Sore itu cerah dan sedikit bergerimis. Di sebuah hutan raya, seekor anjing jantan bertemu dengan seekor kucing betina berbulu putih di bawah sebuah pohon besar. Mereka berteduh di sana agar bulu-bulu mereka tidak basah.
“Apa kabarmu wahai Kucing? Sudah lama aku tidak menyapa setelah pertengkaran kita yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad dan diketahui oleh setiap generasi. Dan bukankah sebuah hal yang indah manakala kita saling menyapa?”
Mendengar kalimat terakhir, si kucing merespon,
“Iya, namun tidak selamanya menyapa mengandung keindahan. Dimanakah letak keindahan jika dibalik itu tersimpan kemunafikan dan yang tersisa disana pada dasarnya hanya kebencian-kebencian yang selalu kita balut dengan senyuman-senyuman manis yang palsu saat kita bertemu. Dan setelah itu, kita kembali ke kawanan kita masing-masing dan saling menjelekkan. Kau dan aku sama saja. Sama-sama pengecut.”
Mendengar hal itu si Anjing terlihat seperti seorang pelawak yang leluconnya sama sekali tidak lucu. Hambar. Si Anjing ketawa kecil untuk menutupi kebodohannya seraya bertanya kembali,
“Hehe… lalu bagaimana kabarmu selama ini?”
Kucing menjawab,
“Akhir-akhir ini aku merasa tidak nyaman dan sangat malu dengan isi rimba lainnya. Aku malu dengan sikap kita yang sama sekali tidak dewasa. Saling bertengkar, memusuhi, mencaci dan lain sebagainya yang membuat rasa kebinatangan kita sama sekali tidak semulia rasa kemanusiaan. Aku sangat malu! Kemarin sudah pernah kuceritakan hal ini kepada manusia sebagai makhluk yang konon lebih mulia. Namun dibelakangku mereka dengan santai berkata, “Itu hanya malu-malu kucing”. Huft… aku benar-benar bingung bagaimana menyelesaikan ini” kucing mengeleng-gelengkan kepala setengah putus asa.
“Hehe. . . kau benar-benar bodoh! Siapa bilang mereka lebih mulia!” kata Anjing tanpa beban. “ Mereka sama saja sepertiku, tidak pernahkah kau mendengarkan mereka memanggil temannya dengan panggilanku. Woi,anjing, macam anjing, anak anjing kau! dan lain sebagainya. Mereka memanggil saudaranya sendiri dengan namaku dan bukankah hal itu menunjukkan bahwa kami sama? Atau paling tidak sederajat. Dalam beberapa hal, aku bahkan berpikir akulah yang lebih mulia. Cukup dengan diberikan sepotong tulang saja aku rela mengabdi dan menjadikan mereka tuan sekalipun mereka menganggap itu kebodohan namun aku bersabar dan tetap mengabdi dengan ikhlas. Namun lihatlah mereka, seberapa banyak yang mereka ambil bahkan mencuri dari bangsanya sendiri namun enggan mengabdi kepada kaumnya. Yang mereka tahu adalah bagaimana memperoleh sebanyak-banyaknya. Manusia itu rakus dan telah menjadi serigala bagi kaumnya sendiri.”
Anjing terus berceramah dengan berapi-api sementara kucing sambil menguap berkata dalam hati,
“Anjing mengonggong khalifah berlalu”
Dan kucing pun tertidur pulas.
Lingke, 17 Desember 2010
0 comments
Posting Komentar