-------

Jumat, 30 November 2012

Membaca

Untuk pintar dan sukses kau perlu membaca buku-buku yang tidak disediakan di sekolah. Kau tahu, membaca buku-buku yang ada di sekolah itu tidak cukup. Beberapa di antaranya justru membuatmu bingung dan bisa saja tidak menjadikanmu peka terhadap ada yang terjadi di sekitar. Pendidikan di sekolah itu punya tujuan lain. Tidak hanya bicara tentang menjadikanmu lebih baik atau lebih pandai, tapi kadang-kadang berusaha membuatmu jadi robot atau mesin pengolah soal tanpa mengerti dari mana soal itu, untuk apa dan apa gunanya dalam kehidupan yang penuh carut-marut ini. Setidaknya itu yang saya rasakan. Karena itu bacalah buku-buku yang bisa membuatmu menemukan sari-sari kehidupan. Seperti kisah hidup orang lain atau buku-buku sastra yang berkualitas. 


Ada sebuah kutipan menarik dari seseorang yang dijuluki Bapak Ilmu Ekonomi, Adam Smith. Dalam sebuah buku berjudul The Wealth of Nations dia menulis,"Kalau saja pengajar itu orang yang waras, tentu dia akan jengkel saat ia tahu bahwa, saat ia mengajar mahasiswa, dirinya ternyata membicarakan atau membaca hal-hal yang tidak berguna, atau hal-hal yang sedikit lebih baik ketimbang omong kosong. Tentu dia juga akan jengkel saat tahu bahwa sebagian besar mahasiswanya meninggalkan kuliahnya; atau mungkin menghadiri kuliahnya tetapi menunjukan tanda-tanda jelas bahwa mereka mengabaikan, mengejek, dan menghina. Disiplin akademi dan universitas pada umumnya disusun bukan untuk kebaikan mahasiswa, tetapi demi kepentingan, atau lebih tepatnya demi kenyamanan para profesor."

Saya pikir hal sama juga terjadi di sekolah, tempat kita menyandarkan masa depan dan cita-cita. Ada juga kutipan lain dari seorang sastrawan Indonesia yang sempat menjadi nominator penerima hadiah nobel di bidang sastra, Pramoedya Ananta Toer. Kata-katanya begini, "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hewan yang pandai."

Bukan saatnya lagi meremehkan orang yang suka membaca dengan ungkapan-ungkapan, "Sok pintar, sok intelektual, sok rajin" atau lebih sadis lagi, yang ini pernah saya dengar sendiri, "membaca novel? heh... macam banci saja". Bangsa kita tertinggal dan terus berada dalam krisis bukan semata karena kesalahan pemerintah tapi juga karena kita malas membaca. Membaca hampir sama derajatnya dengan aib. Kalau kita membaca koran di warung itu dianggap biasa, tapi membaca buku? Bahkan di kampus pun begitu. Aneh bukan? Itulah kita. 

Membaca adalah jendela dunia, buku adalah gudang ilmu, Aceh Membaca Aceh Berjaya semua itu hanya ada di slogan-slogan atau spanduk sebagai penghias atau supaya tampak seolah kita  bangsa yang beradab dan kaya dengan ilmu pengatahuan. Padahal kita beramai-ramai mengubur ilmu di perpustakaan. Ironis! []

Kamis, 29 November 2012

Lupa

Lupa memang hal lumrah yang sering kita alami. Hari ini lupa yang begitu mengerikan bagi saya. Saya tidak ingat kalau hari ini jum'at. Dalam pikiran saya hari ini rabu. Akibatnya saya tidak pergi mengajar hingga staf pengajaran menelpon. Entah mengapa tiba-tiba saya menjawab saya sedang kurang sehat. Memang beberapa hari ini saya sedang sedikit down. Rasanya ingin istirahat saja sambil menonton TV dan tidak melakukan kegiatan apa pun. 

Senin, 26 November 2012

Memperkarakan Seni

Seni itu indah dan kita menyukai yang indah-indah. Karena itu patutlah kita berterimakasih pada seniman yang melahirkan karya-karya yang bisa menghibur ummat manusia. Bukankah hidup ini tragis seandainya puisi yang tercipta cuma itu-itu saja atau pun lagu yang diputar tidak pernah berubah. Atau lukisan yang digambar melulu gunung dengan sedikit sawah, ada matahari kemudian beberapa ekor burung. Tentu saja kita akan merasa bosan. 

Sadar atau tidak kita butuh kepada seniman. Mungkin hampir bisa disamakan dengan kebutuhan kita pada petani hingga nasi atau makanan pokok lainnya bisa mendarat mulus di  meja makan rumah kita. Sementara dengan seni, setiap hari hidup kita diwarnai dengan keindahan sebuah karya seni. Misalnya lagu yang beberapa di antaranya bisa menjadi penyemangat hingga membuat kita bergairah dalam beraktifitas. 

Dalam keintiman kita pada sebuah karya seni, kita ikut belajar melalui alam bawah sadar dan proses itu ikut mempengaruhi cara kita berpikir dan memandang realitas. Lirik dan lagu-lagu yang didengar berulang-ulang bisa memberi sugesti kepada pada seseorang. Kehadiran The Beatles kali pernah dicap para orang-tua sebagai penganut aliran setan karena secara tiba-tiba anak remaja mereka berubah menjadi kesurupan mengekor penampilan empat pemuda Liverpol itu. Suicide Solution lagu Ozzy Osburne, mampu membuat seorang remaja nekat bunuh diri. Atau tembang Silver-Chair yang konon mampu membutakan hati seorang pemuda, sehingga nekat membunuh orang tua dan saudaranya dengan sadis. (http://ravindata.multiply.com/journal/item/8)
.



Mindfacturing


Selama beberapa tahun terakhir ada sedikit distorsi dari lirik-liri lagu. Bisa dikatakan lirik-lirik lagu yang bermunculan hari ini seperti miskin tema. Lirik-lirik cenderung mengarah kepada cinta bahkan sampai mendekati kecabulan. Seperti contoh ada beberapa lagu seperti Ku Hamil Duluan yang dinyanyikan dengan irama yang begitu hidup seolah si penyanyi bangga dengan keadaan Hamil Duluan. 






Pengobatan, hukum, 
bisnis, teknik. 
Itu semua adalah pekerjaan yang mulia 
dan diperlukan untuk mempertahankan hidup. 
Tetapi puisi, 
kecantikan, asmara, cinta, b
erguna bagi 
kita untuk tetap hidup. (Dead Poet Society)







Ide

Kalau tak punya ide, tetaplah menulis. Berhadapan dengan teks terkadang memang sulit dan membosankan. Putu Wijaya mengibaratkannya seperti menggorok leher. Saat menulis ini saya sedang merasakan itu. Keinginan menulis yang membara dihadang oleh ketiadaan ide yang sungguh sangar. Terlalu sering saya menyerah dengan berhenti melanjutkan kalimat-kalimat selanjutnya dari sebuah tulisan. Dan itu tidak memberi untung.



Sabtu, 24 November 2012

Coret

Wajah lelaki itu kusut. Ia melirik jam tangan. Sudah pukul 11 pagi. Di luar terdengar anak-anak berteriak-teriak.  Anak laki-laki bermain bola voli di lapangan semen di tengah halaman sekolah. Sebagian lain tampak mengerumuni kantin. Di luar dekat kantor guru, beberapa anak perempuan berdiri menghisap es krim. Baju seragam guru berwarna cokelat yang dipakai mulai  basah di bagian ketiak. Sesuatu berdering di saku celananya. 

"Pak, maaf menganggu. Bapak lagi dimana?

Ia menutup kembali handphone lipat itu tanpa membalas. Mengajar di sekolah dan menjadi dosen di universitas membuat pikirannya bercabang. "Biarlah dia menunggu. Waktu aku mahasiswa dulu, aku juga menunggu" ia membatin. 

Jumat, 23 November 2012

Filem The Flowers of War

Beberapa waktu lalu, atas rekomendasi seseorang, saya menonton sebuah film berjudul The Flower of War. Filem tersebut disutradarai oleh Yi Mou Zhang menceritakan tentang pengorbanan dibalik penyerangan Cina oleh tentara Jepang.

Cina mengalami kekalahan hingga Jepang berhasil menduduki kota Nanking. Saat itu sebagian warga sipil yang selamat berlomba-lomba mencari aman. Ada yang langsung keluar dari Nanking ada pula yang pergi ke tempat lain yang dianggap lebih aman. Lalu ada sekelompok pelacur yang juga ikut mencari pelindung. Tempat tujuan mereka adalah sebuah gereja yang dikelola oleh seorang misionaris barat. Menurut mereka, orang Jepang tidak akan menganggu orang barat. 


Rabu, 21 November 2012

Memaknai Sastra

Malam ini seorang teman mengirim link wawancara Fathimah Fildzah Izzati dari Left Book Review (LBR) dengan Linda Christanty, salah seorang sastrawati Indonesia yang sudah dua kali meraih penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA). Dari jawaban-jawaban Linda pada wawancara tersebut, khusus yang berkait dengan sastra, saya belajar sesuatu.


At All Cost

At all cost adalah ungkapan inggris yang bermakna memperjuangkan sesuatu hingga darah penghabisan. Menemukan istilah ini membuat saya teringat ibu saya di kampung. Ibunda saya berjuang at all cost untuk anak-anaknya. Sampai hari ini pun beliau masih begitu. Saya teringat ketika adik saya yang paling kecil bersekolah jauh di kota. Setelah bangun pagi, ibunda saya membereskan urusan dapur lalu melawan dingin pagi mengantar adik saya ke sekolah. Setelah itu pulang  dan berangkat mengajar di daerah pedalaman dengan murid-murid yang bebalnya luar biasa. Sepulang dari sana Ibunda saya pergi ke sawah. 


Selasa, 06 November 2012

Cerita Sabtu Pagi

Pada sabtu pagi yang cerah (kedengarannya seperti kalimat anak SD), saya tak ada agenda kecuali mengajar selama satu jam pada sorenya. Setelah bangun tidur saya duduk-duduk di beranda. Rumah saya  terletak di Jeulingke tepatnya pada perbatasan antara Lingke dengan Tibang, Banda Aceh. Lorong menuju rumah saya itu adalah jalan aspal yang buntu. Kata ibu saya yang kini menetap di kampung, dulu jalan itu tembus hingga ke jalan utama. Tapi setelah tsunami seseorang membeli lahan dan pemilik lahan tersebut turut menjual jalan. Akibatnya jalan itu sekarang buntu karena dipagar oleh pemilik tanah. Di sekeliling rumah saya tumbuh banyak sekali bak ngom yang membentuk seperti hutan kecil. di bawahnya ada genangan air. Kalau melihat sekilas, seolah tak ada sesiapa tinggal di ujung sana. Tapi ternyata ada. Ada sebuah rumah shelter kayu yang saya tempati berdua dengan adik saya. "Ini seperti rumah teroris" celutuk seorang teman saat pertama menyambang.