bunyinya.
Berawal pada suatu pagi, sembilan tahun lalu. Ribuan saudara kita meraung. Mereka dikejar
ombak nan gadang. Tong dulu tidak kosong. Penuh kisah pilu yang
menguras air mata. Saya sedih kalau mengingat ini, Pembaca. Saya merasakan bumi bergoyang melebihi Inul Daratista. Oh Tuhan, belum pernah saya
lihat gedung-gedung hancur lebur seperti kue Unibis dicelup ke dalam bubur.
Saya sekolah di boarding
school waktu itu (setingkat SMA), kelas satu. Malamnya kami tidur di
jalan. Tidur dalam asrama bahaya karena gempa susul menyusul. Kami
menggelar tikar ala kadar dan tidur seperti udang dalam bakwan, amburadul.
Seorang kakak kelas berkelakar, “Beginilah yang dibilang sama Peter Pan, Kaki di kepala, kepala di kaki”
Ia tertawa. Kami ikut terbahak. Keesokan harinya kakak kelas saya itu mendapat
kabar. Kedua orang tuanya telah tiada. Mereka dihempas ombak.
Jelang tengah malam,
kawan saya dijemput orang tuanya. Saya minta ikut. Jalan penuh rintang. Ada
pohon tumbang, ada tiang listrik roboh. Mayat bergelimpangan di mana-mana,
terbengkalai seperti asam sunti. Mobil tergenang dalam air. Itu malam betul-betul sendu. Jangkrik saja diam. Keesokan harinya seorang kakek ringkih minta tumpangan. Kami duduk di
belakang, di bak terbuka. Ia menyenyumi kami. Tapi tiba-tiba senyumnya wagu. Ia
meneteskan air mata. Mukanya merah. “Semuanya telah pergi. Anak saya, cucu...
Ya Allah...” Ia membenamkan wajahnya ke dalam lutut. Dadanya kembang kempis.
Setiba di Seulimeum,
kami berhenti untuk makan pagi, meski sudah tak tepat disebut makan pagi karena
sudah jelang siang. Penjual nasi menaruh sedikit nasi dalam piringnya. “Biar
cukup untuk semua, Pak” kata penjual itu. Kakek itu meminta sedikit lagi. Ia
sangat lapar. Tapi akhirnya ia menyerah. Kakek itu makan dan butir-butir nasi
melekat di sekitar bibir. Mulutnya lebih sering ternganga ketimbang mengunyah. Pikiran kami melayang entah kemana. Televisi-televisi terus mengabarkan. Seluruh dunia berduka. Ibu saya, nenek
saya, semuanya.
Sejak itulah Desember
jadi tong yang nyaring. Hari ini sisa-sisa isi tong dulu mendorong kita untuk mengenang.
Panitia-panitia dibentuk untuk acara peringatan. Tentu saja beda orang beda
cara mengenang. Orang alim memperingatinya dengan berzikir dan doa bersama.
Orang elit memperingatinya dengan adu jotos. Katanya sih, gara-gara secuil
kekuasaan. Kemarin ada juga yang memperingatinya dengan seekor kijang piaraannya. Ia wakil
rakyat. Mungkin karena sering lupa, seekor kijang menyeruduknya biar ingat.
Masuk koran lagi. Tadi sore katanya ada juga yang memperingatinya dengan
meletuskan pistol, melempari kantor gubernur, marah-marah. Katanya sih,
gara-gara Pak Wagub bagi-bagi uang. Tapi mekanismenya kampungan.
Tapi itulah, pembaca. It’s all about style, yang penting nyaring. Seperti kata
pepatah, beda BH beda ukurannya. Aih, mana
deterjen? Deterjen mana?
1 comments
nyaaan ban.......
haha
Posting Komentar