Beberapa waktu lalu, atas rekomendasi seseorang, saya menonton sebuah film berjudul The Flower of War. Filem tersebut disutradarai oleh Yi Mou Zhang menceritakan tentang pengorbanan dibalik penyerangan Cina oleh tentara Jepang.
Cina mengalami kekalahan hingga Jepang berhasil menduduki kota Nanking. Saat itu sebagian warga sipil yang selamat berlomba-lomba mencari aman. Ada yang langsung keluar dari Nanking ada pula yang pergi ke tempat lain yang dianggap lebih aman. Lalu ada sekelompok pelacur yang juga ikut mencari pelindung. Tempat tujuan mereka adalah sebuah gereja yang dikelola oleh seorang misionaris barat. Menurut mereka, orang Jepang tidak akan menganggu orang barat.
Cina mengalami kekalahan hingga Jepang berhasil menduduki kota Nanking. Saat itu sebagian warga sipil yang selamat berlomba-lomba mencari aman. Ada yang langsung keluar dari Nanking ada pula yang pergi ke tempat lain yang dianggap lebih aman. Lalu ada sekelompok pelacur yang juga ikut mencari pelindung. Tempat tujuan mereka adalah sebuah gereja yang dikelola oleh seorang misionaris barat. Menurut mereka, orang Jepang tidak akan menganggu orang barat.
Dalam gereja tersebut ada tiga belas siswi Cina yang masih belia dan seorang remaja lelaki yang menjadi senior mereka. Remaja lelaki ini menolak menerima para pelacur tersebut. Tetapi mereka bersikeras. Satu persatu memanjat pagar hingga secara terpaksa diterima. Dalam gereja ada seorang lelaki dewasa yang baru datang dari Amerika dengan tujuan mengurus jenazah sang misionaris yang baru meninggal. Pada beberapa adegan tampak siswi-siswi itu kurang senang dengan ulah para pelacur dan si pengurus jenazah yang tampak sensual dan saling merayu. Sesuai dengan pikiran para pelacur itu sebelumnya, orang barat tidak akan diganggu oleh Jepang karena itu mereka ingin memanfaatkan si pengurus jenazah untuk membawa mereka keluar kota Nanking.
Saat sedang memikirkan rencana tersebut, tentara Jepang semakin mendekat hingga mereka pun sampai di gereja. Para pelacur itu sudah bersembunyi di lantai bawah. Tapi anak-anak tersebut tidak menyadari kedatangan tentara Jepang. Melihat siswi-siswi perempuan, tentara Jepang itu memperturutkan birahi. Mereka mengejar anak-anak itu satu persatu untuk diperkosa. Mereka berlarian dalam gereja untuk menyelamatkan diri. Salah seorang di antara mereka ada yang terjatuh hingga tewas. Sesaat kemudian terdengar ledakan yang dilakukan oleh seorang prajurit cina yang masih tersisa. Ledakan itu mengalihkan perhatian tentara Jepang lalu mereka berhamburan keluar gereja mencari sumber ledakan dan penembakan. Pertempuran berlangsung kembali. Seorang tentara cina itu meninggal terkena lemparan granat. Saat perang usai, seorang komandan tentara Jepang masuk ke dalam gereja dan menemui si pengurus jenazah yang kini berpura-pura menjadi seorang pendeta. Komandan itu minta maaf atas ulah anak buahnya. Setelah itu ia memainkan piano dan menyanyikan sebuah lagu tentang kerinduannya pada kampung halaman.
Hari berikutnya si komandan datang meminta anak-anak itu bernyanyi pada acara perayaan keberhasilan mereka menaklukkan kota Nanking. Si pengurus jenazah yang kini berpura-pura menjadi pendeta menolak itu. Baik dia maupun anak-anak tersebut yakin akan terjadi hal-hal lain. Kemungkinan anak-anak ini nantinya akan diperkosa. Si komandan bersikeras mengatakan bahwa itu bukan permintaannya tapi perintah dari atasan yang tak bisa ditolak. Saat itu salah seorang pelacur yang tampak lugu keluar dari persembunyian mengejar kucing yang lepas dari tangannya. Melihat itu si komandan terkejut. Seorang siswi itu langsung menolongnya dengan mengatakan bahwa pelacur itu adalah salah seorang dari mereka. Tentara itu percaya. Tapi mereka tak mau mendengar penolakan mereka untuk tampil pada acara perayaan itu. Seorang prajurit langsung menghitung jumlah mereka. Semuanya ada tiga belas. Mereka akan menjemput ketiga belas siswi itu esok harinya.
Para siswi-siswi tidak ingin diri mereka dinodai. Maka mereka pun berencana bunuh diri dengan melompat dari lantai paling atas gereja. Tapi usaha itu dicegah oleh si pengurus jenazah dan para pelacur. Mereka membujuk mereka supaya tidak melakukan bunuh diri dan bujukan itu berhasil. Sebagai ganti, pelacur ini akan menyamar menjadi siswi dan merekalah yang akan bernyanyi pada pada acara perayaan kemenangan tentara Jepang nanti. Malam itu mereka memotong rambut dan dihias oleh si pengurus jenazah hingga mirip siswi. Tapi ada satu permasalahan jumlah mereka hanya dua belas. Itu artinya mereka butuh satu orang lagi. ketika seorang remaja lelaki yang menjadi senior para siswi itu menawarkan diri supaya dirias mirip seorang perempuan.
Keesokan harinya, tentara Jepang datang. mereka menghitung satu persatu. Kini jumlah mereka ada tiga belas. Mereka diangkut dengan truk menuju tempat perayaan. Setelah mereka pergi, si pengurus jenazah menyuruh semua siswi yang sebelumnya bersembunyi untuk berbaring dalam sebuah truk tua yang baru diperbaiki. Lalu di atas mereka ditindih kotak kayu berisi botol anggur hingga penuh. Setelah itu si pengurus jenazah yang menyamar jadi pendeta membawa mereka keluar kota Nanking dengan sebuah surat izin yang lebih dulu dikantonginya dari pemberian seorang warga Cina yang merupakan ayah dari salah seorang siswi dan sudah tewas ditembak.
Kepergian mereka keluar dari kota Nanking adalah akhir dari filem itu. Sementara nasib para pelacur itu tidak jelas ujungnya.
Filem ini masuk ke dalam salah satu filem koleksi pribadi terbaik saya. Yang menarik dari filem itu berangkat dari sejarah yaitu penjajahan Jepang terhadap Cina yang terjadi sekitar 1937. Menurut saya sebuah karya fiksi menarik itu tidak sepenuhnya lahir dari khayalan tapi juga berangkat dari kenyataan yang benar-benar terjadi. Contohnya novel The Kite Runner karangan Khaled Hosseini. Novel ini sebagian berlatar perang yang terjadi di Afganistan. Yang kedua filem The Flower of War itu penuh dengan rentetan krisis dan juga konflik sehingga tidak terkesan monoton. Sebuah cerita yang baik itu tidak menceritakan tentang kesenangan-kesenangan tapi musibah-musibah dan perjuangan karakter dalam cerita untuk bangkit dari musibah atau mencari jalan keluar. Yang ketiga adalah sebuah cerita yang menarik itu mengandung ironi. Kisah pelacur yang mau mempertaruhkan nyawa demi menyelamatkan para siswi adalah sebuah ironi. Pada umumnya, pelacur identik dengan perbuatan-perbuatan asusila tapi pada film ini mereka melakukan hal yang jarang dibayangkan mau dilakukan oleh pelacur.
Saya senang mengetahui bahwa ternyata filem ini diangkat dari sebuah novel karya Yan Geling yang berjudul 13 Flowers of Nanjing. Biasanya sebuah cerita itu akan lebih menarik jika dibaca di novel ketimbang ditonton. Saya sangat tertarik dan sedang mencari novel ini tapi sampai hari ini belum menemukannya baik di tempat rental novel maupun toko buku. Kalau ada yang pernah melihat ada dimana, mohon informasinya. :)
0 comments
Posting Komentar