-------

Jumat, 27 Desember 2013

Tong Tsunami

PEPATAH berkata, beda BH beda ukurannya. Ups.. maksud saya, beda lubuk beda ikannya. Dari dulu saya memang curiga. Otak saya ini perlu direndam pakai deterjen! Tapi ada juga pepatah klise lain, "Tong kosong nyaring bunyinya".

Nah, kalau boleh saya bikin perumpamaan, bulan Desember itu seperti tong. Nyaring bunyinya. Berawal pada suatu pagi,  sembilan tahun lalu. Ribuan saudara kita meraung. Mereka dikejar ombak nan gadang. Tong dulu tidak kosong. Penuh kisah pilu yang menguras air mata. Saya sedih kalau mengingat ini, Pembaca. Saya merasakan bumi bergoyang melebihi Inul Daratista. Oh Tuhan, belum pernah saya lihat gedung-gedung hancur lebur seperti kue Unibis dicelup ke dalam bubur.

Saya sekolah di boarding school waktu itu (setingkat SMA), kelas satu. Malamnya kami tidur di jalan. Tidur dalam asrama bahaya karena gempa susul menyusul. Kami menggelar tikar ala kadar dan tidur seperti udang dalam bakwan, amburadul. Seorang kakak kelas berkelakar, “Beginilah yang dibilang sama Peter Pan, Kaki di kepala, kepala di kaki” Ia tertawa. Kami ikut terbahak. Keesokan harinya kakak kelas saya itu mendapat kabar. Kedua orang tuanya telah tiada. Mereka dihempas ombak.

Jelang tengah malam, kawan saya dijemput orang tuanya. Saya minta ikut. Jalan penuh rintang. Ada pohon tumbang, ada tiang listrik roboh. Mayat bergelimpangan di mana-mana, terbengkalai seperti asam sunti. Mobil tergenang dalam air. Itu malam betul-betul sendu. Jangkrik saja diam. Keesokan harinya seorang kakek ringkih minta tumpangan. Kami duduk di belakang, di bak terbuka. Ia menyenyumi kami. Tapi tiba-tiba senyumnya wagu. Ia meneteskan air mata. Mukanya merah. “Semuanya telah pergi. Anak saya, cucu... Ya Allah...” Ia membenamkan wajahnya ke dalam lutut. Dadanya kembang kempis.

Setiba di Seulimeum, kami berhenti untuk makan pagi, meski sudah tak tepat disebut makan pagi karena sudah jelang siang. Penjual nasi menaruh sedikit nasi dalam piringnya. “Biar cukup untuk semua, Pak” kata penjual itu. Kakek itu meminta sedikit lagi. Ia sangat lapar. Tapi akhirnya ia menyerah. Kakek itu makan dan butir-butir nasi melekat di sekitar bibir. Mulutnya lebih sering ternganga ketimbang mengunyah. Pikiran kami melayang entah kemana. Televisi-televisi terus mengabarkan. Seluruh dunia berduka. Ibu saya, nenek saya, semuanya.

Sejak itulah Desember jadi tong yang nyaring. Hari ini sisa-sisa isi tong dulu mendorong kita untuk mengenang. Panitia-panitia dibentuk untuk acara peringatan. Tentu saja beda orang beda cara mengenang. Orang alim memperingatinya dengan berzikir dan doa bersama. Orang elit memperingatinya dengan adu jotos. Katanya sih, gara-gara secuil kekuasaan. Kemarin ada juga yang memperingatinya dengan seekor kijang piaraannya. Ia wakil rakyat. Mungkin karena sering lupa, seekor kijang menyeruduknya biar ingat. Masuk koran lagi. Tadi sore katanya ada juga yang memperingatinya dengan meletuskan pistol, melempari kantor gubernur, marah-marah. Katanya sih, gara-gara Pak Wagub bagi-bagi uang. Tapi mekanismenya kampungan. 

Tapi itulah, pembaca. It’s all about style, yang penting nyaring. Seperti kata pepatah, beda BH beda ukurannya. Aih, mana deterjen? Deterjen mana? 


1 comments

Lintasanpenaku 27 Desember 2013 pukul 09.59

nyaaan ban.......
haha

Posting Komentar