Wajah lelaki itu kusut. Ia melirik jam tangan. Sudah pukul 11 pagi. Di luar terdengar anak-anak berteriak-teriak. Anak laki-laki bermain bola voli di lapangan semen di tengah halaman sekolah. Sebagian lain tampak mengerumuni kantin. Di luar dekat kantor guru, beberapa anak perempuan berdiri menghisap es krim. Baju seragam guru berwarna cokelat yang dipakai mulai basah di bagian ketiak. Sesuatu berdering di saku celananya.
"Pak, maaf menganggu. Bapak lagi dimana?"
Ia menutup kembali handphone lipat itu tanpa membalas. Mengajar di sekolah dan menjadi dosen di universitas membuat pikirannya bercabang. "Biarlah dia menunggu. Waktu aku mahasiswa dulu, aku juga menunggu" ia membatin.
***
Aku tak tahan mendengar kicauan ibu setiap menelpon dari kampung, "Bagaimana skripsi?; Kapan bisa wisuda?"
Aku tahu bukan orang penting. Tapi seharusnya beliau mengerti aku begitu penting di mata ibuku yang sudah cukup lelah mencari uang di sawah untuk menutupi biaya tiap semester. Kawanku pernah berkata begini, "hadiah terbesar orang seperti kita untuk ibu ada dua. Yang pertama memberinya kabar kita diterima di universitas dan yang kedua memperlihatkan undangan wisuda sebagai tanda kita sudah sarjana."
Tapi kalau begini terus bagaimana aku akan memberi undangan itu. Aku pun heran mengapa di universitas harus ada skripsi dan untuk apa. Walau pun itu bertujuan untuk mengajak sarjana mengerti cara melakukan penelitian di bidang kajian ilmunya, tapi kulihat kebanyakan mereka menulis saja tidak bisa setelahnya. Aku pun melihat beberapa skripsi karangan kakak-kakak kelas yang terdampar serampangan dalam perpustakaan kecil kampus yang sepi pengunjung. Hasil-hasil penelitian itu dibawa kemana dan untuk siapa? Paling digunakan lagi oleh adik-adik leting untuk diketik ulang dan membubuhi nama baru.
Karena tak jelas ini, setiap hari aku semakin malas. Bahkan teman-temanku sampai tak peduli. Seorang di antaranya bahkan memilih membeli saja skripsi di internet. Tinggal mengganti nama saja. Mudah.
"Besok jumpai saya di sekolah jam 10 teng. Bawa Bab I"
.
Aku menyeterika kemeja dan memakai sepatu karena tak ingin dibilang uncivilized. Aku berdiri di cermin dan terlihat sedikit lebih tua dari seharusnya. Aku menyisir rambut ke samping dan mencoba tersenyum agar kecewa tak menyembul.
"Ini saatnya kita memerlukan dosen. Jadi apa pun yang dikatakannya dengar saja. Jangan membantah. Itu kalau ingin cepat selesai." terngiang kata-kata kakak kelas.
Aku tahu bukan orang penting. Tapi seharusnya beliau mengerti aku begitu penting di mata ibuku yang sudah cukup lelah mencari uang di sawah untuk menutupi biaya tiap semester. Kawanku pernah berkata begini, "hadiah terbesar orang seperti kita untuk ibu ada dua. Yang pertama memberinya kabar kita diterima di universitas dan yang kedua memperlihatkan undangan wisuda sebagai tanda kita sudah sarjana."
Tapi kalau begini terus bagaimana aku akan memberi undangan itu. Aku pun heran mengapa di universitas harus ada skripsi dan untuk apa. Walau pun itu bertujuan untuk mengajak sarjana mengerti cara melakukan penelitian di bidang kajian ilmunya, tapi kulihat kebanyakan mereka menulis saja tidak bisa setelahnya. Aku pun melihat beberapa skripsi karangan kakak-kakak kelas yang terdampar serampangan dalam perpustakaan kecil kampus yang sepi pengunjung. Hasil-hasil penelitian itu dibawa kemana dan untuk siapa? Paling digunakan lagi oleh adik-adik leting untuk diketik ulang dan membubuhi nama baru.
Karena tak jelas ini, setiap hari aku semakin malas. Bahkan teman-temanku sampai tak peduli. Seorang di antaranya bahkan memilih membeli saja skripsi di internet. Tinggal mengganti nama saja. Mudah.
***
"Besok jumpai saya di sekolah jam 10 teng. Bawa Bab I"
.
Meski kecewa aku lega mendapat sms ini. "Baik, Pak. Terimakasih" . Malam itu aku meminjam Jupiter MX teman kos menuju rental komputer. Belum sampai kiriman dari kampung untuk bulan ini. Ayahku sudah lama meninggal. Mungkin ibu belum dapat rezeki. Untung di bawah kasur masih tersisa beberapa lembar uang seribuan. Cukup untuk print.
***
"Ini saatnya kita memerlukan dosen. Jadi apa pun yang dikatakannya dengar saja. Jangan membantah. Itu kalau ingin cepat selesai." terngiang kata-kata kakak kelas.
Aku masih menunggu. Di ruang depan terdapat sebuah sofa berwarna cokelat. Aku duduk di sana sambil membaca aturan-aturan sekolah yang tertempel di dinding. Di dekat sofa ada sebuah ruang bertulis kantor kepala sekolah. Di atasnya tertempel sebuah jam dinding putih bulat. Sudah pukul 10. 25.
Aku membuka sebuah buku yang selalu kupersiapkan. Kata Stephen King, "ruang tunggu memang diperuntukkan untuk membaca" Aku baru membuka beberapa halaman dari novel The Kite Runner saat Bapak itu menghampiri. Dia berdehem membersihkan serak di kerongkongan dan meminta bab I skripsiku dengan isyarat tangan. Tanpa kata-kata. Kupikir dia memang tidak menatap wajahku. Dia duduk di sampingku dan mengambil pulpen di saku baju. Bapak itu mencoret satu persatu ketikanku. Di sisi paragraf ia menulis komentar, "ganti, terlalu pendek, referensi, tidak koheren" aku duduk seperti pesakitan di hadapan hakim yang akan memutuskan kabar yang menakutkan. Aku memandang cincin di tangannya, melihat gerakan tangannya yang cepat menoreh tinta pada halaman-halaman yang kuprint semalam. "Enak sekali menjadi dosen pembimbing" Aku membatin.
"Ini! Kembali lagi hari sabtu" katanya singkat, padat dan jelas. Setelah itu berlalu ke ruangnya. Aku membuka lembar-lembar itu seperti pengemis mengais-ngais sampah kalau-kalau ada yang dapat dimakan. Banyak sekali yang telah tercoret. Entah mengapa aku merasa seolah-olah ujung pena yang menoreh tinta itu ikut meggurat di hatiku. Aku memasukkan semuanya ke dalam tas lalu pulang. Dalam perjalanan aku membayangkan maksud dari "ganti, terlalu pendek, referensi, tidak koheren"
Makhluk apaan itu? Aku menyeringai, "enak sekali jadi dosen pembimbing"
Aku membuka sebuah buku yang selalu kupersiapkan. Kata Stephen King, "ruang tunggu memang diperuntukkan untuk membaca" Aku baru membuka beberapa halaman dari novel The Kite Runner saat Bapak itu menghampiri. Dia berdehem membersihkan serak di kerongkongan dan meminta bab I skripsiku dengan isyarat tangan. Tanpa kata-kata. Kupikir dia memang tidak menatap wajahku. Dia duduk di sampingku dan mengambil pulpen di saku baju. Bapak itu mencoret satu persatu ketikanku. Di sisi paragraf ia menulis komentar, "ganti, terlalu pendek, referensi, tidak koheren" aku duduk seperti pesakitan di hadapan hakim yang akan memutuskan kabar yang menakutkan. Aku memandang cincin di tangannya, melihat gerakan tangannya yang cepat menoreh tinta pada halaman-halaman yang kuprint semalam. "Enak sekali menjadi dosen pembimbing" Aku membatin.
"Ini! Kembali lagi hari sabtu" katanya singkat, padat dan jelas. Setelah itu berlalu ke ruangnya. Aku membuka lembar-lembar itu seperti pengemis mengais-ngais sampah kalau-kalau ada yang dapat dimakan. Banyak sekali yang telah tercoret. Entah mengapa aku merasa seolah-olah ujung pena yang menoreh tinta itu ikut meggurat di hatiku. Aku memasukkan semuanya ke dalam tas lalu pulang. Dalam perjalanan aku membayangkan maksud dari "ganti, terlalu pendek, referensi, tidak koheren"
Makhluk apaan itu? Aku menyeringai, "enak sekali jadi dosen pembimbing"
1 comments
yaya.....bereh
Posting Komentar