-------

Rabu, 21 November 2012

At All Cost

At all cost adalah ungkapan inggris yang bermakna memperjuangkan sesuatu hingga darah penghabisan. Menemukan istilah ini membuat saya teringat ibu saya di kampung. Ibunda saya berjuang at all cost untuk anak-anaknya. Sampai hari ini pun beliau masih begitu. Saya teringat ketika adik saya yang paling kecil bersekolah jauh di kota. Setelah bangun pagi, ibunda saya membereskan urusan dapur lalu melawan dingin pagi mengantar adik saya ke sekolah. Setelah itu pulang  dan berangkat mengajar di daerah pedalaman dengan murid-murid yang bebalnya luar biasa. Sepulang dari sana Ibunda saya pergi ke sawah. 


Sikap At all cost ibu saya ini mengingatkan saya pada diri sendiri yang sering hidup santai di rantau. Saya masih sering bangun pagi terlambat, tidak mengatur waktu, dan tidak mau bekerja keras hingga tetes darah terakhir. Untuk sikap ini ibunda saya sering mengulang-ulang sebuah kata yang jarang saya dengar dari orang lain yaitu sapheh. Ibu saya mengatakan kata ini ketika saya sedang melakukan sesuatu dan sudah mencapai titik jenuh. "Ka sapheh hai, Neuk". Kurang lebih berarti berusaha keras untuk megakhiri sesuatu hingga selesai. Kalau sudah berani memulai, maka harus berani menyelesaikannya. Ibu saya memang dilahirkan dalam keluarga yang menjunjung tinggi kerja keras. Dan itu ingin pula diturunkan pada saya meski acap kali saya memprotes.

Pada titik ini ternyata saya tak sadar sedang belajar sesuatu yang tidak saya dapat di sekolah. Kalau tidak salah saya ini disebut ethos. Ethos, yang berjodoh dengan totalitas, adalah hal yang sangat penting jika ingin meraih kesuksesan pada bidang tertentu. Pada suatu hari saya pernah diajak menginap di sebuah rumah sewaan oleh seorang teman. Setelah azan shubuh kira-kira jam enam kurang, saya minta izin pulang karena ada hal yang harus saya persiapkan. Saat keluar ruko itu saya terkejut melihat sebuah keluarga keturunan Tionghoa. Mereka sudah begitu aktif menggoreng makanan dan mempersiapkan hal-hal lainnya untuk bisnis makanan mereka. Tidak mengherankan mengapa banyak warga keturunan Tionghoa sukses-sukses terutama dalam hal bisnis.

Saat ini saya memang belum bisa dikatakan sebagai orang sukses. Saya baru menamatkan kuliah dan kata kawan saya, seorang lelaki yang baru tamat kuliah itu beda dengan seorang perempuan yang baru menyelesaikan kuliah. Seorang perempuan yang baru tamat kuliah sudah bisa dikatakan siap membangun rumah tangga. Sementara seorang lelaki masih belum apa-apa. Masih seperti anak kecil yang membutuhkan uluran tangan. Artinya ia masih belum mampu berdiri sendiri. Saya tidak tahu apakah ini terjadi di daerah saya saja atau di tempat lain di Indonesia juga demikian. Tapi saya pernah berjumpa dengan beberapa teman yang merupakan perwakilan dari propinsi-propinsi di Indonesia. Rata-rata meraka punya bisnis kecil-kecilan yang mereka jalankan sendiri.

Sesekali saya merasa yakin bahwa bibit kesuksesan itu sebenarnya sudah ada dalam diri kita. Tapi kita menunda menumbuhkannya dengan bermalas-malasan dan tidak mau bekerja dengan totalitas. Karena itu beberapa hari ini saya sudah mencoba melakukan sesuatu yang mudah-mudahan bisa terus berjalan dengan lancar dan konsisten. Semoga kali ini saya bisa melakukannya dengan at all cost. []


0 comments

Posting Komentar