-------

Jumat, 31 Desember 2010

si Gila Part II

Karena persahabatanku yang terlalu dekat dengan iblis, akhirnya sesuatu yang suci datang dan menuntunku ke sebuah tempat yang belum pernah kukunjungi sebelumnya. Konon, tempat itu dihuni oleh kebanyakan manusia-manusia penghuni surga. Karena berjalan kaki di tengah terik, bulir-bulir keringat jatuh bak hujan dari awan. Kebisingan jalan berpacu dengan kemacetan lalu lintas ada di sana-sini. Tanpa membutuhkan waktu berhari-hari akhirnya aku tiba di tempat itu.



Dari pintu gerbang terlihat luasnya halaman dan indahnya gedung. Pasti gedung ini dibangun oleh raja karena raja akhir-akhir ini lebih suka membangun yang terlihat saja ketimbang yang tak terlihat. Mereka lebih memperhatikan kekokohan sebuah gedung ketimbang kekokohan moral dan peradaban rakyatnya.



Di pintu gerbang terdapat sebuah tulisan. Mungkin ini adalah nama yang diberikan untuk gedung ini pikirku. Tulisan itu terbuat dari besi namun berwarna keemasan. Walau terkena pantulan sinar matahari, tulisan itu masih dapat kubaca,

RUMAH SAKIT JIWA

Ketika satpam penjaga pintu lalai, aku menerobos masuk ke dalam. Ada pemandangan aneh. Untuk pertama kalinya aku melihat seorang nenek tua yang menangis sambil mengendong sebuah boneka. Sesekali ditamparnya boneka itu. Aku semakin heran dan bertanya-tanya kira-kira seperti apakah masa lalu nenek ini sehingga nasib menuntunnya untuk bertingkah seperti ini. Karena hampir setiap perbuatan manusia di hari tua mencerminkan bagaimana masa mudanya. Ah… lebih baik kutinggalkan saja dia. Belum sempat kumelangkah, seorang pria paruh baya berlari ke arahku dalam keadaan telanjang. Dia berak di atas tangannya sendiri dan berteriak mengabarkan seisi tempat,

“Woi… ada orang gila datang… ada orang gila datang.. hahaha . . “

Dia lalu melempar kotorannya ke arahku. Untung saja aku bisa menghindar. Aku cepat-cepat berlari menjauh hingga memasuki ke dalam salah satu gedung yang ada di sana. Di dalamnya ada beberapa orang yang berpakaian sama. Mirip seperti sebuah asrama. Lalu aku masuk ke dalam gedung yang berdinding putih itu. Lantainya yang mengkilap juga berwarna putih. Masih ada beberapa cleaning service yang sedang membersihkannya. Aku terus berjalan hendak menaiki lantai II. Namun di tangga ada seorang pemuda belia yang terlihat pucat dan sangat kurus. Dia duduk saja dan seperti enggan berbicara. Aku mengatur nafas,



“Sudah lama tinggal di sini Bang?” Aku bertanya dengan sopan kusertai senyum termanis yang pernah kumiliki.

Dia mengangguk tanpa menoleh ke arahku. Pandangannya menunduk kaku seakan-akan tajam menembus inti bumi. Aku masih tetap berdiri di sana. Setelah beberapa menit, tiba-tiba ia tersenyum dan mencoba berbicara dengan suaranya yang agak parau setengah enerjik.

“Tahukah engkau wahai anak muda?” aku terperangah dengan kata itu (Anak Muda) karena jelas bahwa usiaku jauh lebih tua ketimbang dirinya. Namun aku memilih untuk kudengarkan saja celotehnya.

“Lihatlah negeri ini!” lanjutnya.

“Penyakit tumbuh di mana-mana. Setiap pasangan muda yang menikah, kebanyakan mereka didasari oleh hawa nafsu. Lalu mereka ikut melahirkan penyakit-penyakit baru yang lebih kuat daya serangnya. Perhatikan pulalah rakyat yang berlomba-lomba menyumpahi pemimpin mereka. para pemimpin juga sibuk memperkaya diri. Terkutuklah orang-orang yang menjadikan politik sebagai alat untuk mencari nafkah.” Ia mulai terlihat geram.

Aku masih mendengarkan apa yang dia katakan.

“Lihatlah di sana! Ada banyak gedung yang mereka namakan sekolah bahkan ada ribuan. Untuk MEMANUSIAKAN MANUSIA. Begitu kata mereka. Dan hari ini kukatakan padamu wahai anak muda,” Dia kembali menyebutku anak muda.

“Sekolah-sekolah itu lebih baik dibubarkan saja karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan” Dia terlihat semakin geram. Pandangannya masih kaku seolah-olah ingin meruntuhkan tembok di depannya. Aku semakin menemukan perbedaan yang jelas ada pada dirinya. Kucoba bertanya dengan nada yang lebih halus,

“Kenapa engkau mengatakan itu wahai anak muda?”

“Jangan panggil aku anak muda!!!” katanya tegas.

“pikiranku jauh lebih tua ketimbang pikiranmu!!” Lanjutnya.

“Kau masih saja seperti kebanyakan anak-anak di negeri ini. usia mereka memang sudah tua namun pikirannya masih sama seperti anak-anak yang suka bermain, bermain dan terus main-main hingga ajal tiba. Kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usianya tapi dari seberapa besar pikirannya. Dan Itulah kenapa kukatakan sekolah lebih baik dibubarkan saja. Baik sekolah maupun universitas, kebanyakannya sudah diperuntukkan untuk orang-orang yang kaya saja. Lihat si miskin di sana yang masih terus dililit erat oleh kebodohan-kebodohan. Dan kalaupun ada orang kaya yang mampu ke sekolah atau pernah ke sekolah, sikap dan otak kebanyakan mereka masih saja bebal dan amat enggan menggapai cita-cita kemanusiaan. Sekolah hanya berfungsi untuk memperkaya diri dan supaya dipandang terhormat oleh masyarakat padahal dibaliknya tersimpan kemunafikan-kemunafikan. Sikap individualistik dan bagaimana cara mendapatkan sesuatu sebanyak-banyaknya adalah hal yang diajarkannya. Mereka ke sekolah atau universitas untuk melindungi diri cengkeraman kemiskinan. Lalu siapakah akan melindungi mereka dari cengkeraman diri mereka sendiri? Percayalah padaku, tutuplah sekolah, matikan TV, berikan mereka buku, ajarkan mereka membaca dan tumbuhkan hasrat keilmuannya agar mereka tahu siapa dirinya sesungguhnya. Agar mereka tidak berjalan di muka bumi ini dengan kesombongan-kesombongan.”



Setelah mengatakan itu, dia lalu bangkit hendak menaiki tangga untuk menuju lantai II namun tangannya duluan dicegat oleh dua orang petugas rumah sakit yang berseragam putih.

“Ternyata dia perlu disetrum dan diberikan beberapa kali lagi suntikan tambahan“ Begitu kata petugas itu. Dan dia pun dibawa ke tempat yang tidak kuketahui.



Aku masih berdiri kaku tak dapat berkata apa-apa. Alam pikiranku seperti teraduk-aduk setelah sekian lama tertidur. Dengan perasaan iba bercampur galau kutinggalkan rumah sakit jiwa itu. Dekat pintu gerbang di luar pekarangan rumah sakit jiwa, kulihat lagi pemandangan lain. si Khalis, seorang bocah setengah telanjang, ia adalah tetanggaku yang ayahnya telah ditembak beberapa waktu lalu oleh “orang yang dikenal.” Ia sedang dengan neneknya yang setengah renta menengadahkan tangan meminta sesuap nasi. Namun puluhan mobil mewah yang lalu lalang di depannya terlihat seperti tak melihat apa-apa. Hati mereka tidak lagi terenyuh seperti dulu. Aku berkata dalam hati,

“Dunia yang ada di luar rumah sakit jiwa jauh lebih gila ketimbang dunia di dalam rumah sakit jiwa. Iya, lebih gila. . .”



Aku terus berjalan gamang hingga ada sesuatu yang datang dan aku pun hilang.



Kampong Keuramat, 14 Desember 2010

Sebuah Pertemuan Yang Tak Lazim

Sore itu cerah dan sedikit bergerimis. Di sebuah hutan raya, seekor anjing jantan bertemu dengan seekor kucing betina berbulu putih di bawah sebuah pohon besar. Mereka berteduh di sana agar bulu-bulu mereka tidak basah.



“Apa kabarmu wahai Kucing? Sudah lama aku tidak menyapa setelah pertengkaran kita yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad dan diketahui oleh setiap generasi. Dan bukankah sebuah hal yang indah manakala kita saling menyapa?”



Mendengar kalimat terakhir, si kucing merespon,



“Iya, namun tidak selamanya menyapa mengandung keindahan. Dimanakah letak keindahan jika dibalik itu tersimpan kemunafikan dan yang tersisa disana pada dasarnya hanya kebencian-kebencian yang selalu kita balut dengan senyuman-senyuman manis yang palsu saat kita bertemu. Dan setelah itu, kita kembali ke kawanan kita masing-masing dan saling menjelekkan. Kau dan aku sama saja. Sama-sama pengecut.”



Mendengar hal itu si Anjing terlihat seperti seorang pelawak yang leluconnya sama sekali tidak lucu. Hambar. Si Anjing ketawa kecil untuk menutupi kebodohannya seraya bertanya kembali,



“Hehe… lalu bagaimana kabarmu selama ini?”

Kucing menjawab,



“Akhir-akhir ini aku merasa tidak nyaman dan sangat malu dengan isi rimba lainnya. Aku malu dengan sikap kita yang sama sekali tidak dewasa. Saling bertengkar, memusuhi, mencaci dan lain sebagainya yang membuat rasa kebinatangan kita sama sekali tidak semulia rasa kemanusiaan. Aku sangat malu! Kemarin sudah pernah kuceritakan hal ini kepada manusia sebagai makhluk yang konon lebih mulia. Namun dibelakangku mereka dengan santai berkata, “Itu hanya malu-malu kucing”. Huft… aku benar-benar bingung bagaimana menyelesaikan ini” kucing mengeleng-gelengkan kepala setengah putus asa.



“Hehe. . . kau benar-benar bodoh! Siapa bilang mereka lebih mulia!” kata Anjing tanpa beban. “ Mereka sama saja sepertiku, tidak pernahkah kau mendengarkan mereka memanggil temannya dengan panggilanku. Woi,anjing, macam anjing, anak anjing kau! dan lain sebagainya. Mereka memanggil saudaranya sendiri dengan namaku dan bukankah hal itu menunjukkan bahwa kami sama? Atau paling tidak sederajat. Dalam beberapa hal, aku bahkan berpikir akulah yang lebih mulia. Cukup dengan diberikan sepotong tulang saja aku rela mengabdi dan menjadikan mereka tuan sekalipun mereka menganggap itu kebodohan namun aku bersabar dan tetap mengabdi dengan ikhlas. Namun lihatlah mereka, seberapa banyak yang mereka ambil bahkan mencuri dari bangsanya sendiri namun enggan mengabdi kepada kaumnya. Yang mereka tahu adalah bagaimana memperoleh sebanyak-banyaknya. Manusia itu rakus dan telah menjadi serigala bagi kaumnya sendiri.”



Anjing terus berceramah dengan berapi-api sementara kucing sambil menguap berkata dalam hati,



“Anjing mengonggong khalifah berlalu”

Dan kucing pun tertidur pulas.







Lingke, 17 Desember 2010

Wanita dan Kecantikan

Pada zaman dahulu kala, suasana agak berbeda. Salah satu perbedaannya terapat pada para wanita. Dulu, para wanita terlalu percaya diri sehingga merasa tidak perlu bersolek demi kecantikan.



“Aduhai , alangkah malangnya nasibku”



Begitu kata kecantikan pada suatu hari karena wanita telah memperlakukannya seperti anak tiri yang terkucilkan. Wanita bahkan tidak peduli karena bagi mereka dengan bersolek berarti mereka telah mengakui bahwa mereka jelek. Rasa percaya diri itu terus tumbuh ibarat bunga mawar yang memancarkan daya magis alami yang amat anggun. Disiram dengan ilmu pengetahuan dan dibakar dengan api kebijaksanaan yang membuat semuanya terlihat sangat indah.



Pada suatu hari, tanpa ada angin dan badai, rasa percaya diri beberapa orang di antara mereka menjadi layu. Hal ini bermula karena rasa iri mereka ketika melihat beberapa temannya terlihat lebih menarik di mata beberapa lelaki. Setelah kejadian itu mereka pun memutuskan untuk bersolek diri dan mulai tertarik untuk mengikuti sebuah perlombaan universal yakni berlomba-lomba untuk tampil menarik.



Begitulah ceritanya. Semenjak saat itu, wanita tidak bisa dipisahkan dari kecantikan layaknya kehidupan dengan kematian. Namun demikian, wanita adalah simbol kehormatan karena dalam dirinya ada seorang ibu.







Jambo Tape, 13 Desember 2010

si Gila

Syekh Abdul Fatah dulu tinggal di kota ini. Ia adalah seorang ilmuan yang bijaksana dan arief. Tidak ada yang dilakukannya selain memperbaiki diri juga berusaha memperbaiki masyarakat yang kian bobrok. Mereka suka mabuk-mabukan, berbuat lagha, korupsi dan kemaksiatan lainnya. Syekh telah menjadi seorang pengikut Al-Ghazali yang percaya bahwa hidup adalah memberi sebanyak-banyaknya bukan sebaliknya. Dengan itu ia mengorbankan tenaga dan pikirannya demi cita-cita kemanusiaan yang luhur. Dengan membaca perjalanan hidup Jalaluddin Rumi, ia menjadi orang-orang yang percaya bahwa hidup adalah perbuatan dan mereka-mereka yang mencintai yang tak terlihat akan jauh lebih mulia ketimbang mereka yang mencintai yang terlihat. Hal ini pula yang melindunginya dari penuhanan dan penghambaan diri terhadap benda.





Lalu aku teringat jawaban ibu suatu hari ketika aku bertanya dengan polos,

“Ibu, menurut Ibu, manakah yang lebih mudah antara memelihara manusia dengan memelihara binatang?

Kata ibu waktu itu, Memelihara binatang lusinan kali lebih mudah ketimbang memelihara cucu Adam. Memelihara manusia adalah memelihara dua makhluk yang pertama ruh yang perlu dididik dan jasad yang perlu dirumahkan dalam tempat yang sebebas-bebasnya.





Aku pikir tidak ada yang salah dengan apa yang dikatakan Ibu. Jiwa manusia perlu dibimbing, pikirannya mesti tumbuh layaknya bunga tulip di taman yang subur. Dan perbuatannya harus mekar dan menyuburkan layaknya gemericik sugai yang membasahi ladang sehingga disana bisa tumbuh kehidupan yang baru dan memperbaharui. Bukan malah sebaliknya.





Dan seperti itulah yang dilakukan oleh Syech Abdul Fatah. Mempersiapkan pikiran yang terisi dengan ilmu pengetahuan sebagai amunisi dan hati yang terisi dengan iman sebagai benteng.

Sudah menjadi hal yang lazim, memulai yang baik selalu dihantam oleh yang hitam dan mengerikan juga tidak kalah menjijikkan. Prahara demi prahara menimpa layaknya tangan-tangan mungil bayi yang dihantap dengan palu godam. Cercaan demi cercaan dan hinaan tajam jelas memuncratkan darah di dada.



Bertahun-tahun berjalan di antara keramaian dengan keikhlasan dan kesabaran, lalu muncul sesuatu yang prosesnya luput dari alam sadar manusia.

Suatu keajaiban lahir. Penduduk Kota ini sedikit demi sedikit mulai tercerahkan. Mereka menang atas pertempuran melawan kebodohan dan itulah pertempuran termulia yang pernah ada. Lampu peradaban itu pun menyala seterang-terangnya sehingga bisa terlihat di belahan dunia manapun bahkan menyilaukan.



***



Namun sayang, itu terjadi jauh ratusan tahun yang lalu sebelum aku dilahirkan. Dan surat kabar yang kubaca hari ini bertuliskan “ Makam Syuhada Terbengkalai dan Tak Terurus” sementara makam Syech Abdul ada di sana. Tiba-tiba aku teringat bunyi sebuah slogan, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya”. Huft.. alangkah kecilnya bangsa ini pikirku.



Kuseruput lagi kopi yang tinggal sedikit lalu bangkit dan kutinggalkan Kedai kopi remang-remang itu. Di jalanan terlihat banyak “mayat hidup” yang lalu lalang dalam kebingungan. Ada yang bercengkerama dan berhura-hura. Mereka adalah generasi yang bergembira atas luka peradaban yang memuncratkan darah yang amat amis. Namun itu sama sekali tak tercium di hidung mereka. Hal ini mendorongku untuk mendekati mereka dan bertanya,



“Apakah kalian mencium sesuatu?”

“Tidak!” Kata mereka di sela-sela tawa yang belum selesai.

“Atau hidungku saja yang tidak lagi normal?” Aku kembali bertanya.

“Iya, hidungmu memang tidak lagi normal. Dan bukan hanya itu, jiwa dan pikiranmu juga tidak lagi waras!!”

“hahahahaha…..” Mereka tertawa meriah dan semakin meriah.



Aku terdiam dan seperti Bom Waktu aku terkucilkan. Dan begitulah adanya, di mata orang-orang yang gila, kita akan selalu terlihat gila. Selamanya. . .



Lamnyoeng, 13 December 2010

Kurikulum dan Kemerdekaan Berpikir

Hidup adalah pilihan dan manusia telah dikarunia oleh Tuhan free will, yakni kebebasan untuk memilih mana yang lebih baik dan mana yang lebih buruk yang nantinya mereka akan mempertagungjawabkannya. Beruntunglah orang-orang yang memilih segala sesuatu berdasarkan kebutuhannya bukan keinginan semata.



Dalam kehidupan, manusia dihadapkan pula pada dua hal yang berkaitan erat dengan dirinya yakni memilih antara menjadi orang yang berpendidikan dan berpikir merdeka di sebuah institusi atau memilih untuk juga berada dalam institusi namun dalam keadaan yang penuh dengan keterkungkungan alam pikiran yang kerdil.



Sekitar setengah abad yang lalu dunia ini dikejutkan dengan thesis Ivan Illich, Seorang filosof kelahiran Wina tahun 1926. Ia memulainya dengan sebuah frase, “Deschooling Society”, melucuti sekolah dari masyarakat atau melepaskan masyarakat dari penjara yang bernama sekolah. Illich dipandang sebagai seorang pemikir yang sangat ekstreme karena dengan terang-terangan juga ikut menyebutkan “sekolah adalah candu yang lebih berbahaya dari pada nuklir”



Illich adalah seorang pemikir yang tidak memiliki “massa” namun dalam konteks Indonesia thesis ini layak dikaji dan diperbincangkan kembali. Meskipun tidak seekstreme dirinya yang mencoba menghapus sekolah, paling tidak kita mengkritisi apa yang menjadi ruh daripada sekolah / universitas yakni kurikulum.



Ketika kembali kepada hakikat dan pemaknaan kembali pendidikan, kita akan dihadapkan pada sebuah substansi yang memiliki makna positive. Pendidikan adalah memperbaiki manusia menjadi manusia yang berakhlakul karimah, mengembangkan keterampilan dan kapasitas juga menjadi medium memperbaiki dan memperkaya diri dengan ilmu pengetahuan yang menjadikan manusia makhluk yang utuh.



Untuk memenuhi dan mencapai tujuan ini kemudian lahir sekolah dan perguruan tinggi. Kita bisa memperhatikan sangat banyak jumlah sekolah di negeri ini. Namun kuantitas ini juga sama banyaknya dan berbanding lurus dengan jumlah patologi, ketimpangan dan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.



Bila kita mau merenungi bersama disana ada sesuatu. Ada missing link antara apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dengan apa yang sedang dipelajari di ruang formal empat kali empat. Sekolah dan Kurikulum kita menjadi impoten dan tidak mampu menyeselaikannya bahkan menggiring manusia untuk melupakan permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar demi tercapainya target kaku yang telah ditetapkan. Di saat jiwa generasi kita sedang gersang, yang mereka dapatkan bukanlah semacam pembasahan namun pemaksaan-pemaksaan agar mereka ikut serta berpartisipasi menyukseskan usaha pencapaian target belajar yang telah ditentukan pemerintah. Kita diharuskan mempelajari logaritma, aljabar dan lainnya di saat moral generasi yang sedang kacau balau. Walhasil, Salah satu konsekuensi yang muncul adalah lahirnya individu-individu apatis yang tidak memiliki kepekaan sosial dan kesadaran altruistik terhadap sesama.



Dalam diri manusia terdapat dua dimensi kodrati yang tak bisa dilepaskan berupa dimensi individual dan sosial. Di sinilah manusia mengemban tugas untuk menyeimbangkan antara hal-hal yang bersifat individualis dan juga yang bersifat sosial. Manakala salah satunya terkebiri, maka yang lainnya akan mejadi mala petaka bagi kemanusiaan. Dan hal unik yang ditawarkan oleh system dan kurikulum terhadap pelajar adalah perspektif kompetitif yang menjadikan setiap proses pembelajaran adalah persaingan. Orang-orang di sekeliling tergambarkan dalam mindset sebagai lawan yang harus dikalahkan. Dari sinilah sedikit demi sedikit alam bawah sadar kita terbentuk untuk menjadi pribadi-pribadi yang individualis. Kita menjadi orang yang begitu saja rela membiarkan saudara-saudara kita tertatih berjalan pincang asalkan kita mampu mendapatkan IPK 4. Kita digiring untuk membunuh kepekaan kita terhadap permasalahan-permasalahan yang dialami bangsa. Setiap generasi menjadi lupa dan tidak peduli terhadap apa yang sedang terjadi di dunia saat ini, apa yang terjadi di negerinya, apa yang terjadi di tempatnya bahkan ia tidak mengetahui apa yang sebenarnya dia cari dan butuhkan karena energi dan pemikirannya tidak terarah sebagaimana mestinya. Inovasi berpikir berjalan stagnan bahkan lumpuh. Mereka telah berjalan dalam kebingungan dan tidak tepat lagi membaca tanda-tanda zaman.



Kurikulum yang tersistem dalam sebuah sistem besar di negeri ini adalah ibarat lingkaran setan yang membuat para penghuninya terus menerus berputar-putar dalam kebingungan dan ketidakpastian. Para pelajar tidak lagi belajar karena adanya hasrat intelektual yang seharusnya dirangsang oleh kurikulum tetapi lebih cenderung karena pemaksaan-pemaksaan karena kurikulum menciptakan manusia-manusia pembeo yang mati daya kritis dan curiousity-nya dan akan dengan kejam menyingkirkan orang-orang yang tidak setuju dengan pandangannya. Pelajar tergambarkan sebagai the oppressed (Orang yang ditindas) dan dosen menjadi Opressor (Orang yang menindas). Jika demikian, serentetan fase pendidikan mulai dari SD sampai Sarjana atau bahkan Doktor adalah sebuah metamorfosis dari the oppressed menjadi the oppressor.



Menurut filsafat pendidikan, manakala manusia mengalami salah didik, maka akan mengakibatkan pada kerusakan yang membutuhkan waktu berpuluh-puluh tahun untuk memperbaikinya bahkan hampir tidak ada peluang untuk perbaikan. Ketidakberesan suatu generasi salah satunya adalah karena ketidakberesan kurikulum dalam sebuah system. Salah satu cara untuk memperbaiki system adalah dengan menggedornya dengan sebuah palu kultur baru. Kultur yang menghargai intelektual dan kemerdekaan berpikir. Bukankah bangsa yang maju itu adalah bangsa yang mau berpikir. Semoga kita adalah termasuk orang-orang yang mau berpikir dan merasa atau setidaknya berada dalam lingkarannya. Wallahualam..Wassalam..





Lingke, 05 Desember 2010



Minggu, 05 Desember 2010

Menjadi Intelektual yang Merdeka

Dalam Al-Quran disebutkan bahwa orang-orang yang berilmu akan ditinggikan oleh Allah beberapa derajat; bahkan derajat orang yang berilmu jauh lebih tinggi dari orang-orang yang beribadah. Hal ini juga menunjukkan betapa penting dan berharganya ilmu pengetahuan. Ia adalah perangkat yang memuliakan dan membuat manusia terhormat baik dihadapan Allah maupun manusia. Sebagai contoh , orang miskin yang berilmu akan lebih terhormat ketimbang orang kaya yang bodoh dan serakah

Dalam perjalanan kehidupan, ilmu pengetahuan telah mengambil peran besar dalam proses metamorfosis menjadikan manusia dari human being menjadi human becoming. Dari derajat manusia yang rendah ke derajat manusia yang lebih tinggi yakni insan kamil. Insan kamil inilah yang menyadari bahwa hidup adalah pembelajaran atau berpegang teguh pada sebuah selogan “belajar sampai mati!”

Dalam konteks kekinian telah muncul berbagai jenis lembaga dan intitusi-intitusi yang menjadi tempat bagi ummat manusia untuk menimba ilmu. Salah satu di antaranya adalah perguruan tinggi atau di kenal dengan universitas yang memiliki fungsi utama yakni berperang melawan kejumudan, ketertingalan, dan kebodohan. Ditempat inilah kemudian lahir individu-individu yang cerdas, kritis dan peka terhadap permasalahan dalam kehidupan manusia secara kolektif. Dengan kata lain disinilah tempat munculnya intelektual-intelektual yang merdeka yang tidak terpenjara pikirannya dengan doktrin-doktrin tertentu dan mindset yang sempit serta pola pikir yang pragmatis. Karena itu
merupakan hal yang naïf manakala motivasi dan kesadaran akan hal tersebut terhapus begitu saja dan tergantikan dengan mental budak yang sama sekali jauh dari “kemerdekaan”.

Berbicara tentang arti merdeka ini mengingatkan saya pada sebuah nasehat yang dijelaskan oleh seorang ulama , tentang tiga jenis ibadah yakni ibadah budak, ibadah buruh dan ibadahnya orang orang merdeka. Ibadah budak adalah ibadah yang dilakukan karena suruhan, ibadah para buruh adalah ibadahnya orang-orang yang mengharapkan imbalan berupa pahala. Sedangkan ibadah yang memiliki nilai tertinggi adalah ibadahnya orang-orang yang merdeka, mereka beribadah karena rasa cinta dan keikhlasan bukan karena imbalan apalagi perintah dan suruhan.

Berkaitan dengan hal ini, tidak ada salahnya jika menggunakan patron ini untuk mengukur seberapa merdekanya para intelektual di suatu tempat. Ketika ia belajar dan mempelajari berdasarkan perintah atau suruhan dosen, misalnya saja membaca hanya ketika dosen menyuruhnya membaca, ia menulis hanya ketika dosen menyuruhnya menulis, maka inilah yang disebut sebagai intelektual-intelektual yang masih bermental budak. Atau mungkin bisa saja mereka yang “hanya” terdorong dengan nilai atau skor A, B, C, atau D yang oleh sebagian pemikir menyebutnya simbol yang belum tentu jujur. Ketika nilai A diperoleh maka itulah akhir dari proses belajar. Sebagai contoh, seorang mahasiswa Bahasa Inggris yang berhenti belajar Writing setelah di akhir semester (Ujian Final) ia memperoleh nilai A.
Sangat disayangkan jika seandainya nilai A menjadi ending process untuk belajar lebih mendalam sementara di saat yang bersamaan, banyak tantangan dan kondisi yang membutuhkan sumber daya manusia yang handal dibidangnya. Bisa dibayangkan apa jadinya daerah ini jika untuk mengurus hal-hal yang pada dasarnya simple, harus mengimpor ahli dari tempat lain karena orang-orang di tempat sendiri sudah berhenti pada standar rendah yang mereka anggap tinggi. Tidak bisa dipungkiri jika ini adalah musibah yang tidak pantas kita syukuri.

Di sisi lain, tidak mustahil jika kondisi seperti ini menjadi motif munculnya credo “Lapangan kerja untuk kita semakin hari semakin sempit” seolah-olah anugerah yang diberikan Tuhan itu begitu sedikit dan terbatas. Data dari BPS menyebutkan bahwa jumlah pengangguran terdidik di Indonesia tahun 2001 berjumlah 8,1% (8 juta jiwa) kemudian meningkat menjadi 10,3% (10,9 juta jiwa) pada Februari 2005 (Kompas 9/9/05).

Selama “kemerdekaan” itu masih jauh, maka tidak mustahil jika kedepan jumlah pengangguran terdidik akan semakin meningkat dan berjamur bak jamur di musim hujan. Menjadi intelektual yang merdeka, yang tidak hanya menuntut ilmu berdasarkan musim atau cukup dari SD sampai Perguruan Tinggi dengan proses seadanya saja, menjadi kunci untuk perubahan. Konon, hidup adalah perjuangan menuju kemerdekaan dan “Learning Process is as old as human being” , usia belajar itu sama dengan usia manusia. Merdeka!

Tidak ada pengangguran, yang ada adalah ketidakmauan manusia untuk berusaha dan belajar lebih untuk mengolah rizki yang cukup yang telah dianugerahkan oleh Allah.