Untuk pintar dan sukses kau perlu membaca buku-buku yang tidak disediakan di sekolah. Kau tahu, membaca buku-buku yang ada di sekolah itu tidak cukup. Beberapa di antaranya justru membuatmu bingung dan bisa saja tidak menjadikanmu peka terhadap ada yang terjadi di sekitar. Pendidikan di sekolah itu punya tujuan lain. Tidak hanya bicara tentang menjadikanmu lebih baik atau lebih pandai, tapi kadang-kadang berusaha membuatmu jadi robot atau mesin pengolah soal tanpa mengerti dari mana soal itu, untuk apa dan apa gunanya dalam kehidupan yang penuh carut-marut ini. Setidaknya itu yang saya rasakan. Karena itu bacalah buku-buku yang bisa membuatmu menemukan sari-sari kehidupan. Seperti kisah hidup orang lain atau buku-buku sastra yang berkualitas.
Ada sebuah kutipan menarik dari seseorang yang dijuluki Bapak Ilmu Ekonomi, Adam Smith. Dalam sebuah buku berjudul The Wealth of Nations dia menulis,"Kalau saja pengajar itu orang yang waras, tentu dia akan jengkel saat ia tahu bahwa, saat ia mengajar mahasiswa, dirinya ternyata membicarakan atau membaca hal-hal yang tidak berguna, atau hal-hal yang sedikit lebih baik ketimbang omong kosong. Tentu dia juga akan jengkel saat tahu bahwa sebagian besar mahasiswanya meninggalkan kuliahnya; atau mungkin menghadiri kuliahnya tetapi menunjukan tanda-tanda jelas bahwa mereka mengabaikan, mengejek, dan menghina. Disiplin akademi dan universitas pada umumnya disusun bukan untuk kebaikan mahasiswa, tetapi demi kepentingan, atau lebih tepatnya demi kenyamanan para profesor."
Saya pikir hal sama juga terjadi di sekolah, tempat kita menyandarkan masa depan dan cita-cita. Ada juga kutipan lain dari seorang sastrawan Indonesia yang sempat menjadi nominator penerima hadiah nobel di bidang sastra, Pramoedya Ananta Toer. Kata-katanya begini, "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hewan yang pandai."
Bukan saatnya lagi meremehkan orang yang suka membaca dengan ungkapan-ungkapan, "Sok pintar, sok intelektual, sok rajin" atau lebih sadis lagi, yang ini pernah saya dengar sendiri, "membaca novel? heh... macam banci saja". Bangsa kita tertinggal dan terus berada dalam krisis bukan semata karena kesalahan pemerintah tapi juga karena kita malas membaca. Membaca hampir sama derajatnya dengan aib. Kalau kita membaca koran di warung itu dianggap biasa, tapi membaca buku? Bahkan di kampus pun begitu. Aneh bukan? Itulah kita.
Membaca adalah jendela dunia, buku adalah gudang ilmu, Aceh Membaca Aceh Berjaya semua itu hanya ada di slogan-slogan atau spanduk sebagai penghias atau supaya tampak seolah kita bangsa yang beradab dan kaya dengan ilmu pengatahuan. Padahal kita beramai-ramai mengubur ilmu di perpustakaan. Ironis! []
Ada sebuah kutipan menarik dari seseorang yang dijuluki Bapak Ilmu Ekonomi, Adam Smith. Dalam sebuah buku berjudul The Wealth of Nations dia menulis,"Kalau saja pengajar itu orang yang waras, tentu dia akan jengkel saat ia tahu bahwa, saat ia mengajar mahasiswa, dirinya ternyata membicarakan atau membaca hal-hal yang tidak berguna, atau hal-hal yang sedikit lebih baik ketimbang omong kosong. Tentu dia juga akan jengkel saat tahu bahwa sebagian besar mahasiswanya meninggalkan kuliahnya; atau mungkin menghadiri kuliahnya tetapi menunjukan tanda-tanda jelas bahwa mereka mengabaikan, mengejek, dan menghina. Disiplin akademi dan universitas pada umumnya disusun bukan untuk kebaikan mahasiswa, tetapi demi kepentingan, atau lebih tepatnya demi kenyamanan para profesor."
Saya pikir hal sama juga terjadi di sekolah, tempat kita menyandarkan masa depan dan cita-cita. Ada juga kutipan lain dari seorang sastrawan Indonesia yang sempat menjadi nominator penerima hadiah nobel di bidang sastra, Pramoedya Ananta Toer. Kata-katanya begini, "Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hewan yang pandai."
Bukan saatnya lagi meremehkan orang yang suka membaca dengan ungkapan-ungkapan, "Sok pintar, sok intelektual, sok rajin" atau lebih sadis lagi, yang ini pernah saya dengar sendiri, "membaca novel? heh... macam banci saja". Bangsa kita tertinggal dan terus berada dalam krisis bukan semata karena kesalahan pemerintah tapi juga karena kita malas membaca. Membaca hampir sama derajatnya dengan aib. Kalau kita membaca koran di warung itu dianggap biasa, tapi membaca buku? Bahkan di kampus pun begitu. Aneh bukan? Itulah kita.
Membaca adalah jendela dunia, buku adalah gudang ilmu, Aceh Membaca Aceh Berjaya semua itu hanya ada di slogan-slogan atau spanduk sebagai penghias atau supaya tampak seolah kita bangsa yang beradab dan kaya dengan ilmu pengatahuan. Padahal kita beramai-ramai mengubur ilmu di perpustakaan. Ironis! []
0 comments
Posting Komentar