-------

Senin, 30 Desember 2013

Kacang Tidak Lupa

PEMBACA Budiman, karena suka kacang, kali ini terpaksa saya menarik nafas dan menggugat. Pembaca mungkin sama saja dengan yang lain. Begitu tengok orang tak tahu balas budi atau ingkar, langsung bilang, “Seperti kacang lupa pada kulitnya”.



Oh Tuhan, kenapa manusia yang satu ini begitu sembrono! Ke sini dulu biar saya jelaskan. Baiklah, kita mulai dengan kacang di depan mata. Lalu muncul hasrat menggebu-gebu. Tangan mengambil dan menjepit itu kacang hingga terbelah. Lalu gigi geraham menggilasnya sampai hancur. Dan tiba-tiba di lain waktu saat lihat politisi dapat jabatan dan kena amnesia, kita spontan bilang, “Bagai kacang lupa pada kulitnya.”


Salah kacang apa? Apa Pembaca yakin kalau kacang memang melupakan kulitnya? Siapa yang lebih tahu? Kacang atau kita? Saya percaya kacang tidak lupa pada kulitnya. Mereka mungkin seperti sepasang kekasih, tak mau dipisahkan. Coba Pembaca tanya pada kura-kura, apa dia mau berpisah dengan cangkangnya? Tentu saja tidak. Kita lah yang memisahkan kacang dengan kulitnya, demi hasrat kita. Kalau dipikir-pikir, ternyata kita ini lebih kejam dari yang kita sadari, Pembaca.

Nah, sama halnya ketika calon pemimpin berjanji memberi kita sesuatu. Janjinya bisa macam-macam. Misalnya:

1. Mewujudkan pemerintahan Aceh yang bermartabat dan amanah.

2. Mengimplementasikan dan menyelesaikan turunan UUPA.

3. Komit menjaga perdamaian Aceh sejalan dengan MoU Helsinki.

4. Menerapkan nilai-nilai budaya Aceh dan Islam di semua sektor kehidupan               masyarakat.

5. Menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa.

6. Mengupayakan penambahan kuota haji Aceh.

7. Pemberangkatan jamaah haji dengan kapal pesiar.

8. Naik haji gratis bagi anak Aceh yang sudah akil balig.

9. Menginventarisir kekayaan dan sumber daya alam Aceh.

10. Menata kembali sektor pertambangan di Aceh.

11. Menjadikan Aceh layaknya Brunei Darussalam dan Singapura.

12. Mewujudkan pelayanan kesehatan gratis yang lebih bagus.

13. Mendatangkan dokter spesialis dari luar negeri

14. Pendidikan gratis dari SD hingga perguruan tinggi.

15. Memberikan Rp. 1 juta/KK/bulan dari dana hasil migas.

16. Mengangkat honorer PNS.

17. Meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.

18. Membuka lapangan kerja baru.

19. Meningkatkan pemberdayaan ekonomi rakyat.

20. Memberantas kemiskinan dan menurunkan angka pengangguran.

21. Mengajak kandidat lain untuk bersama-sama membangun Aceh.

Lumayan banyak, Pembaca. Gara-gara ini tulisan saya jadi panjang. Tapi tidak masalah. Semoga Pembaca tidak lelah. Jadi begitulah. Karena kita orang beriman, kita percaya pada semua itu. Tapi dengar-dengar politisi Rusia, Nikita Kruschev pernah bilang, 

“Politicians are the same all over. They promise to build a bridge even when there is no river.”

(Semua politisi itu sama saja. Mereka tetap berjanji membangun jembatan meski sungainya tidak ada.)

Itu diucapkan Kruschev sebelum ia meninggal tahun 1971. Nah, kalau Pembaca baru tahu berarti hidup kita tertinggal 42 tahun (minimal).

Ya sudah lah, Pembaca. Untuk apa membahas itu. Sekarang kita hanya bisa berdoa setiap selesai salat. Semoga Pak Gubernur kita dimudahkan rejeki, sehat pikiran, dan yang paling penting tidak lupa pada janjinya. Kalau pun beliau lupa, tolong jangan sekali-kali Pembaca mencoba menyalahkan kacang. Saya bisa marah. []




Jumat, 27 Desember 2013

Tong Tsunami

PEPATAH berkata, beda BH beda ukurannya. Ups.. maksud saya, beda lubuk beda ikannya. Dari dulu saya memang curiga. Otak saya ini perlu direndam pakai deterjen! Tapi ada juga pepatah klise lain, "Tong kosong nyaring bunyinya".

Nah, kalau boleh saya bikin perumpamaan, bulan Desember itu seperti tong. Nyaring bunyinya. Berawal pada suatu pagi,  sembilan tahun lalu. Ribuan saudara kita meraung. Mereka dikejar ombak nan gadang. Tong dulu tidak kosong. Penuh kisah pilu yang menguras air mata. Saya sedih kalau mengingat ini, Pembaca. Saya merasakan bumi bergoyang melebihi Inul Daratista. Oh Tuhan, belum pernah saya lihat gedung-gedung hancur lebur seperti kue Unibis dicelup ke dalam bubur.

Saya sekolah di boarding school waktu itu (setingkat SMA), kelas satu. Malamnya kami tidur di jalan. Tidur dalam asrama bahaya karena gempa susul menyusul. Kami menggelar tikar ala kadar dan tidur seperti udang dalam bakwan, amburadul. Seorang kakak kelas berkelakar, “Beginilah yang dibilang sama Peter Pan, Kaki di kepala, kepala di kaki” Ia tertawa. Kami ikut terbahak. Keesokan harinya kakak kelas saya itu mendapat kabar. Kedua orang tuanya telah tiada. Mereka dihempas ombak.

Jelang tengah malam, kawan saya dijemput orang tuanya. Saya minta ikut. Jalan penuh rintang. Ada pohon tumbang, ada tiang listrik roboh. Mayat bergelimpangan di mana-mana, terbengkalai seperti asam sunti. Mobil tergenang dalam air. Itu malam betul-betul sendu. Jangkrik saja diam. Keesokan harinya seorang kakek ringkih minta tumpangan. Kami duduk di belakang, di bak terbuka. Ia menyenyumi kami. Tapi tiba-tiba senyumnya wagu. Ia meneteskan air mata. Mukanya merah. “Semuanya telah pergi. Anak saya, cucu... Ya Allah...” Ia membenamkan wajahnya ke dalam lutut. Dadanya kembang kempis.

Setiba di Seulimeum, kami berhenti untuk makan pagi, meski sudah tak tepat disebut makan pagi karena sudah jelang siang. Penjual nasi menaruh sedikit nasi dalam piringnya. “Biar cukup untuk semua, Pak” kata penjual itu. Kakek itu meminta sedikit lagi. Ia sangat lapar. Tapi akhirnya ia menyerah. Kakek itu makan dan butir-butir nasi melekat di sekitar bibir. Mulutnya lebih sering ternganga ketimbang mengunyah. Pikiran kami melayang entah kemana. Televisi-televisi terus mengabarkan. Seluruh dunia berduka. Ibu saya, nenek saya, semuanya.

Sejak itulah Desember jadi tong yang nyaring. Hari ini sisa-sisa isi tong dulu mendorong kita untuk mengenang. Panitia-panitia dibentuk untuk acara peringatan. Tentu saja beda orang beda cara mengenang. Orang alim memperingatinya dengan berzikir dan doa bersama. Orang elit memperingatinya dengan adu jotos. Katanya sih, gara-gara secuil kekuasaan. Kemarin ada juga yang memperingatinya dengan seekor kijang piaraannya. Ia wakil rakyat. Mungkin karena sering lupa, seekor kijang menyeruduknya biar ingat. Masuk koran lagi. Tadi sore katanya ada juga yang memperingatinya dengan meletuskan pistol, melempari kantor gubernur, marah-marah. Katanya sih, gara-gara Pak Wagub bagi-bagi uang. Tapi mekanismenya kampungan. 

Tapi itulah, pembaca. It’s all about style, yang penting nyaring. Seperti kata pepatah, beda BH beda ukurannya. Aih, mana deterjen? Deterjen mana? 


Rabu, 25 Desember 2013

YKS, Yuk Keep Seudee


PEMBACA budiman, sebelum memulai tulisan ini, saya ingin bersemedi sejenak dan berdoa dalam hati. Mohon Pembaca bersabar sebentar.

“Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk dan YKS yang juga terkutuk. Amiin.”

Nah, udah sedikit lega. Akhir-akhir ini saya memang semakin relijius, Pembaca. Kemana lagi kita berpulang ketika tiada tempat berkeluh kesah? Saya memang tidak tahu mau kemana lagi sejak program Yuk Keep Smile merajai televisi dan menguasai setiap warung kopi.

Memang saya dan kopi sudah seperti Romeo dengan Juliet. Memangnya bagaimana Romeo dengan Juliet? Saya tak mau jawab. Saya lagi kesal. Kan udah saya bilang saya lagi kesal? Kenapa masih baca juga? Pembaca ini memang bandel.

Jadi begini, Pembaca budiman. manfaatkopi.com bilang, kopi itu pembangkit stamina. Katanya pula dalam otak kita yang lembek ini ada senyawa. Namanya adenosin. Gara-gara adenosin inilah kita cepat lelah dan tertidur.

Nah, dalam kopi ada zat apa? Ada Kafe. kafe... apa? Bukan kafe la’natillah! Tentu saja kafein. Dia melambatkan gerak sel tubuh. Jadi kita tak mudah lelah, tak mengantuk, dan memunculkan perasaan segar. Dicatat ya Pembaca, perasaan segar!

Nah, saya salah apa kalau ingin perasaan segar? Karena itu saya ke warung kopi. Pun kopi memacu saraf bekerja lebih mulus. Mumpung saya punya otak, kan tidak salah? Kalau tidak punya otak bagaimana pula saya menulis ini?

Kita kembali ke jalan yang lurus, Pembaca. Saya minum kopi untuk mendapat perasaan segar dan meningkatkan konsentrasi. Tapi ada yang merampas dua hal paling berharga itu dari saya. Dengan bunyi musik yang itu-itu saja. Dengan joget yang itu-itu saja. Dengan pembawa acara keroyokan. Apa tidak ada cara cerdas lain membuat orang Indonesia tertawa? Apa tidak kasihan lihat generasi muda terhanyut dengan humor slapstick yang tak mendidik?

Humor slapstick adalah humor yang mengandalkan gerak. Misalnya gerak melaburi tepung ke muka teman. Melempar telur, memindahkan kursi ketika teman mau duduk sehingga ia terjungkil balik. Setelah itu tertawa terpingkal-pingkal. Bagi saya humor jenis itu tak mendidik. Justru mengajari orang untuk bullying. Itu humor murahan. Lebih murah dari harga kolor bekas yang sudah bolong.

Berbeda dengan humor comic. Humor ini mengandalkan kata-kata dan penggambaran. Misalnya dalam stand up comedy atau sejenis. Yang diandalkan itu anecdote-anecdote berisi kritik sosial. Kita tertawa, tapi kita juga tahu sesuatu. Apalagi tahun politik seperti ini (menjelang 2014). Seharusnya ada humor-humor tentang caleg, tentang pemilu, tentang wakil rakyat adu jotos, tentang calon presiden yang lebih cocok jadi badut dan lain sebagainya. Bukan malah humor kosong yang mengandalkan ejekan-ejekan murahan kepada teman. Dapat poin apa?

Bukankah selama ini kita rakyat kecil ini memang buta politik? Sehingga dengan mudahnya digiring dan ditipu. Setidaknya humor jadi cara terbaik untuk memberi kita pendidikan politik. Kemarin saya shock membaca kata-kata Bertolt Brecht, dramawan Jerman.

“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat semua tergantung pada peristiwa politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusung dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional”

Politik itu berat untuk kita rakyat kecil ini. Tapi dengan humor, itu jadi encer. Jangan sepelekan humor. Guru yang paling disukai semua siswa guru yang humoris. Humor berperan dalam hidup kita. Orang-orang tidak berkualitas juga dilahirkan oleh humor-humor yang tidak berkualitas.

Sekarang kita tertawa dengan humor-humor yang membuat kita semakin terlelap dalam gelap. Kalau saya presiden, Yuk Keep Smile ini akan saya masukkan dalam teks proklamasi agar setiap senin pagi dibaca oleh anak-anak pada upacara bendera.

“Bahwasanya pikiran sehat dan perasaan segar adalah hak semua warga negara. Karena itu YKS dan kawan-kawannya harus dihapuskan dari muka bumi ini karena tidak sesuai dengan cita-cita bangsa. Kalau bisa (O...tidak. tidak boleh pakai ‘kalau bisa’. Memang wajib) Wajib dihapus dalam tempo sesingkat-singkatnya!”

Tapi saya bingung juga, Pembaca. Di Indonesia ini ada presiden tidak ya?


Minggu, 22 Desember 2013

Opera Van Papua

SUDAH dua hari saya tidak buang air besar. Ini gara-gara saya penasaran. Seseorang telah berkata, “Bukankah hidup ini tragis tanpa humor?”

Itu benar, Pembaca. Saya tak dapat hidup tanpa humor. Mudah-mudahan pembaca juga begitu; biar saya ada kawan. Tapi bagaimana kalau justru humor yang bikin kenyataan jadi tragis? Inilah yang membuat saya susah buang air besar. 

Pembaca punya televisi kan? Setidaknya seperti saya, pernah menonton televisi. Kalau tidak pernah, ya sudah. Saya tidak tahu bilang apa. Tapi ada yang akrab dengan kita. Tak hanya kita sebenarnya, tapi saudara kita, teman kita, pacar kita, presiden  kita, gubernur kita, bupati kita, orang kampung kita, juga semua rakyat Indonesia. Tahu Opera Van Java

Saya senang menontonnya, Pembaca. Selain menghibur, saya dapat pengetahuan baru. Perempuan yang nyanyi dengan suara melengking namanya pesinden. Nyanyian itu sendiri disebut sinden. Orang yang memakai baju dengan lengkung menjulang di tengkuk bernama Gatot Gaca. Alat musik berbahan besi disebut gamelan. Pemain wayang namanya dalang. Topi yang dipakai dalang disebut blankon dan banyak lagi.

Menurut kamus di kepala saya, Opera berarti pentas drama bercampur musik. Van diambil dari kosa kata Belanda bermakna bin. Sedangkan Java, aih... tak perlulah saya jelaskan ini lagi pada Pembaca. Saya yakin pembaca lebih maklum dari saya. Java itu ya Jawa. Jadi, Opera Van Java berarti pentas humor bercampur musik yang berasal dari Jawa.

Sebenarnya bukan kata Van dan Java saja. Ada kata-kata Belanda lain yang resmi jadi Bahasa Indonesia. Misalnya kata koran (courant), kantor (kantoor), sempak (zwempak), ajudan (adjudant), alpukat (avocaat), nanas (ananas), wortel (wortel), buncis (boontjes), asbak (asbak), baskom (waskom), dosen (docent), bensin (benzine), sandal (sandaal), halte (halte), jerigen (jerrican), pasfoto (pasfoto), piket (piket), puisi (poezie), sablon (sjabloon), saldo (saldo), sekongkol (gekonkel), sirup (stroop), WC (Water Closet), BH (Bouste Houder), dan lain-lain. Celakanya tak hanya kosa kata, ada juga yang turut mengadopsi ‘Sifat’ Belanda.

Tapi saya masih penasaran juga, Pembaca. Penyanyi di Opera Van Maluku disebut apa? Orang pukul alat musik di Opera Van Kalimantan apa namanya? Terus, genre lagu dinyanyikan di Opera Van Sulawesi disebut apa? Opera Van Sumatera tampil malam apa? Apa hampir tiap malam juga? Kan saya pingin juga nonton Opera Van Nusa Tenggara Timur dan Opera Van Nusa Tenggara Barat?

Tapi tak baguslah kita terlalu banyak tanya. Indonesia bukan atmosfir yang baik untuk orang-orang yang penasaran. Nanti Tuan Besar terusik. Bisa-bisa saya ditangkap pula gara-gara ini. Kan bisa saja mereka bilang saya ini rasis. Kalau orang jelek dan kerdil seperti saya ngomongin ini memang disebut rasis. Kalau stasiun televisi nasional menonjolkan budaya Jawa saja itu bukan rasis. Itu namanya hiburan. Seperti kata George Bernard Shaw, “Ketika seseorang ingin membunuh macan dia menyebutnya olahraga berburu; ketika macan ingin membunuhnya dia menyebutnya kebuasan”. Kemudian Shaw menambahkan, “Beda antara keadilan dan kejahatan juga tidak lebih besar daripada itu.” 

Tapi walau bagaimana pun juga, daripada-daripada, yang penting kita camkan saja. Kalau tak bisa, paksakan saja dalam hati bahwa negeri ini Bhinneka Tunggal Ika, walaupun berbeda-beda tetap satu jua. Ingat ya, Pembaca. Bukan Bhinneka Tunggal Jawa. Diingat, jangan sampai salah. Bisa ditangkap nanti.

Tapi, kalau boleh saya penasaran lagi, saya ingin tahu bagaimana orang-orang Papua melawak. Sebagaimana setiap etnik punya orang jenius begitu pula mereka memiliki orang yang lucu. Saya percaya orang papua itu jago melawak. Begini, Pembaca, menurut teori, humor itu lahir dari yang tragis-tragis. Nah, mengapa saya bilang orang Papua itu pandai melawak, karena ada sebuah lirik sedih. Kalau tidak salah saya lagunya Franky Sahilatua. Lirik ini menggambarkan kehidupan orang Papua. Begini bunyinya:  

“Kami tidur di atas emas, berenang di atas minyak, tapi bukan kami punya. Kami hanya menjual buah-buah pinang.” 

Kan tragis, Pembaca? Tidur di atas emas dan berenang di atas minyak adalah perumpamaan hasil alam mereka yang kaya. Tapi mereka tak menikmatinya karena dijarah. Mereka pasti lihai sekali meracik humor. Setidaknya itu jadi cara terakhir agar tak sampai lupa bagaimana cara tertawa.

Tapi ada juga alasan lain mengapa saya ingin menonton Opera Van Papua. Seandainya Opera Van Papua bisa muncul di televisi seperti Opera Van Java (sepertinya ini mustahil), saya akan beli kopi, kacang, dan jagung rebus. Setelah itu tengok ke kiri dan tengok ke kanan baru menghidupkan televisi. Saya akan menonton dengan khidmat. Untuk yang satu ini saya memang sudah lama penasaran. Saya lihat pipa buatan mereka bagus-bagus. Siapa tahu mereka bisa ajari saya cara pakai koteka. Kan saya penasaran juga, Pembaca. [] 



________

Koteka: pakaian untuk menutup kemaluan laki-laki dalam budaya sebagian penduduk asli Papua terbuat dari kulit labu air. 




sumber gambar: https://ilustrasikalender.wordpress.com

Rabu, 18 Desember 2013

Yang Mulia Hary Tanoe

MESKI bukan homo saya menyukai Hary Tanoe. Pertama-tama karena ia ganteng. Saya senang lihat orang ganteng. Tak seperti saya. Udah bulu ketiak keriting, bulu hidung keluar, gigi berantakan, hidup lagi. Maka dari pada sedih tengok muka sendiri, Pembaca, saya lihat wajah Hary Tanoe saja. Apalagi sekarang sudah terpampang di jalan-jalan bersama Bapak Wiranto. Itu tu, Bapak yang mendadak murah senyum itu. (Pasti lagi ada maunya. Hehe...)

Kedua karena kecerdasannya. Tidak, tidak. cerdas saja tidak cukup. Hary Tanoe tak hanya cerdas tapi juga bijaksana. Ia tahu rakyat Indonesia sekarang tak belajar apa-apa di sekolah. Sekolah tidak sekolah, kelakuannya sama saja. Walau pun kata-kata character building alias pembangunan karakter selalu didengung-dengungkan menteri pendidikan dan komplotannya, tapi itu persis seperti dalam lagu Iwan Fals, “Hanya celoteh belaka”

Tapi untung ada Hary Potter. Iya, iya, iya. Hary Tanoe, maksudnya. Ia punya channel televisi. Tak tanggung-tanggung, Pembaca, ada beberapa: MNC TV, Global TV, dan RCTI. Hary tahu adagium lama bahwa televisi jadi tuntunan dan tuntunan jadi tontonan”. Karena cukup peduli pada kita, ia mendirikan siaran televisi sebagai alternatif mendidik rakyat. Ia sengaja tak menampilkan tayangan-tayangan cabul, tayangan-tayangan yang menjual paha dan buah dada perempuan. Tak pernah ia tampilkan itu!

Sebaliknya, Hary, melalui televisinya, telah berperan memotivasi pemuda untuk belajar, berkarya dan bekerja. Tujuannya tidak lain agar bangsa ini mau keluar dari sifat melempem, konsumtif, dan tidak melulu jadi sasaran dagang bangsa asing, dari dulu sampai besok.

Berkat televisinya pula manusia-manusia Indonesia hari ini menjadi lebih berkualitas, berkarakter, dan tidak menjadi anak layangan yang mudah terbang kemana angin bertiup. Mereka tumbuh kuat, punya prinsip, dan tak mudah digiring.

Siaran-siaran yang digandrungi remaja semisal program musik (yang ada Luna Maya itu), sengaja tak ia putar di pagi hari. Menurut Hary itu dapat menganggu jam sekolah. Walau sekolah tidak mengajari mereka apa-apa, setidaknya itu lebih baik ketimbang menonton televisi. Menonton hiburan di pagi hari dapat membuat anak muda terlena juga mematikan hasrat mereka untuk berpikir dan berkarya.

Saya senang, Hary Tanoe telah berperan dalam membangun kebudayaan kita menjadi lebih baik hari ini. Ia telah membuat orang-orang Indonesia menjadi lebih beradab. Bukankah sekarang kita tidak pernah mendengar lagi berita tentang penyelewengan uang negara, tawuran antar siswa, penipuan, manipulasi dan pencurian? Di jalan raya saja kita sudah begitu sopan. Begitu lampu hijau menyala, tak kita dengar rentetan bunyi klakson. Kalau ada pejalan kaki menyeberang, pengendara mobil dengan senang hati melambatkan laju. Oh Tuhan, Bukankah ini sebuah kemajuan?

Bayangkan kalau kita tidak dididik oleh televisi-televisinya itu? Hidup kita di Indonesia ini akan amburadul dan penuh dengan kabar buruk. Kita akan bertubi-tubi mendengar berita-berita semisal korupsi, porno aksi dilakukan anak sekolahan, sogok-menyogok hakim, dan sebagainya.

Sekali lagi, Hary dengan tulus menjadikan televisi sebagai media untuk mendidik bangsa. Tidak pernah pun terbersit dalam pikirannya untuk menjadikan televisi sebagai alat propaganda politis, pencitraan, apalagi untuk memperdaya rakyat demi memperkaya diri.

Saya juga terharu, Pembaca, mendengar niat baik Hary Tanoe mencalonkan diri menjadi wakil presiden. Ia punya jiwa membangun, bukan jiwa seorang yang berorientasi bisnis. Tentu akan beda kalau seorang bermental bisnis yang mencalonkan diri jadi pejabat. Kemungkinan ia akan melulu mengukur laba rugi dan mencari celah untuk selalu dapat untung. Yah, namanya saja pengusaha. 

Ia dan Pak Wiranto punya jargon indah, “Bersih, Peduli dan Tegas”. Kalau Pak Wiranto bersih dalam karir militernya, misalnya waktu konflik di Aceh dulu, dia tidak melakukan apa-apa kecuali beristighfar saja dalam mesjid, Hary Tanoe pun demikian halnya. Ia bersih dalam dunia pertelevisian. Tayangan-tayangannya selalu bersih dan bagus untuk alam pikiran anak-anak indonesia. Membantu mereka berpikir kritis, dan tidak terlena.

Jadi begitulah, Pembaca. Andai kata Pembaca menemukan kebohongan dalam tulisan ini, saya tak sengaja. Semua karena saya terlalu senang pada Hary Tanoe. Terutama karena yang tadi itu. ehm... Sebenarnya saya agak malu bilangnya. Soalnya ia tampan sih! Imut lagi. Kayak boneka barbie gitu. hihi... []


Sumber gambar: inilah.com 

Senin, 09 Desember 2013

Kawan Saya Dokter Hewan

“Hidupku kurang tantangan!” celoteh teman saya. Ia sedang mengoperasi penis kambing waktu itu. “Jadi dokter hewan itu terlalu aman. Misalnya begini,” Tiba-tiba saya mendengar kambing itu mengembik keras. Saya terkejut. “Aman kan?” ia terbahak lalu beranjak mengambil kopi. Kawan saya menyentil testis kambing itu. 


“Nah, coba kalau yang kita sentil itu manusia? Pasti ngamuk dia! Pasti ngadu, melapor. Itu wajar karena manusia. Kalau ada yang tak melakukan apa-apa ketika diperlakukan semena-mena, itu berarti dia kambing. Kambing yang terperangkap dalam tubuh manusia. Haha...” teman saya menyeruput kopi. 



“Tapi sekarang susah juga kalau protes. Apalagi rakyat kecil seperti kau. Kau ingat kasus Prita beberapa waktu lalu itu kan? Itu gara-gara ia protes atas perlakuan semena-mena pihak rumah sakit. Tapi ujung-ujungnya dia yang bermasalah. Dianggap melakukan pencemaran nama baiklah, inilah, itulah. Ada-ada saja negara ini” ia berdehem.


“Tapi hidupku memang kurang tantangan, kurang risiko. Sebenarnya inilah akibat dari tak ada risiko itu. Tak ada yang menghukum. Jadi saya bisa semena-mena memperlakukan kambing. Yah, namanya saja kambing. Macam mana ia mau melapor! Kau pun, kalau kau mau sentil itu testis, juga boleh. Mau?” 

Saya menggeleng kepala dan tertegun beberapa saat. “Kalau kambing itu bisa bicara pasti kau ditangkap, diadili” kata saya. Teman saya kembali terbahak. “Mana ada kambing bisa ngomong. Kalau pun bisa, dan ia melapor, aku punya banyak teman. Bisa unjuk rasa. Bisa saja aku bilang itu kriminalisasi yang dilakukan kambing terhadapku. Zaman sekarang, Bro, siapa yang ramai dia yang menang. Apalagi kalau golongan menengah ke atas. Soal hukum, gampanglah itu!” Ia menggesek-gesekkan telunjuk dengan ibu jari.

“Tapi kau harus sadar, Bro. Aku ini dokter hewan. Di tempat kita, pekerjaanku tidak terlalu berisiko. Ya karena itu tadi. Binatang tak bisa ngomong. Tapi konsekuensinya tahu sendiri. Kalau risiko kecil, uangnya pun kecil. Kalau tidak mau risiko besar tapi mau uang banyak, ya jadi dokter manusia, tapi jangan di luar negeri. Atau mau risiko tapi tidak mau uang, ya jadi kambing aja!” 

Sabtu, 07 Desember 2013

Oh Mandela



“If there are dreams about a beautiful South Africa, there are also roads that lead to their goal. Two of these roads could be named Goodness and Forgiveness (Nelson Mandela).”




INGUS saya merembes. Saya sedih dan tidak tahu harus berbagi dengan siapa. Berbagi dengan Pak Presiden, tidak mungkin. Dengan Pak Gubernur apalagi. Lagi pula, tahu apa mereka soal Nelson Mandela. Kemarin, 6/12/2013, di usia 95, pemimpin idola saya itu menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit di Johannesburg, Afrika Selatan.

Pertama mendengar Mandela, saya masih gadis. Teman saya banyak bercerita tentangnya. Orang bergelar Madiba ini terlahir sebagai orang kulit hitam di Mvezo, 18 Juli 1918. Dan itu bertanda buruk. Sebab akan diperlakukan buruk oleh orang kulit putih, waktu itu. 

Saya pernah melihat foto lama sebuah pantai di Afrika Selatan. Di sana dibuat batasan: tempat berenang orang kulit putih dan tempat berenang orang kulit hitam. Hampir sama seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat. Konon, di pintu toko orang kulit putih di sana tertulis, “Anjing dan orang kulit hitam dilarang masuk!” 

Kejam sekali, Pembaca! Tentang bagaimana bisa orang yang mengaku diri paling waras, paling maju, dan paling beradab bisa berbuat demikian, saya tidak mengerti. Tapi katanya sekarang tidak lagi. Katanya. 

Karena diskriminasi itu Mandela melawan. Ia kemudian sempat dituduh teroris. Ini memang cerita lama. Setiap ada yang mengonggong, yang berkuasa akan langsung memberi label semisal teroris, GPK, PKI, dll. Mandela ditangkap dan dipenjara selama 27 tahun. Kata teman saya, dalam penjara Mandela pernah dikencingi. Ini memang kurang ajar, Pembaca! Kencing ke sarang semut saja kita dilarang, apalagi ke kepala manusia?

Tapi yang membuat saya terharu, ketika terpilih menjadi presiden, Mandela tidak menaruh dendam. Ia duduk tersenyum dan makan bersama orang yang mengencinginya dulu. Ada kata-katanya yang bijak, “If you want to make peace with your enemy, you have to work with your enemy. Then he becomes your partner.”

Ini mengingatkan saya pada cerita Nabi Muhammad yang berturut-turut dilempari taik unta. Ketika suatu hari Nabi tahu si pelempar itu jatuh sakit, Nabi berkunjung ke rumahnya, selayaknya mengunjungi seorang sahabat yang sedang terbaring.

Tapi sayangnya, Mandela tak sempat ke Indonesia untuk memberi kursus. Saya punya impian melihat Pak Presiden, Pak Gubernur, Pak Bupati, dan Pak Keusyik memasang tas kuning bergambar Hello Kitty lalu dengan penuh ceria pergi mengaji pada Pak Mandela. 

Ini perlu Pembaca. Sebab di tempat kita, jangan harap menjadi menteri, kepala dinas termasuk juga kepala sekolah, kalau semasa kampanye kita menjadi lawan politik. Walau pun kita pandai, punya pengalaman cukup, ahli, berkapasitas untuk memajukan, dan sebagainya. Tetap tak akan dipakai. 

Kalau di tempat orang ada slogan, “lawan bukanlah musuh”, di tempat kita “lawan adalah najis”. Jangankan itu, untuk saling berpelukan saja susah. Mungkin karena takut dikira homo kali ya?

Tapi ya sudahlah, Pembaca. Yang jelas saya sedih. Sebentar ya, saya ambil sapu tangan dulu.[]

Rabu, 04 Desember 2013

Merawat Lidah

PEMBACA budiman, Pembaca tahu ini tanggal 4 Desember. Saya malas bicara tentang ini. Bukan karena ini ulang tahun Gerakan Aceh Merdeka, tapi tanggal ini beberapa hari terakhir mengingatkan saya pada sebuah pepatah lama. “Kalau bunuh ular, jangan di ekor. Bisa celaka”. Saya takut sekali pada ular. Hewan melata itu tak hanya menggigit, tapi berbisa, mematikan. Begitu juga kalau punya niat membunuh burung. Burung garuda misalnya. Jangan di ekor, pembaca harus ingat, ia punya paruh. 

Tapi untuk apa bicara tentang bunuh-membunuh. Tidak baik, Pembaca. Kita kan diajarkan untuk saling menghargai dan menghormati. Contoh saja yang dilakukan oleh pemimpin kita di bulan agustus lalu. Meski dulu gontok-gontokan, apoh-apah, saling me-yatim-kan, berdarah-darah, juga sumpah serapah membenci garuda, toh mereka akhirnya berdiri dengan khusyu dan takzim menghormati sang saka. Saya terharu.  

Tapi haru saya kemudian berubah rasa. Kalau kita umpamakan, ibarat memakan durian tapi berasa daun pepaya. Sudah saya bilang, saya malas bicara tentang ini. Karena saya akan teringat lagi pada perjumpaan dengan seorang teman lama. Saya mengenalnya sebagai seorang yang taat.  Awalnya ia bekerja di toko bangunan. Tamat SMA. Tapi setelah beberapa tahun tak bertemu, saya melihatnya sumringah. Ia baru membeli simbol dan aksesoris untuk baju dinas. Anak muda itu diterima sebagai pegawai di sebuah institusi pemerintah. Yang membanggakan, ia diterima tanpa tes, tanpa perlu tetek bengek administrasi. Bukan sebab prestasi atau kontribusi, tapi karena pamannya yang dulu bergerilya kini jadi bupati. Saya jadi iri. Kenapa paman saya mau mencangkul di sawah. Maksudnya, kenapa tidak jadi bupati saja. 

Saya juga malas bicara ini sebab bisa mengingatkan saya pada Pak Harto lagi. Kata nenek saya, zaman Soeharto kita tak boleh ngomong sembarangan. Bisa diculik bahkan dibunuh. Kan dulu pernah ada Operasi Petrus alias penembak misterius. Setiap orang yang dianggap berpotensi mengganggu sistem atau kekuasaan, akan dihabisi. Beberapa hari yang lalu saya membaca artikel hebat ditulis oleh Andre Vltchek. Katanya, In Indonesia, Suharto stepped down, but the system survived, it even hardened itself.  Di Indonesia, Suharto memang sudah turun, tapi sistemnya masih terus berjalan, bahkan lebih kuat. Karena itu, Pembaca, kalau saya bicara tentang ini, saya masih berisiko digertak, diculik atau dibunuh meski niat saya hanya untuk mempertahankan akal sehat. Kan kita tahu cerita penembakan Cagee beberapa waktu lalu. Dia kan juga ditembak oleh penembak misterius. Saya curiga jangan-jangan itu gara-gara omongan yang mengganggu tidur tuan besar. Belum lagi cerita teman saya, ada kawannya diteror gara-gara menggagas demo.

Karena alasan-alasan itulah, Pembaca budiman, saya malas bicara tentang ini. Daripada-daripada, lebih baik saya diam saja.[]




Minggu, 01 Desember 2013

Republik Nakal


SAYA ini memang nakal dan sering tak berdaya di hadapan wanita cantik. Saya suka mencuri-curi pandang sambil berkhayal. Padahal saya pernah diajari kalau perbuatan itu tak baik. Tapi saya ini persis seperti kata seseorang yang saya lupa namanya, “Aku bisa menahan apa pun kecuali godaan”.

Saya memang nakal dan mudah tergoda. Tapi jangan pembaca terlalu kejam menghakimi saya seperti itu. Pasalnya, senakal-nakal saya, negara kita Indonesia ini jauh lebih nakal. Saya sudah bilang saya ini mudah tergoda, tapi ibu Nafsiah binti Haji Walinono tega memanfaatkan ketidakberdayaan ini dengan membagi-bagikan kondom. Gratis pula! Siapa yang tidak suka dengan yang gratis-gratis? Anak kecil pun mau kalau dikasih kondom gratis. Kita kan punya adagium, meunyo pre, gambe mangat!

Kalau kondom gratis ini dibagikan masa saya kecil dulu, saya akan meniupnya karena yang saya tahu kondom itu nama lain dari balon. Jadi ceritanya begini, dulu di meunasah saya pernah mendengar beberapa orang tua bergosip tentang seseorang lelaki. Ia digrebek di kota. Dalam kamarnya ditemukan kondom. Saya melihat ekspresi kejut orang tua itu begitu mendengar kata kondom. Sontak saya penasaran. Ketika mereka sudah pulang, diam-diam saya bertanya pada ustaz saya. “Ustaz, kondom itu apa?” Dengan santai ustaz menjawab, “Kondom itu balon”. Saya mengangguk dan langsung teringat guru bahasa indonesia di sekolah. Hei, bukankah ini yang disebut dengan sinonim?

Tapi kalau anak kecil zaman sekarang beda. Mereka sudah lebih duluan nakal dari saya. Mereka tahu kondom bahkan nekat memakainya meski longgar. Coba-coba. Yah, nama saja anak zaman sekarang! Apa yang mereka tidak tahu? Akses bebas internet mengajari mereka banyak hal, tak seperti saya dulu. 

Mungkin karena tidak ingin anak-anak zaman sekarang ketinggalan seperti saya yang baru mengenal kondom menjelang dewasa, dibuatlah Pekan Kondom Nasional. Sungguh suatu pembaharuan bukan?

Ini juga memberi makna baru pada orang-orang yang nakal seperti saya ini. Di bawah kata-kata Pekan Kondom Nasional itu saya bisa menerawang dengan mata batin saya (bak si Joko Bodo). Ada sebuah slogan tak kasat mata. “Ayo, jangan berani berkhayal saja! Mari meraba, mari mendaki. Aman kok!”

Aih, Indonesia memang nakal! Saya jadi tambah girang saja.[]


Sumber gambar: micecartoon.com

Senin, 02 September 2013

Kualitas Sastra Kita

Beberapa minggu yang lalu seorang teman bertanya pada saya bagaimana perkembangan sastra di tempat kita, di Aceh. Bagi saya ini adalah pertanyaan yang abstrak. Sama seperti seorang bertanya bagaimana pandangan orang timur terhadap orang barat. Orang timur itu beragam. Orang timur yang mana? Begitu pula dengan sastra. Setiap orang punya interpretasi yang beda. Saya misalnya dalam beberapa hal sependapat dengan Putu Wijaya yang mengatakan bahwa sastra adalah sparring partner  atau lawan tinju penguasa. Bagi saya sebuah karya sastra yang ideal itu adalah karya yang bangkit dari realitas sosial yang penuh kebobrokan atau karya-karya yang membela orang-orang tertindas. Sastra model begini juga dikenal dengan realisme sosialis. Aliran sastra yang juga kental pada masa kepopuleran komunisme. Saya sepakat jika seni termasuk sastra dijadikan sebagai alat atau gerobak yang mengangkut "barang" berupa kritikan-kritikan yang menghantam sekaligus menjadi racun untuk revolusi kesadaran. Karya sastra yang hanya berisi keindahan tanpa "isi" hanya akan meninabobokan. Dalam pada ini saya bukan berada dalam falsafah seni modern yakni L'art pour art alias seni untuk seni, tidak untuk alat. Sebuah ungkapan menarik dari Anton Chekov adalah ia menulis dengan tujuan menampakkan kepada orang-orang bahwa betapa konyolnya kehidupan yang mereka jalani. Karya-karya sastra yang mendobrak dan menjadi alat dilahirkan oleh sastrawan kebanggaan saya seperti  Pramoedya Ananta Toer, Leo Tolstoy, Kahlil Gibran, dan Anton Chekov. Begitulah selayaknya sebuah karya sastra. Jadi ketika kembali ke pertanyaan bagaimana perkembangan kualitas sastra kita, saya akan menjawab nyaris tidak berkembang. Jarang sekali karya sastra kita mengangkat persoalan-persoalan remeh-temeh namun membuat kita geram. Misalnya tukang parkir yang menawarkan jasa. Kita membayarnya untuk mejaga sepeda motor kita tapi ketika kita bayar mereka memberi kita kupon dengan tulisan kecil "hilang bukan tanggung jawab kami". Contoh lain ketika di kampus dosen jarang masuk. Ia mengabaikan mahasiswa yang menjadi tanggung jawabnya demi proyek lain di luar yang lebih menguntungkan. Bisa pula intimidasi yang dilakukan oleh partai politik tertentu terhadap rakyat kecil atau penipuan dan pembodohan (bisa jadi dalam bentuk janji-janji). Karya sastra idealnya lahir dari persoalan-persoalan begini rupa. Banyaknya ketidakwarasan dalam tindakan manusia dan itu tidak tertuang dalam teks telah menunjukkan kemandulan kualitas sastra kita.[] 

Rabu, 17 Juli 2013

Sabang Suatu Ketika



Oleh Putra Hidayatullah



Bunyi sirene menggema. Terdengar gesek katrol berputar. Pelan-pelan pintu raksasa itu tertutup. Dalam lambung kapal berbaris ambulan, beberapa mobil pribadi, dan truk fuso yang penuh muatan. Petugas berseragam oranye dan biru masih mencari-cari celah untuk sepeda motor. Menjelang pukul 11 pagi itu, 26 Juni 2013, kapten menghidupkan mesin. Perlahan KMP BRR beringsut meninggalkan bibir dermaga Ulee Lheue. 

Aku menaiki tangga besi menuju lantai dua. Puluhan penumpang duduk berderet di kursi hitam yang empuk. Seorang pemuda menyandarkan kepala dengan headset di telinga. Kursi dekat jendela tak ada yang kosong. Sama seperti di pesawat terbang, orang-orang berebut duduk dekat tingkap demi pemandangan laut atau pulau. 

Aku mondar-mandir mencari teman yang lebih dulu masuk. Di luar dekat pagar kapal tampak seorang ibu menggendong anaknya sambil berdiri menatap laut. Ombak menggerayangi dan membuncahkan buih. Aku menyandarkan siku pada pagar besi. Beberapa laki-laki dan perempuan lalu lalang. Ada yang turun, ada yang menaiki lantai paling atas. Lantai itu tak beratap kecuali tempat khusus kapten sebesar tiga kali ruang kelas. 

Angin berhembus. Sebagian orang duduk di bangku besi. Beberapa yang lain sibuk memotret atau memicing mata menatap laut lepas. Lantai tiga ini mengingatkanku pada film Titanic. Si Rose, aktris cantik, berdiri di bengket kapal dan menatap samudra. Angin melerai rambutnya. 

Rasanya seperti di Titanic meski tak sama mewah. Sebuah kantin rakitan terletak di tengah-tengah dan berdempet dengan ruang kapten dan stafnya. Di atasnya dirangkai besi pelintiran berbentuk bunga yang kurang rapi. Aneka kue basah seperti bakwan, timphan, kue lapis, dan kue bolu dihidangkan terbuka. Beberapa lelaki bersandar di meja kasir berbentuk letter U seperti pada bar-bar. Mereka menyesap kopi Ulee Kareng saset dalam gelas plastik. Lagu barat berdentam-dentam dari sebuah loudspeaker. Suaranya sedikit lebih baik dari bunyi bambu belah. 

Seorang bule laki-laki asal Inggris duduk bersandar di dinding kapal. Rambut pirangnya yang keriting tergerai diterpa angin. Di mulutnya terselip sebatang rokok. Beberapa jenak kemudian, kulihat ia bangkit dan membuang puntung rokok ke laut. Sesuatu yang tak lazim untuk seorang Eropa: buang sampah sembarangan. 

Kapten memberitahu bahwa perjalanan dari pelabuhan Ulee Lheue menuju Balohan ditempuh dalam waktu 1.5 jam. Aku mendekat ke pinggir dan menjenguk ke laut. Tampak sepasang lumba-lumba serentak menyaingi laju kapal. “Beberapa bulan lalu ke Sabang bisa habis 2 jam lebih. Kapal berputar jauh sampai ke kota untuk berlabuh di tempat sementara. Pelabuhan waktu itu sedang direhab” Kata Khalisil, seorang pemuda bertubuh jangkung. 

Aku duduk berselonjor kaki dan bersandar di dinding luar ruang kapten. Dua perempuan dan seorang pemuda berpindah tempat. Mereka kini duduk di bangku yang tak jauh dariku. Perempuan itu berkelakar dengan temannya, "Aku malas ngomong sama qe, kayak kita ngomong sama PKI" gadis itu terbahak. Rambutnya yang panjang diikat mirip ekor kuda. Ujungnya yang pirang dilerai angin. "Di Sabang tak apa-apa hai kalau tak pake jilbab" katanya sambil tersenyum. 


2 

Dari jarak jauh sudah tampak daratan berwarna biru, Pulau Weh. Perahu-perahu kecil bertebaran. Di atasnya duduk nelayan bertudung sambil menjaring ikan. Mereka berlayar menjauhi pulau. Tujuh jam kemudian aku tahu bahwa ada penyebab “lain” selain alasan mencari ikan. 

Jam 12.45 kapal berlabuh. Lima belas menit bergeser dari jadwal yang diumumkan. Terdengar gemerincing seperti bunyi rantai. Pintu raksasa kembali dibuka. Sepeda motor menderu berebut keluar. Truk-truk dihidupkan. Asap berbau solar menguar. Seratusan lebih penumpang mengantre. Anak-anak mengekor ibu mereka. Dalam sekejap pelabuhan berubah jadi pasar tumpah. 

Aku mengeluarkan Jupiter MX merah dari perut kapal. Sebuah becak berdiri dekat kapal. Seorang lelaki tua berkeriput menjual rokok, semangka, nenas dan rujak. Beberapa anak-anak Sabang berdiri dekat bibir dermaga kemudian satu persatu terjun bebas ke laut. Kulit mereka tampak legam. 

Sepeda motor menggerung menanjak. Jalanan teraspal mulus. Konon hampir setiap jalan di Sabang begitu. Dari daratan yang lebih tinggi terlihat hamparan laut biru yang memukau. Pohon-pohon kelapa yang lengkung bergoyang diterpa angin sepoi-sepoi. 

Pasee seorang wartawan muda berhidung mancung, kurus, dan berkulit sawo matang. Ia mendapat amanah atasan untuk mengantar surat ke kantor Wali Kota Sabang. Kantor itu terletak di pinggir jalan utama. Di pintu gerbang terdapat lampu berbentuk peta pulau weh. Pikiranku mengatakan bahwa malam hari lampu ini akan kerlap-kerlip dan berputar seperti baling-baling. 

Di seberang jalan terdapat tempat bercengkerama berbentuk kursi yang dipasangi keramik mengkilap. Di atasnya kulit jeruk berserakan. Semen-semen dicat berwarna cerah. Di tengah-tengah terdapat sebuah pot bunga yang dibeton. Di dalam pot itu sebuah botol minuman keras bermerek Stevenson tergeletak. "Khusus 21 tahun ke atas" tertulis pada label. Aku mendekatkannya ke hidung. Baunya sudah tak kentara. Isinya kosong kecuali sebuah puntung rokok Dji Sam Soe berwarna kumal. Aku menaruhnya kembali dan menyapu pandang. Dari tempat ini masih tampak Pelabuhan Balohan dan laut permai menghampar. Tampak pula atap rumah-rumah penduduk berwarna cokelat, perak, biru dan oranye. 

Kami sedang melanjutkan perjalanan ketika seorang teman bernama Muhajir menelpon. Tadi ia berangkat dengan kakaknya dan bertemu kami di kapal. Pemuda bertubuh pendek dan selalu berkemeja itu memberitahu  agar tak menyewa tempat penginapan. “Nginap di rumah kakak saya. Ada tempat kosong” Bagai musafir bertemu sungai di tengah gurun, senang bukan buatan. Bagaimana tidak, biaya penginapan di Sabang berkisar antara 150 sampai 200 ribu permalam; sangat tidak sesuai untuk ukuran dompet kami di penghujung bulan. 

Siang menjelang. Kami mencari rumah makan. Tak terlalu susah menjumpainya. Sebuah toko satu pintu. Di terasnya berdiri rak kaca berisi ikan rendang, telur asin, dan telur ikan digulai. Air liurku menderas. Kami makan dengan lahab. Lidah yang terkena kuah pedas memicu keringat  di dahi bercucuran. 

Usai membayar di kasir, temanku berbisik, “Di sini harga barang, termasuk harga nasi, lebih mahal. Mereka ‘mengimpor’ barang dari banda Aceh. Harga standar nasi di Sabang Rp. 10.000 per bungkus sementara di Banda Aceh Rp. 8000,-. 

Di depan rumah makan itu terdapat Mesjid Agung Sabang. Sebuah mesjid berwarna cream dengan arsitektur unik, rapi dan bersih. Halamannya luas. Lebih kurang lima kali lapangan bola voli. Usai salat dhuhur kami merebahkan badan. Sampai jelang asar seorang lelaki masuk menuju ruang ganti dekat podium. Ia memakai baju koko biru muda. Di depan podium itu ia duduk bersila, membuka Al-Qur’an dan menghidupkan mic. Sudah lupa kapan terakhir kali kulihat orang bersedia membaca langsung ayat-ayat Al-Qur’an di mic. Biasanya orang sekarang sudah memilih cara instan dengan memutar kaset. 


3 

Selain di Aceh Besar, Krueng Raya juga nama salah sebuah perkampungan di Sabang. Di tempat ini kami akan bermalam. Sebuah rumah yang terletak di dataran tinggi. Dari sini kita dapat melihat laut dengan jarak lebih dekat. Sebuah pulau berwarna hijau membuat lanskap makin eksotis. Konon pada 2004 lalu pulau ini menjadi penghalang yang memecahkan ombak tsunami sehingga tak banyak yang porak-poranda juga yang menjadi korban. 

Sebuah mobil fortuner hitam berdiri di samping rumah sederhana itu. Pak Muzakkir adalah seorang lelaki berkumis yang murah senyum. Ia suami dari kakak ipar Muhajir. Kutaksir usianya sekira 40 tahun. Ia memperlakukan kami seperti menyambut raja. Begitu pula istrinya, seorang seorang bidan yang selalu memakai jilbab besar. Wajahnya teduh dan ramah. 

Pak Muzakkir bekerja di Kantor Pertanian Sabang. Sekilas kehidupannya mencerminkan kecintaannya pada flora. Di halaman rumah yang sempit itu ia tanami bermacam tumbuhan. Sesekali sengaja disiram dengan air beras bercampur air darah pesiang ikan. “ Itu bagus sekali untuk kesuburan tanaman” katanya. Di rumah ini juga aku pertama kali melihat rupa pohon zaitun. Di samping pohon zaitun ditanaminya pula pohon tin, dua nama tumbuhan yang disebutkan dalam Al-Qur’an, (surat At-Tiin). 

Ada pula pohon-pohon unik lain yang ia pesan dari Malang, Jawa timur. Ada daun binahong, ubat mujarab untuk penyakit lambung. Pohon srikaya yang berbuah manis. Buah kiwano, sejenis mentimun berwarna kuning yang unik hampir mirip belimbing bintang, “antioksidan yang cukup bagus” katanya. Pak Muzakkir juga berlangganan majalah Trubus, majalah khusus tumbuh-tumbuhan. Ia menyusun rapi majalah itu di atas balai bambu belakang rumah, tempat kami sedang duduk. 

Seperti pemain sepak bola profesional amsal Christiano Ronaldo, selain menjadi profesi, pekerjaan Pak Muzakkir juga menjadi kesenangannya. Aku teringat kata-kata Konfusius, “Carilah pekerjaan yang kamu cintai dan kamu tidak akan pernah lagi bekerja satu hari pun sepanjang hayat” 

Hampir sepanjang sore itu kami bicara tentang tumbuh-tumbuhan. “Sekarang banyak pohon dan buah-buahan yang hampir punah. Contohnya buah tuphah, buah munje, buah meuriya. Dulu Sabang juga terkenal dengan buah geureundong. Tapi sekarang hampir kita tidak mendengarnya. Begitulah orang kita. Tidak melestarikan apa yang menjadi kekayaannya. Pepohonan yang khas ditebang tanpa ditanami pengganti. Pohon seuntang misalnya. Datang orang menamainya pohon Afrika dan mengklaim asal dan kepemilikan. Pun, apa yang datang dari luar begitu cepat kita menerimanya. Misalnya obat-obatan atau ramuan yang telah diolah dan dicampur bahan kimia. Padahal tumbuhan kita lebih mujarab” Pak Muzakkir tersenyum. 

Mendengar kenyataan itu membuat sesuatu terbesit dalam benak. “Saat ini untuk kemanusiaan sudah ada aktifis kemanusiaan; untuk wanita ada aktifis perempuan. Sepertinya kita juga mulai butuh aktifis buah-buahan” kataku bergurau. Pada Pasee, temanku yang berprofesi wartawan, aku mengusulkan untuk membuat majalah buah-buahan yang tumbuh di Aceh terutama yang terancam punah. “Supaya menjadi dokumen karena No document no history” kami tergelak. 

Kami tinggal di rumah adik lelaki istri Pak Muzakkir. Tepat di samping rumahnya. Rumah itu kosong. Menjelang magrib kami mengantre mandi di ruang tengah sambil bergolek bebas di depan televisi. Di Krueng Raya air PDAM mengalir dua hari sekali. Karena itu kalau ramai air bisa tidak cukup. Istri Pak Muzakkir begitu serius menyuruh kami mandi di rumahnya kalau air tak cukup. 

*** 

Sudah menjadi budaya orang Aceh untuk membawa semacam oleh-oleh saat bertamu ke rumah kenalan, kerabat atau saudara di perantauan. Tapi kami lupa. Dan alpa ini membuat perasaan bersalah menebal setiap detik. Istri Pak Muzakkir dengan ramah mengatakan, “makan malam sudah Kakak siapkan. Jangan malu-malu!” ia tersenyum. Tidak ada pilihan yang bijak untuk menolak sebuah ketulusan yang jujur. Meski di sisi lain ada malu yang menohok. 

4 

Saat kembali ke rumah, kami melihat dua lelaki duduk di kursi teras rumah. Mereka tersenyum dan kami berjabat tangan. “Tidak apa-apa, Dek. Silakan. Masuk saja.” Di dalam kami mengecas hp, melipat baju kotor, dan bermalas-malasan di sofa. Beberapa saat kemudian temannya pergi. Lelaki itu tinggal sendiri. Ia kemudian masuk dan duduk di lantai. Kami yang duduk di sofa ikut berpindah ke lantai. 

Tidak tampak aura arogan. Ia langsung bicara panjang lebar sambil sesekali menyelip senyum. Dari pembicaraannya aku mengetahui lelaki jangkung ini bekerja sebagai nelayan. Usianya sekitar 33 tahun. Kumisnya jarang-jarang. Karena satu dan lain hal, anggap saja namanya AN. 

“Angin di laut lagi kencang. Jadi Abang libur dulu. Kemarin ada kawan terbalik boatnya. Ia berenang sampai 2.5 jam pakai jeriken” AN menggeleng-geleng kepala. Kemudian melanjutkan, “Sekarang hidup kita rakyat kecil begini susah. Banyak peraturan macam-macam. Dilarang menangkap ikan lah, itulah; seperti di Gapang. Padahal Nabi Khaidir bilang bahwa laut punya Tuhan. Kita boleh mengambil ikan tapi ini ...” Wajah cerianya redup. “Gapang dikelola oleh orang bule dengan mempekerjakan orang kita. Ia buat peraturannya sendiri, tak boleh nangkap ikan. Kalau di Iboih, bolehlah dibuat peraturan begitu. Untuk pembibitan ikan, tapi ini?!” ia menghela nafas. “Orang kita mana ada, kalau sudah dikasih pulsa gratis, diberi uang, dan tugasnya cuma melapor kalau ada perahu mencari ikan, senang betul! Kami sudah dua kali ditangkap dibawa ke kantor polisi. Kena denda 20 juta. Lebih parahnya, polisi mengambil ikan kami untuk barang bukti. Tapi setelah kami tebus, ikan itu tak dikembalikannya. Saya bilang ke polisi itu, kalau begini caranya, cara Bapak mencuri lebih parah!” Wajahnya tegang. Matanya nyalang. 

“Kalau tanggapan dari pemerintah sendiri bagaimana, Bang?” tanya Pasee. Lelaki itu menghembuskan asap rokok. “Pemerintah mana ada melarang. Mereka kan senang, dapat pajak tinggi” Mendengar itu membuat dadaku sesak. Tidak jauh berbeda dengan kisah masa kolonial dalam roman-roman sejarah. “Area nafkah sekarang pun jadi sempit. Pawang laot dulu cuma ada dua. Sekarang hampir tiap kampung punya pawang sendiri, punya wilayah penangkapan sendiri” Wajah lelaki itu terlihat getir. 

*** 

Malam itu kami juga keluar menghirup udara malam kota Sabang. Dingin malam menyapa pori-pori. Tak seperti di Banda Aceh, warung-warung kopi tidak begitu ramai. Jalanan kurang pencahayaan. Apalagi di kawasan Sabang Fair. Suasana lebih remang-remang. Tampak berpasang muda-mudi bermesraan. Melihat pemandangan itu dan memutar ulang cerita Bang AN yang berprofesi nelayan tadi, aku seperti mencium ironi dan kepincangan. 

Jam 11 malam di ruang tamu, di atas sofa, dan di atas kasur dalam kamar, kami berlima sudah menarik selimut. Di luar dingin. Angin berdesau. 


5 

Pagi di Krueng Raya adalah pagi yang menggiurkan. Kami berdiri di depan rumah dengan pandangan menghadap laut. Matahari masih ramah. Dingin masih ada. Bahari Tuhan itu sungguh memesona. Pasee tak menyiakan kesempatan. Ia menyambar Nikon dan menjepret wajah kami yang masih sembab satu persatu. 

Tapi ceria kami wagu ketika Muhajir memberi tahu, “Kakak menyuruh kita makan pagi dulu” Oh Tuhan, perasaan ‘tidak enak’ bercampur malu itu... Kami merasa merepotkan. Padahal mendapat penginapan saja sudah sangat lebih dari cukup. “Kita makan di bale bambu saja, dekat tumbuh-tumbuhan Pak Muzakkir” Kopi dan kue basah bulat mirip donat berbalut tepung gula juga hadir. 

Usai makan kami bicara-bicara dan tanpa sadar lari ke persoalan politik. Kami bicara praktik demokrasi yang tak luput intimidasi. Rakyat yang mudah ditipu. Pejabat yang memperkaya diri. Debat kecil-kecilan muncul. Sesekali terselip pula lelucon yang membuat semua terkikik. 

Di luar sadar, seorang lelaki tua lewat dan berdiri di depan kami. Ia menyungging senyum. Kepalanya tampak uban. Celananya agak kedodoran hingga menyentuh bumi. Bajunya kumal seperti petani mau berangkat ke sawah. Di tangannya sebuah parang dibalut karung. Ia seperti telah menguping pembicaraan kami. Pak tua itu menyapa dan menanyakan asal daerah kami satu persatu. Aku mengatakan datang dari kabupaten X, kecamatan, X dan desa X. “Ow, ya... ya.. Bupati X itu itu keponaan saya” ia mengangguk-angguk tersenyum. 

Setelah itu ia diam menunggu kami melanjutkan. Mungkin sedang membaca arah pembicaraan. “Saya tidak sekolah dan tidak juga pintar agama. Tapi saya bertanya pada orang yang lebih mengerti semisal ulama” Bapak berkulit legam itu tersenyum. Kelak kuketahui namanya dan kuberinya inisial KR. 

Ia ternyata mantan kombatan GAM. Dulu sempat menenteng senjata dari satu wilayah ke wilayah lain. Tahun 1990 ia pernah dirantai oleh tentara di Kota Bakti, Lamlo, Pidie. Tapi kemudian ia dilepas dan akhirnya kembali angkat senjata bersama Abdullah Syafi’i, panglima GAM. Saat ditanya apakah dia berjalan kaki atau naik gunung ketika dulu berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain, ia menjawab, “Mana ada. Tidak begitu. Kita pakai seragam loreng, naik mobil dan jalan terus. Masuk perkampungan, naik lagi ke jalan raya. Begitu seterusnya. Kalau memang berjumpa musuh, kita hajar saja” ia terkekeh. Aku seperti mampu melihat pijar keberanian di matanya. Mungkin beginilah tipikal orang Aceh zaman dulu. Khalisil bertanya, “Pak, jadi menurut Bapak bagaimana situasi politik di Aceh sekarang? Pak KR terdiam. Wajahnya redup. Ia menggeleng kepala. 

“Aceh akan selamanya perang sampai akhir anak cucu nanti kalau perjuangan dilalui dengan partai. Apalagi kalau petinggi sibuk berbagi tumpuk dan melupakan darah syuhada yang telah banyak tumpah. Berapa banyak perempuan jadi janda. Dan, apakah bisa dijamin kalau anak yatim korban konflik dulu tidak akan bangkit melawan dan membalas? Apalagi jika menyibukkan diri dengan pembagian tumpuk. Saya ini, wahai anakku (ia memanggil kami anak), sudah lelah. Berpuluh tahun melawan. Saya memang tidak sekolah, tidak pandai agama. Tapi tidak mencari tumpuk. Saya tak akan menjual kepala saya ini dengan uang seharga seratus ribu! Lebih baik saya pergi berkebun walau pun tertatih menyekolahkan anak saya” Mata Pak KR berkaca-kaca. 

“Kalau persoalan bendera itu, Pak?” tanya Khalisil. Pak RK menyeringai senyum. “Tidak. Itu bukan bendera Aceh. Bendera Aceh berwarna hijau. Itu bendera perjuangan, bendera perlawanan yang kalau menang, bendera hijaulah yang dinaikkan” jawab Pak KR. Ia juga mengatakan bahwa tanah Aceh itu bukanlah milik suku atau golongan tertentu. Tapi milik siapa saja yang tinggal dan menetap di Aceh. Dari mana pun asalnya, ia adalah orang Aceh yang harus dijaga haknya. “Kami ini sudah tua-tua. Tinggal kalian ini yang muda-muda. Kalian harus tahu bagaimana sejarah, bagaimana bangsa kita” Pak RK mengakhiri. Suaranya rendah. Aku menghela nafas. Resah. 


6 

Ibarat bibir bagi seorang wanita, iboh adalah bagian penting yang mempercantik rona wajah Pulau Weh. Di sini terdapat sebuah pulau eksotis bernama Pulau Rubiah. Dari pantai Iboih pengunjung dapat menapakkan kaki di pulau itu dengan membayar ongkos boat sebesar Rp. 150.000,-. Jarak dari Iboih ke Pulau Rubiah hanya sejauh mata memandang. “Bagaimana bisa ongkosnya Rp. 150.000,- sementara jarak dari pantai iboih ke Pulau Rubiah hanya sekitar dua ratus meter saja?! Tak sampai habis satu liter solar yang harganya Rp. 5000,-.” Khalisil memprotes. “Jasa tak dapat dikur” tandas Nailul, temanku yang tambun dan berbrewok tebal. Tapi kemudian keningnya berkerut, matanya memicing “Iya juga. Betul. Mahal!” 

Untuk ke menyeberang pulau Iboih, orang biasanya menyewa kaki katak, baju pelampung dan selang untuk snorkling. Sekali sewa dalam satu paket (kaki katak, selang pernapasan, dan baju pelampung) Rp. 40.000,- per orang. Nailul membawa pelampung dan selang sendiri dari Banda Aceh. Ia membelinya seharga Rp. 80.000,-. Isi dompet memacu otak kalkulatifku―yang hanya tajam dalam urusan uang―cepat bekerja dan memberi kesimpulan tragis: penyewa baju itu langsung memperoleh modalnya kembali hanya dengan dua kali penyewaan. Selebihnya untung yang melipatgandakan isi dompetnya. Karena sehari bisa berpuluh orang datang ke Iboih. 

Selain harga makanan dan minuman seperti Pop Mie, Coffe Mix, Sprite, Cokelat Beng Beng, hal lain yang menakutkan di Iboih adalah bue alias monyet yang liarnya melampaui dosis. Di jalan menuju kesana, seperti polisi melakukan sweeping, mereka berdiri dipinggir jalan. Memasang wajah buas dan garang. Lalu coba-coba mengejar orang yang lewat. Tapi siapa sangka, daya tarik Iboih membuat tantangan itu tak lebih dari lelucon belaka. 


7 

Mungkin Tuhan telah mengisi benak orang timur “perasaan tidak enak” yang lebih kental. Pulang dari Iboih kami tak ingin salat magrib di rumah karena tidak mau merepotkan keluarga Pak Muzakkir. Mereka pasti akan menyiapkan makan malam. Karena itu kami keluar ke kota sebelum magrib. Anak Pak Muzakkir bernama Qissy kami bawa bersama. Ia masih kelas 1 SMP. Fasih berbicara bahasa Aceh dan Bahasa Indonesia. Ia mengarahkan kami ke sebuah warung yang menjual mie sedap, sejenis mie kocok yang baru pertama kulihat dalam hidup. Semua makan dengan lahab. Sementara aku memesan nasi. 

Selepas salat magrib di mesjid Agung, aku melihat orang-orang baca yasin bersama. Malam ini malam jum’at. Pemandangan seperti ini, baca yasin bersama, juga mulai jarang kulihat di beberapa tempat lain bahkan di kampungku. Di langit bintang berkedip dan berserakan. Kami sedang duduk di teras mesjid saat lamunan pecah. Muhajir mengangkat telpon. Tingkahnya tiba-tiba panik. Bibirnya bergerak-gerak, “kebakaran!” 

*** 

“Api hampir menjilat selang tabung gas” seorang lelaki menunjukkan. Sebuah kulkas menghitam dan hilang bentuk. Kayu-kayu telah jadi arang. Ibu-ibu bicara dengan sisa-sisa ketakutan. Nafas mereka tersengal-sengal. “Tak ada orang pula. Rumah kosong. Mereka udah berangkat. Katanya di tempat kayu itu disusun, sering keluar ular maka dibakar. Tapi tak disiram merata. Ternyata api masih nyala” 

Rumah yang hampir mengalami nasib tragis itu terletak jauh dari tempat kami menginap. Hanya dapur belakang yang terbakar. “Kakak takut api menjalar sampai ke mari. Jadi, maaf, tas kalian sudah Kakak masukkan ke mobil. Takut ada laptop.” Wajah istri Pak Muzakkir masih pucat. “Kenapa nggak panik. Kami perempuan semua. Bapak-bapak komplek ini sudah pergi samadiah ke tempat orang meninggal” katanya. Satu kata yang tak akan pernah terlepas dari mulut orang Aceh saat mengalami musibah adalah kata untung. “Untung tabung gas tidak meledak. Kalau tidak ...” ia menghela nafas. 


8 

Kami pulang besok, 28 Juni 2013. Teman-teman bersemangat ke kota untuk bakpia. Diajak, aku manut. Uang di kantong tandas. Untuk pulang saja sudah tak ada. “Untuk orang rumah harus kita beli sesuatu” kami sepakat. Aku sangat setuju. Sudah terlalu banyak yang kita nikmati. Kami beli roti kaleng untuk sedikit menambal hutang budi yang sudah lebih dari cukup. 

Tapi tiba di rumah setumpuk ikan mirah mata sudah dipesiang. “Ini untuk dipanggang” kata istri Pak Muzakkir. “Oh Tuhan... Perasaan ‘tidak enak’ menebal. Sampai tengah malam kami makan di teras dengan kelakar yang bertubi-tubi. Qissy sampai mengeluarkan air mata. 

Hari jum’at kapal hanya berangkat pagi jam 8.00. “Berarti besok jam 7 kita harus sudah di pelabuhan untuk antri sepeda motor” 

Hening. 

*** 

Kami tiba di pelabuhan saat pagi masih gelap. Sepeda motor sudah terparkir di tempat antri menuju pintu kapal. Di sana dua orang lelaki yang agak tua mendekati setiap yang baru tiba. Tangan kanannya memegang pulpen ia mencatat plat honda dan menawarkan tiket kapal. Harganya sedikit lebih mahal meski mereka bilang sama. Kami memilih antri untuk membeli di loket resmi. Harga tiket untuk sepeda motor Rp. 23.700,- dan untuk penumpang Rp. 18.850,-.Kapal akan berangkat satu jam lagi. 

Aku sedang menyeruput kopi yang tinggal separuh di sebuah warung kopi seputar pelabuhan saat pintu kapal perlahan dibuka. Dalam gegas aku langsung menuju lantai paling atas. Di sana terlihat wajah-wajah yang sama saat berangkat dua hari lalu. Dua puluh menit kemudian sirene berbunyi. Aku membeli kue dan bersandar di pagar besi paling belakang. Laut terhampar. Angin menerpa wajah dan membuat rambutku berantakan. Aku berpaling ke belakang. Beberapa orang melambai tangan di pelabuhan. Aku ikut melambai meski tak kukenal. 

Sambil mengunyah kue bolu, aku memikirkan sesuatu. Di Sabang, tiga hari dua malam terlewati. Terbuang sudah suntuk dan beban-beban yang menggerogoti kepala. Dibarengi rasa terimakasih, aku terkenang keluarga pecinta tumbuhan itu. Selangka harimau sumatera, mereka betul-betul menganut falsafah “Peumulia jamee adat geutanyoe” 





Note: 

Peumulia jamee adat geutanyoe: Memuliakan tamu adalah adat kita 

Bakpia: Kue populer di Sabang

Sumber foto: Google