Mereka adalah yang sering tertawa dan kemudian menangisi tawanya itu.
Dan jika engkau bertanya mengapa? Mereka akan menjawab, menelan ludah sendiri itu lebih baik ketimbang menelan ludah orang lain.
Dan jika mereka melihat sang arif, mereka akan menjauh dan berkata,
“jangan dekati ia, hidupnya penuh dengan larangan-larangan. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dan perutmu akan kosong”
Lihatlah, mereka cenderung memikirkan perut. Padahal dengan hanya memikirkan perutlah hati dan akal berubah jadi tumpul. Dan jika hati dan akal telah mati, maka jadilah kita makhluk yang tidak berguna. Bagaimana kita akan berkata bahwa kita seorang raja yang hadir untuk mengisi perut orang lain sementara kita tidak bisa melupakan perut kita sendiri walau sedetikpun?
Lihatlah...
Mereka cenderung memilih televisi yang menghadirkan khayalan-khayalan untuk menyesakkan jiwa mereka ketimbang buku-buku yang bisa membesarkan pengetahuan.
“Jangan membaca, karena itu adalah hal yang memalukan” Mereka belagak seolah seorang penasehat.
Dan itulah sebabnya mengapa bangsa itu nampak kecil di mata bangsa lain hingga hilang dan mungkin akan tinggal nama sebagai lambang dan lambang sebagai nama. Disana kejahatan tumbuh sehat dan meloncat-loncat dengan riang gembira dimana-mana. Televisi menjadi mesin penghancur yang menumpulkan hati dan pikiran. Hanya sedikit dari padanya yang memberi pelajaran tentang hidup. Dan yang lebih menggelikan lagi mereka tidak menyukai tontonan-tontonan yang segar itu.
Ada banyak lagi cerita bangsa. Maka tulislah olehmu, tulislah dengan lidahmu, rekamlah dengan hatimu dan susunlah dengan pikiranmu satu persatu. Karena kita punya kewajiban yang sama untuk menghadirkan cermin agar kita bisa melihat bagaimana wajah kita sebenarnya.
0 comments
Posting Komentar