-------

Minggu, 05 Desember 2010

Menjadi Intelektual yang Merdeka

Dalam Al-Quran disebutkan bahwa orang-orang yang berilmu akan ditinggikan oleh Allah beberapa derajat; bahkan derajat orang yang berilmu jauh lebih tinggi dari orang-orang yang beribadah. Hal ini juga menunjukkan betapa penting dan berharganya ilmu pengetahuan. Ia adalah perangkat yang memuliakan dan membuat manusia terhormat baik dihadapan Allah maupun manusia. Sebagai contoh , orang miskin yang berilmu akan lebih terhormat ketimbang orang kaya yang bodoh dan serakah

Dalam perjalanan kehidupan, ilmu pengetahuan telah mengambil peran besar dalam proses metamorfosis menjadikan manusia dari human being menjadi human becoming. Dari derajat manusia yang rendah ke derajat manusia yang lebih tinggi yakni insan kamil. Insan kamil inilah yang menyadari bahwa hidup adalah pembelajaran atau berpegang teguh pada sebuah selogan “belajar sampai mati!”

Dalam konteks kekinian telah muncul berbagai jenis lembaga dan intitusi-intitusi yang menjadi tempat bagi ummat manusia untuk menimba ilmu. Salah satu di antaranya adalah perguruan tinggi atau di kenal dengan universitas yang memiliki fungsi utama yakni berperang melawan kejumudan, ketertingalan, dan kebodohan. Ditempat inilah kemudian lahir individu-individu yang cerdas, kritis dan peka terhadap permasalahan dalam kehidupan manusia secara kolektif. Dengan kata lain disinilah tempat munculnya intelektual-intelektual yang merdeka yang tidak terpenjara pikirannya dengan doktrin-doktrin tertentu dan mindset yang sempit serta pola pikir yang pragmatis. Karena itu
merupakan hal yang naïf manakala motivasi dan kesadaran akan hal tersebut terhapus begitu saja dan tergantikan dengan mental budak yang sama sekali jauh dari “kemerdekaan”.

Berbicara tentang arti merdeka ini mengingatkan saya pada sebuah nasehat yang dijelaskan oleh seorang ulama , tentang tiga jenis ibadah yakni ibadah budak, ibadah buruh dan ibadahnya orang orang merdeka. Ibadah budak adalah ibadah yang dilakukan karena suruhan, ibadah para buruh adalah ibadahnya orang-orang yang mengharapkan imbalan berupa pahala. Sedangkan ibadah yang memiliki nilai tertinggi adalah ibadahnya orang-orang yang merdeka, mereka beribadah karena rasa cinta dan keikhlasan bukan karena imbalan apalagi perintah dan suruhan.

Berkaitan dengan hal ini, tidak ada salahnya jika menggunakan patron ini untuk mengukur seberapa merdekanya para intelektual di suatu tempat. Ketika ia belajar dan mempelajari berdasarkan perintah atau suruhan dosen, misalnya saja membaca hanya ketika dosen menyuruhnya membaca, ia menulis hanya ketika dosen menyuruhnya menulis, maka inilah yang disebut sebagai intelektual-intelektual yang masih bermental budak. Atau mungkin bisa saja mereka yang “hanya” terdorong dengan nilai atau skor A, B, C, atau D yang oleh sebagian pemikir menyebutnya simbol yang belum tentu jujur. Ketika nilai A diperoleh maka itulah akhir dari proses belajar. Sebagai contoh, seorang mahasiswa Bahasa Inggris yang berhenti belajar Writing setelah di akhir semester (Ujian Final) ia memperoleh nilai A.
Sangat disayangkan jika seandainya nilai A menjadi ending process untuk belajar lebih mendalam sementara di saat yang bersamaan, banyak tantangan dan kondisi yang membutuhkan sumber daya manusia yang handal dibidangnya. Bisa dibayangkan apa jadinya daerah ini jika untuk mengurus hal-hal yang pada dasarnya simple, harus mengimpor ahli dari tempat lain karena orang-orang di tempat sendiri sudah berhenti pada standar rendah yang mereka anggap tinggi. Tidak bisa dipungkiri jika ini adalah musibah yang tidak pantas kita syukuri.

Di sisi lain, tidak mustahil jika kondisi seperti ini menjadi motif munculnya credo “Lapangan kerja untuk kita semakin hari semakin sempit” seolah-olah anugerah yang diberikan Tuhan itu begitu sedikit dan terbatas. Data dari BPS menyebutkan bahwa jumlah pengangguran terdidik di Indonesia tahun 2001 berjumlah 8,1% (8 juta jiwa) kemudian meningkat menjadi 10,3% (10,9 juta jiwa) pada Februari 2005 (Kompas 9/9/05).

Selama “kemerdekaan” itu masih jauh, maka tidak mustahil jika kedepan jumlah pengangguran terdidik akan semakin meningkat dan berjamur bak jamur di musim hujan. Menjadi intelektual yang merdeka, yang tidak hanya menuntut ilmu berdasarkan musim atau cukup dari SD sampai Perguruan Tinggi dengan proses seadanya saja, menjadi kunci untuk perubahan. Konon, hidup adalah perjuangan menuju kemerdekaan dan “Learning Process is as old as human being” , usia belajar itu sama dengan usia manusia. Merdeka!

Tidak ada pengangguran, yang ada adalah ketidakmauan manusia untuk berusaha dan belajar lebih untuk mengolah rizki yang cukup yang telah dianugerahkan oleh Allah.

0 comments

Posting Komentar