-------

Rabu, 29 September 2010

Antara Universitas, Agama dan Penyakit Sosial

Oleh Putra Hidayatullah

“University Student must know something about everything and know everything about something”. Kalimat ini kemudian tiba-tiba muncul ditengah-tengah maraknya orang-orang yang berlomba untuk mendapatkan kesempatan belajar di perguruan tinggi. Baik itu mereka yang berpendapatan menengah ke atas maupun sebaliknya. Konon untuk kehidupan yang mapan, belajar di Universitas adalah satu-satunya kunci untuk menjadi pegawai negeri dan jalan termudah menuju masa depan.

Sama seperti kasus tidak ada asap tanpa api atau menurut ilmu fisika “ setiap ada aksi pasti ada reaksi”. Artinya segala sesuatu dan fenomena yang muncul adalah karena sebab. Tuhan menciptakan manusia karena sebab dan tujuan, manusia mencari pasangannya dalam hidup juga karena sebab. Hal yang ini juga berlaku setiap pernyataan atau thesis yang diucapkan oleh orang-orang terkemuka yang dengannya memberi pengaruh dan implikasi bagi banyak orang.

Saya kembali berpikir hingga akhirnya menjumpai sebuah literature yang berkaitan dengan dualisme pendidikan. Dualisme pendidikan yang merupakan usaha untuk menampakkan ilmu pengetahuan dengan wajah dan golongan yang berbeda alias dikotomi secara tidak langsung telah memberi efek domino terhadap ketimpangan yang memberi kontribusi terhadap penyakit-penyakit sosial dalam kehidupan masyarakat.

“University Student must know something about everything and know everything about something” yang berarti bahwa mahasiswa harus mengetahui banyak hal terhadap sesuatu dan paling tidak mengetahui sesuatu dari segala hal adalah sebuah pernyataan yang dilontarkan oleh seorang yang terkemuka di barat di awal abad 20. Secara sekilas, kalimat di atas sangat inspiratif, artinya ia bisa menjadi patron yang menyokong cara pandang yang membentuk sebuah mindset yang konstruktif terhadap arti penting pendidikan.

Namun siapa sangka ternyata pernyataan ini muncul karena kondisi sosial masyarakat yang mulai terlihat rancu pada waktu itu. Hal ini kemudian terus menerus dan turun temurun terjadi hingga hari ini. seorang yang cerdas tidak lagi bersikap cerdas, seorang yang pandai tergelincir kepada keadaan yang menjauhkan dirinya dari hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai yang luhur. Kehidupan universitas yang mengkotak-kotakkan ilmu pengetahuan secara extreme telah memunculkan balance crisis atau krisis keseimbangan di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya.

Setiap individu diarahkan untuk menemukan focus dan terkonsentrasi pada satu bidang tertentu sehingga ia menjadi ahli dan expert terhadap hal yang menjadi bidangnya sendiri. Seorang yang menyukai matematika misalnya akan memilih teknik sipil untuk belajar ilmu teknik dan kemudian menjadi ahli di bidang teknik alias insinyur. Idealnya memang terlihat menarik namun konsekuensi logis dari hal juga terjadi dan bisa menjadi contoh dimana seorang anak bangsa yang belajar di sana disibukkan dan dijejali dengan banyak tugas sehingga mengacaukan keseimbangan. Ia sibuk mengukur tanah namun lupa pada kenyataanya bahwa ia akan kembali ke tanah. Di sana benar-benar terjadi pemisahan yang secara tersirat meneriakkan “Pisahkan agama dari ilmu pengetahuan !”. Saya pernah melihat betapa kewalahannya seorang teman dimana ia bekerja keras siang dan malam dan disibukkan dengan tugas yang lama-kelamaan mengungkung pribadinya dan yang lebih berbahaya adalah munculnya kematian kesadaran sosial yang kemudian melahirkan anaknya yang sah yakni sikap apatis yang melepaskan dirinya dari tanggung jawab atas permasalahan-permasalahan sosial.

Sikap apatis ini juga salah satu akar munculnya sikap tidak peduli terhadap bangsa, memudarkan rasa cinta kepada tanah air, sikap patriot dan nasionalisme. Maka bayangkan saja betapa ironisnya jika seandainya pendidikan di sebuah Negara membantu warga negaranya untuk membunuh rasa nasionalisme dengan memunculkan sikap apatis yang mungkin saja adalah bagian dari hidden curriculum pemerintahnya sendiri.

Haruskah dikotak-kotakkan? Hasil sebuah diskusi dengan seorang teman adalah, menciptakan dikotomi-dikotomi untuk mempermudah menemukan esensi adalah suatu yang positif. Dalam islam ada ilmuan-ilmuan muslim yang ahli dalam bidang filsafat dan ilm, seperti Al-Kindi (803-866), Al-Farabi (950), Imam Al-Ghazali (1058-1111), Ibnu Rusyd (1126-1198). Ibnu Sina, “The Father of Doctors” (980-1037), Jabir Ibnu Hayyan (721-815) pendiri laboraturium pertama yang merupakan seorang ahli kimia yang terkenal yang buku-bukunya banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Al-Khawarizmi (780-850), matematikawan ulung pertama. Mereka semua adalah orang yang tidak memisahkan dari ilmu pengetahuan dengan alasan focus dan konsentrasi, sebaliknya mereka mempelajari lebih dari satu hal untuk memberi kontribusi terhadap khasanah ilmu pengetahuan dan memecahkan permasalahan-permasalahan dalam kehidupan sosial dengan tidak mengabaikan hal utama yakni aspek spiritual.

Sebaliknya, mengkotakkan-kotakkan dengan berdalih mempermudah adalah bagian dari taktik yang digunakan agar agama perlahan-lahan terpisahkan dari ilmu pengetahuan. Ada sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa setiap ilmu pengetahuan yang tidak mengantarkan manusia kepada Tuhannya maka ilmu pengetahuan tersebut akan berujung kepada kesia-siaan. Maka bukan tidak ada kemungkinan bahwa dikotomi yang terjadi hari ini akan membawa kepada kehampaan. Di saat jumlah sarjana dan doctor semakin banyak, banyak pula kehancuran terjadi dimana-mana.

“University student must know something about everything and know everything about something” adalah kata yang harus kembali kita dengungkan hari ini mengingat pemisahan diri dan dikotomi-dikotomi dalam ilmu pengetahuan telah memunculkan krisis yang dikhawatirkan berpotensi merusak tatanan-tatanan yang ideal.

0 comments

Posting Komentar