Hidup adalah pilihan dan manusia telah dikarunia oleh Tuhan free will, yakni kebebasan untuk memilih mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk yang nantinya mereka akan mempertagungjawabkannya. Beruntunglah orang-orang yang memilih segala sesuatu berdasarkan kebutuhannya bukan keinginan semata.
Dalam kehidupan, manusia dihadapkan pula pada dua hal yang berkaitan erat dengan dirinya yakni memilih antara menjadi orang yang berpendidikan dan berpikir merdeka di sebuah institusi atau memilih untuk juga berada dalam institusi namun dalam keadaan yang penuh dengan keterkungkungan alam pikiran yang kerdil.
Sekitar setengah abad yang lalu dunia ini dikejutkan dengan thesis Ivan Illich, Seorang filosof kelahiran Wina tahun 1926. Ia memulainya dengan sebuah frase, “Deschooling Society”, melucuti sekolah dari masyarakat atau melepaskan masyarakat dari penjara yang bernama sekolah. Illich dipandang sebagai seorang pemikir yang sangat ekstreme karena dengan terang-terangan juga ikut menyebutkan “sekolah adalah candu yang lebih berbahaya dari pada nuklir”
Illich adalah seorang pemikir yang tidak memiliki “massa” namun dalam konteks Indonesia thesis ini layak dikaji dan diperbincangkan kembali. Meskipun tidak seekstreme dirinya yang mencoba menghapus sekolah, paling tidak kita mengkritisi apa yang menjadi ruh daripada sekolah / universitas yakni kurikulum.
Ketika kembali kepada hakikat dan pemaknaan kembali pendidikan, kita akan dihadapkan pada sebuah substansi yang memiliki makna positive. Pendidikan adalah memperbaiki manusia menjadi manusia yang berakhlakul karimah, mengembangkan keterampilan dan kapasitas juga menjadi medium memperbaiki dan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan yang menjadikan manusia makhluk yang utuh.
Untuk memenuhi dan mencapai tujuan ini kemudian lahir sekolah dan perguruan tinggi. Kita bisa memperhatikan sangat banyak jumlah sekolah di negeri ini. Namun kuantitas ini juga sama banyaknya dan berbanding lurus dengan jumlah patologi, ketimpangan dan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Bila kita mau merenungi bersama disana ada sesuatu. Ada missing link antara apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan apa yang sedang dipelajari di ruang formal empat kali empat. Sekolah dan Kurikulum kita menjadi impoten dan tidak mampu menyeselaikannya bahkan menggiring manusia untuk melupakan permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar demi tercapainya target kaku yang telah ditetapkan. Di saat jiwa generasi kita sedang gersang, yang mereka dapatkan bukanlah semacam pembasahan namun pemaksaan-pemaksaan agar mereka ikut serta berpartisipasi menyukseskan usaha pencapaian target belajar yang telah ditentukan pemerintah. Kita diharuskan mempelajari logaritma, aljabar dan lainnya di saat moral generasi yang sedang kacau balau. Walhasil, Salah satu konsekuensi yang muncul adalah lahirnya individu-individu apatis yang tidak memiliki kepekaan sosial dan kesadaran altruistik terhadap sesama.
Dalam diri manusia terdapat dua dimensi kodrati yang tak bisa dilepaskan berupa dimensi individual dan sosial. Di sinilah manusia mengemban tugas untuk menyeimbangkan antara hal-hal yang bersifat individualis dan juga yang bersifat sosial. Manakala salah satunya terkebiri, maka yang lainnya akan mejadi mala petaka bagi kemanusiaan. Dan hal unik yang ditawarkan oleh system dan kurikulum terhadap pelajar adalah perspektif kompetitif yang menjadikan setiap proses pembelajaran adalah persaingan. Orang-orang di sekeliling tergambarkan dalam mindset sebagai lawan yang harus dikalahkan. Dari sinilah sedikit demi sedikit alam bawah sadar kita terbentuk untuk menjadi pribadi-pribadi yang individualis. Kita menjadi orang yang begitu saja rela membiarkan saudara-saudara kita tertatih berjalan pincang asalkan kita mampu mendapatkan IPK 4. Kita digiring untuk membunuh kepekaan kita terhadap permasalahan-permasalahan yang dialami bangsa. Setiap generasi menjadi lupa dan tidak peduli terhadap apa yang sedang terjadi di dunia saat ini, apa yang terjadi di negerinya, apa yang terjadi di tempatnya bahkan ia tidak mengetahui apa yang sebenarnya dia cari dan butuhkan karena energi dan pemikirannya tidak terarah sebagaimana mestinya. Inovasi berpikir berjalan stagnan bahkan lumpuh. Mereka telah berjalan dalam kebingungan dan tidak tepat lagi membaca tanda-tanda zaman.
Kurikulum yang tersistem dalam sebuah sistem besar di negeri ini adalah ibarat lingkaran setan yang membuat para penghuninya terus menerus berputar-putar dalam kebingungan dan ketidakpastian. Para pelajar tidak lagi belajar karena adanya hasrat intelektual yang seharusnya dirangsang oleh kurikulum tetapi lebih cenderung karena pemaksaan-pemaksaan karena kurikulum menciptakan manusia-manusia pembeo yang mati daya kritis dan curiousity-nya dan akan dengan kejam menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Pelajar tergambarkan sebagai the oppressed (Orang yang ditindas) dan dosen menjadi Opressor (Orang yang menindas). Jika demikian, serentetan fase pendidikan mulai dari SD sampai Sarjana atau bahkan Doktor adalah sebuah metamorfosis dari the oppressed menjadi the oppressor.
Menurut filsafat pendidikan, manakala manusia mengalami salah didik, maka akan mengakibatkan pada kerusakan yang membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk memperbaikinya bahkan hampir tidak ada peluang untuk perbaikan. Ketidakberesan suatu generasi salah satunya adalah karena ketidakberesan kurikulum dalam sebuah system. Salah satu cara untuk memperbaiki system adalah dengan menggedornya dengan sebuah palu kultur baru. Kultur yang menghargai intelektual dan kemerdekaan berpikir. Bukankah bangsa yang maju itu adalah bangsa yang mau berpikir. Semoga kita adalah termasuk orang-orang yang mau berpikir dan merasa atau setidaknya berada dalam lingkarannya. Wallahualam..Wassalam..
Lingke, 05 Desember 2010
0 comments
Posting Komentar