Syekh Abdul Fatah dulu tinggal di kota ini. Ia adalah seorang ilmuan yang bijaksana dan arief. Tidak ada yang dilakukannya selain memperbaiki diri juga berusaha memperbaiki masyarakat yang kian bobrok. Mereka suka mabuk-mabukan, berbuat lagha, korupsi dan kemaksiatan lainnya. Syekh telah menjadi seorang pengikut Al-Ghazali yang percaya bahwa hidup adalah memberi sebanyak-banyaknya bukan sebaliknya. Dengan itu ia mengorbankan tenaga dan pikirannya demi cita-cita kemanusiaan yang luhur. Dengan membaca perjalanan hidup Jalaluddin Rumi, ia menjadi orang-orang yang percaya bahwa hidup adalah perbuatan dan mereka-mereka yang mencintai yang tak terlihat akan jauh lebih mulia ketimbang mereka yang mencintai yang terlihat. Hal ini pula yang melindunginya dari penuhanan dan penghambaan diri terhadap benda.
Lalu aku teringat jawaban ibu suatu hari ketika aku bertanya dengan polos,
“Ibu, menurut Ibu, manakah yang lebih mudah antara memelihara manusia dengan memelihara binatang?
Kata ibu waktu itu, Memelihara binatang lusinan kali lebih mudah ketimbang memelihara cucu Adam. Memelihara manusia adalah memelihara dua makhluk yang pertama ruh yang perlu dididik dan jasad yang perlu dirumahkan dalam tempat yang sebebas-bebasnya.
Aku pikir tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan Ibu. Jiwa manusia perlu dibimbing, pikirannya mesti tumbuh layaknya bunga tulip di taman yang subur. Dan perbuatannya harus mekar dan menyuburkan layaknya gemericik sugai yang membasahi ladang sehingga disana bisa tumbuh kehidupan yang baru dan memperbaharui. Bukan malah sebaliknya.
Dan seperti itulah yang dilakukan oleh Syech Abdul Fatah. Mempersiapkan pikiran yang terisi dengan ilmu pengetahuan sebagai amunisi dan hati yang terisi dengan iman sebagai benteng.
Sudah menjadi hal yang lazim, memulai yang baik selalu dihantam oleh yang hitam dan mengerikan juga tidak kalah menjijikkan. Prahara demi prahara menimpa layaknya tangan-tangan mungil bayi yang dihantap dengan palu godam. Cercaan demi cercaan dan hinaan tajam jelas memuncratkan darah di dada.
Bertahun-tahun berjalan di antara keramaian dengan keikhlasan dan kesabaran, lalu muncul sesuatu yang prosesnya luput dari alam sadar manusia.
Suatu keajaiban lahir. Penduduk Kota ini sedikit demi sedikit mulai tercerahkan. Mereka menang atas pertempuran melawan kebodohan dan itulah pertempuran termulia yang pernah ada. Lampu peradaban itu pun menyala seterang-terangnya sehingga bisa terlihat di belahan dunia manapun bahkan menyilaukan.
***
Namun sayang, itu terjadi jauh ratusan tahun yang lalu sebelum aku dilahirkan. Dan surat kabar yang kubaca hari ini bertuliskan “ Makam Syuhada Terbengkalai dan Tak Terurus” sementara makam Syech Abdul ada di sana. Tiba-tiba aku teringat bunyi sebuah slogan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya”. Huft.. alangkah kecilnya bangsa ini pikirku.
Kuseruput lagi kopi yang tinggal sedikit lalu bangkit dan kutinggalkan Kedai kopi remang-remang itu. Di jalanan terlihat banyak “mayat hidup” yang lalu lalang dalam kebingungan. Ada yang bercengkerama dan berhura-hura. Mereka adalah generasi yang bergembira atas luka peradaban yang memuncratkan darah yang amat amis. Namun itu sama sekali tak tercium di hidung mereka. Hal ini mendorongku untuk mendekati mereka dan bertanya,
“Apakah kalian mencium sesuatu?”
“Tidak!” Kata mereka di sela-sela tawa yang belum selesai.
“Atau hidungku saja yang tidak lagi normal?” Aku kembali bertanya.
“Iya, hidungmu memang tidak lagi normal. Dan bukan hanya itu, jiwa dan pikiranmu juga tidak lagi waras!!”
“hahahahaha…..” Mereka tertawa meriah dan semakin meriah.
Aku terdiam dan seperti Bom Waktu aku terkucilkan. Dan begitulah adanya, di mata orang-orang yang gila, kita akan selalu terlihat gila. Selamanya. . .
Lamnyoeng, 13 December 2010
0 comments
Posting Komentar