Syahdan, banyak diceritakan dalam hikayat, baik itu yang tertulis dalam lembaran-lembaran atau pun yang menyebar dari mulut ke mulut. Bahwasanya, dalam kehidupan seseorang, seberapa pahit pun keadaannya, dia pasti sempat merasakan setidaknya sedikit rasa senang atau bahagia. Konon pula, kata seorang penyair dari Lebanon, Kahlil Gibran, semakin dalam kita mengukir penderitaan, semakin luas pula kebahagiaan yang akan kita dapatkan.
Sebagai contoh, ada cerita tentang si Bawang Merah dengan si Bawang putih. Ia tidak jauh berbeda juga dengan cerita Cinderella. Awalnya Cinderella dan si Bawang putih merupakan objek segala caci maki dan hinaan. Seringkali di rumah, oleh ibu tirinya, mereka tidak dianggap. Beranjak dari kepicikan demi kepicikan yang tumbuh dari hati sang ibu tiri yang berhati jahat, mereka merasakan berbagai bentuk dan model penindasan yang tidak pernah mereka harapkan.
Singkat cerita, mereka akhirnya bisa terlepas dari cengkeraman yang tidak baik itu. Seperti Cinderella misalnya, setelah melewati semua ujian-ujian itu dengan kesabaran, ia dipertemukan dengan seorang pangeran tampan, baik hati dan kaya raya. Mereka kemudian menikah dan menyambut kebahagiaan dengan hati damai. Setiap penderitaan adalah ongkos untuk membeli sebuah kebahagiaan. Mungkin begitulah kesimpulan dan pesan moral yang ingin disampaikan oleh si pengarang cerita dalam dalam fabel tersebut.
Seperti halnya Cinderella, sedikit tidaknya Bang Lara juga mengalami hal yang hampir serupa. Ada bagian dari perjalanan hidup Bang Lara yang pada awalnya kurang berpihak kepadanya. Bagian itu terdiri dari kepingan-kepingan kekecewaan, amarah, dan kesedihan yang datang secara silih berganti.
Bermula pada akhir 2009 dan menjelang tahun 2010. Bang Lara tiba-tiba merasakan hatinya yang remuk, pikiran yang berkecamuk, juga rasa sedih yang terus mengamuk. Waktu itu, sebagai seorang pemuda, ia menjalin kasih dengan seorang wanita. Mereka saling mencintai. Mencoba membangun cinta dari dua hati yang menjadi penopang. Tanpa diduga, sekonyong-konyong prahara datang. Karena satu dan lain hal, akhirnya Bang Lara harus menyambut tahun 2010 dengan duka. Pacar Bang Lara memutuskan cintanya.
Bukan main sakit hati Bang Lara. Kecewa, sedih, kesal dan segala perasaan yang bercampur aduk di dalamnya. Hampir setiap hari ia sampai harus membaca yasin untuk penyembuhan hati yang tergores cinta. Setiap membaca yasin, hati Bang Lara terasa tenang. Setiap kali hati meronta, ia membacanya lagi. Kadang-kadang ia mencari teman-teman untuk bercanda ria demi melupakan segala luka lara. Waktu itulah Bang Lara tersadarkan hatinya akan arti persahabatan. Ini mengukuhkan kembali apa yang pernah dikatakan oleh seorang Aristosteles bahwasanya, “Jika kamu diberikan apa pun yang kamu inginkan di dunia ini, namun tidak berikan teman, maka semuanya tidak akan ada artinya.
Hari demi hari hati Bang Lara mulai tersembuhkan sedikit. Bang Lara ingat sekali, awal tahun 2010, ia mengikuti sebuah program pertukaran pelajar yang diselenggarakan oleh American Indonesian Exchange Foundation (AMINEF), kurang lebih artinya, “Lembaga Pertukaran Pelajar Amerika Indonesia”. Dalam sisa-sisa luka yang hampir sembuh, Bang Lara mendapat telepon dari Mbak Isye, salah seorang staff yang bekerja di Aminef. Waktu itu Bang Lara baru pulang jum’at. Setelah handphone diangkat, dari seberang terdengar seorang perempuan berbicara. Ia mengatakan selamat kepada Bang Lara karena telah melewati tahap pertama tes. Dan diharapkan untuk mengikuti tahap ke dua, berupa interview di Jakarta. Semua biaya transportasi ditanggung oleh Aminef. Bah! bukan kepalang senang Bang Lara.
Interview itu berlangsung di ruang yang sedikit lebih kecil dari ruang kuliah. Ada beberapa meja yang disusun hampir mirip dengan meja konferensi para petinggi negara. Ada sekitar lima orang duduk melingkar. Tiga di antaranya adalah orang Amerika. Yang lain orang-orang indonesia. Semua mereka memakai dasi, kemeja putih dan jas berwarna hitam. Mcoy, seorang Amerika. Ia menanyakan pertanyaan pertama. Semua berjalan lancar.
Setelah wawancara dan memenuhi setiap agenda yang telah direncanakan seperti mengunjungi teman-teman di asrama aceh di Jakarta, juga mencoba mengelilingi beberapa bagian kota Jakarta seperti monas dan lainnya, akhirnya Bang Lara pulang lagi ke Aceh.
Beberapa bulan kemudian ada kabar baik. Bang Lara lulus. Ia diberikan kesempatan ke Jakarta lagi untuk mengikuti tes toefl Ibt. Staff Aminef menyebutkan bahwa untuk lulus, syarat toefl ibtnya harus di atas 60. Setelah mengikuti toefl dan melihat hasilnya, Bang Lara mendapatakan nilai yang lumayan memuaskan.
Setelah beberapa minggu menunggu di Aceh, akhirnya dikabarkan “Selamat…” Bang Lara lulus untuk belajar di Amerika selama 6 bulan. Sebuah cita-cita yang telah lama sekali Bang Lara dambakan. Ia mempersiapkan segala urusan administrasi seperti mentranslate ijazah, membereskan pasport, bahkan emak Bang Lara sudah membelinya sebuah kamera sebagai alat dokumentasi gambar sewaktu di Amerika nanti.
Namun setelah menghubungi teman-teman lain di luar Aceh, akhirnya terdapat sesuatu yang aneh. Semua teman-teman sudah mendapatkan tiket untuk mengikuti Pre Departure Orientation (PDO) di Bali. Sementara status Bang Lara tiba-tiba dirubah. Ia tidak pernah diberangkatkan. Bang Lara kembali remuk. Hancur! Kecewa. Ia merasa telah ditipu. Ia merasa aminef telah berlaku tidak fair. Padahal itu kali ke dua dan kali terakhir untuk Bang Lara karena setelah itu sudah memasuki semester 7. Bang Lara merasa tidak pantas digagalkan. Beberapa kali bang lara bertanya tentang apa salah dan kekurangan bang lara sehingga tidak diberangkatkan, tidak ada jawaban yang jelas dari aminef. Alih-alih menjelaskan sebab musabab, Bang Lara malah ditawarkan program beasiswa-beasiswa lain untuk S2. Jelas-jelas Bang Lara mengalami ilfil berat.
Bang Lara depresi. Berhari-hari ia tidak ke kampus. Kekecewaan itu tidak hanya memberi efek terhadap proses akademik, namun juga hubungan sosial. Ia mulai suka menyendiri. Yang lebih parahnya, penyakit ini juga ikut merambah pada aspek spiritual. Bang Lara marah pada Tuhan. Marah sekali!
Itu adalah cita-cita Bang Lara semenjak SMA. Namun cita-cita itu tidak pernah sampai. Padahal Bang Lara sudah bekerja keras dan melebihi di atas kerja teman-temannya. Waktu untuk ke kantin ia kurangi dengan membaca-baca buku toefl di ruang kelas. Ia membaca buku-buku umum untuk memperluas wawasan. Ketika gagal itu, Bang Lara mencoba melihat kembali orang-orang yang sudah pernah Amerika. Dulu mereka juga tidak terlalu keras belajar, malah lebih sering menghabiskan waktu untuk ngobrol-ngobrol di kantin. Namun mereka bisa berangkat dan terpilih ke Amerika. Bang Lara merasa bahwa Tuhan itu tidak adil.
Belum cukup sembuh dari rasa sakit itu, Bang Lara sudah harus mengawal roda pemerintahan organisasi di kampusnya. Kebetulan ia terpilih sebagai ketua himpunan mahasiswa jurusan (HMJ). Di sini ia dihadapkan lagi dengan banyak permasalahan-permasalahan baru. Mulai dari anggota-anggota yang malas hingga para pembesar organisasi yang sering bikin Bang Lara kesal. Juga persoalan politik kampus dan tak kenal akhir. Berbelit-belit ibarat melerai benang kusut. Ada saat ketika Bang Lara harus merangkak sendiri dari pagi sampai malam mengurus amprahan sebagai dana operasional dan ruh organisasi. Pernah tidak ada yang menemani. Miris!
Sederetan peristiwa itu terjadi di sepajang tahun 2010, bahkan sedikit merembes ke permulaan 2011. Secara keseluruhan, tahun 2010 bermuka muram pada hidup Bang Lara.
Memasuki tahun 2011, bulan april, Bang Lara diberikan kesempatan untukmengikuti Pelatihan Ketahananan Nasional Untuk Pemuda (TANNASDA) di Pusat Pengembangan Pemuda dan Olah Raga, Cibubur, Jakarta Timur.
Di sana ia berjumpa dengan para pembesar Republik Indonesia. Salah satunya adalah Mentri Pemuda dan Olah Raga, Andi Malarangeng. Satu hal yang tak terlupakan adalah Bang Lara tidak bawa sikat gigi ke Jakarta dan tidak sempat beli pula di sana. Itulah pengalaman terdahsyat Bang Lara, bertemu Menteri dengan tidak sikat gigi. Selain juga bertemu dengan beberapa jenderal besar berpangkat tinggi, Bang Lara dengan teman-teman TANNASDA lainnya juga dijadwalkan untuk makan malam bersama duta besar Indonesia untuk Malaysia, Bapak Da’i Bachtiar. Namun itu tidak kesampaian. Karena ada sedikit dinamika yang terjadi dalam kementrian pemuda dan olah raga. Dua hari sebelum program berakhir, kami mengadakan kunjungan ke Universitas Taylor Malaysia dan beberapa tempat refreshing, meski tidak berjumpa dengan Bapak Dubes.
Dua minggu genap, kegiatan usai. Kuliah Pengabdian Masyarakat baru satu hari berjalan di Aceh Besar. Bang Lara harus langsung pulang karena telah mendaftar untuk ikut kuliah tersebut. Orang-orang menyebutnya juga dengan KKN, Kuliah Kerja Nyata. Namun ada beberapa orang memplesetkannya menjadi Kura-Kura Ninja.
Sambil KKN/KPM, Bang Lara yang suka menulis, mendaftar dirinya untuk menjadi siswa Muharram Journalism College. Sebuah sekolah jurnalis. Tidak teralu susah untuk menyesuaikan waktu di antara ke duanya. Antara KPM dan belajar di MJC. Hanya perlu menyediakan stok alasan yang super supaya pihak yang berkepentingan tidak memberi stigma negatif atas pembagian waktu yang ilegal ini.
Hampir selesai di MJC, Bang Lara diberikan kesempatan untuk belajar secuil tentang sinematografi, cara membuat film. Ini adalah kesempatan emas yang sangat Bang Lara syukuri. Hasil kerja sama antara Yayasan Kampung Halaman Jogjakarta dengan Komunitas Tikar Pandan inilah menjadi cikal bakal lahirnya “film Habis Terang Terbitlah Gelap”. Sebuah film yang dimainkan oleh Bang Lara yang berperan sebagai Sam dan juga Fira sebagai pacarnya.
Senangnya hati Bang Lara melihat film tersebut yang akhirnya sukses digarap secara bersama-sama. Terimakasih sekali RA Karamullah yang menjadi editor akhir pada film ini. Ketika diputar perdana, semua penonton memberi applause dan tanggapan positif terutama kepada aktornya. Bang Lara senang sekali.
Selang beberapa hari, sebuah tulisan opini Bang Lara berjudul “Melirik Perempuan” akhirnya dimuat di Serambi Indonesia. Sesuatu yang sudah sangat lama Bang Lara idam-idamkan. Ini bagai mimpi. Banyak teman-teman memberi selamat. Serambi Indonesia adalah surat kabar yang sulit ditembus oleh penulis-penulis pemula seperti Bang Lara.
Bulan demi bulan terus bergulir hingga tibalah pada akhir 2011. Tepatnya tanggal 31 Desember 2011, hari terakhir sebelum tahun baru, Bang Lara dan teman-teman diwisudakan di Muharram Journalim College (MJC). Panitia mengumumkan bahwa Bang Lara terpilih sebagai mahasiswa terbaik II angkatan VI. Alhamdulillah.
Berbeda dengan tahun 2010, 2011 adalah tahun yang cukup ramah terhadap Bang Lara. Meski ujian dan penderitaan Bang Lara dalam kilas balik 2010 tidak sebanding dengan derita Cinderella, begitu juga pencapaian Bang Lara yang tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Tarzan, namun satu pertanyaan yang tertinggal di hati adalah “kenapa Bang Lara harus sempat marah pada Tuhan?”
Jika kita menderita, ada lagi yang lebih menderita. Jika pun harus berbangga, ada orang lain yang lebih luar biasa. Di atas awan ada awan lain yang lebih tinggi. Derita dan bahagia harus disambut dengan lapang dada. Akhirnya, selamat datang 2012 ! []