-------

Kamis, 24 Mei 2012

Berpikir dan Bersikap Positif

Adakalanya kita merasa iri pada orang-orang yang memiliki kemampuan lebih. Muncul keinginan dalam diri untuk bisa melakukan hal yang sama. Karena itu kita bekerja keras dengan harapan mampu mengimbangi dan menyaingi mereka. Lalu ketika target tersebut tidak dapat dicapai, muncul kegelisahan dalam diri. Bahkan pada tingkat paling parah, diserang penyakit rendah diri. 

Secara tidak sadar kita kerap memberi sugesti pada diri sendiri. Karena belum mampu melakukan sesuatu, bisa jadi kita menganggap diri bodoh, tidak unggul, dan sebagainya. Pikiran yang digelayuti keputusan negatif seperti ini tidak akan mampu melahirkan sesuatu yang bermakna. Bisa dikatakan pohon-pohon ide yang semestinya bisa bercabang dan menjadi tempat berteduh menjadi mati tiba-tiba. 

Memang suatu hal lumrah ketika kita dapati orang dengan banyak kelebihan. Bukan suatu yang mustahil lahir pula kecenderungan membanding-bandingkan diri dengan mereka. Namun jika itu kemudian memicu rasa inferior alias rendah diri, maka lebih baik tidak usah dilakukan. Ketika dilanda penyakit inferior, semangat dan motivasi akan hilang. Begitu pula dengan ide-ide dan kreatifitas yang berkembang dalam pikiran. 

Setiap kita memiliki jalan sendiri dan kelebihan masing-masing, “everyone is good at something”. Berjanjilah  untuk berhenti membandingkan kekurangan diri dengan kelebihan orang lain. Berjanjilah untuk terus berusaha membangkitkan pikiran, emosi, dan sikap positif agar kelak impian menjadi kejutan. []

Jumat, 18 Mei 2012

Sihir

Sudah tiga hari Rio, anakmu, tidak di rumah. Ia ingin tinggal di rumah neneknya selama seminggu.

“Adek mau belajar sihir sama nenek” katanya sehari sebelum di antar suamimu.

Kau tersenyum dan mengelengkan kepala. Kau tahu ia itu hanya khayalannya saja. Bisa jadi karena ia kebanyakan menonton film-film aneh semisal Harry Potter. Lagi pula, tak mungkin wanita setaat mertuamu itu punya sihir. Setiap kali datang ke rumahnya, kau selalu lihat ibu dari suamimu itu shalat tepat waktu dan lengkap dengan shalat sunatnya. 

Rumah semakin sepi saja tanpa Rio. Biasanya bocahmu itu selalu menceracau atau pun duduk kusyuk di depan layar televisi sambil bermain Playstation. Namun begitu, tanpa kehadirannya kau merasa lebih leluasa dengan suamimu. Kau bisa melakukan ekpedisi rutin di mana saja. Di kamar, ruang tamu, kamar mandi, dan tanpa harus menunggu anakmu terlelap dulu. 

Di luar masih gelap. Kau mendengar suara ayam berkokok. Seperti biasa kau bangun menuju kamar mandi kemudian ke dapur. Kau mengambil pisau dan mulai mengiris bawang untuk memasak. 

“Maak..” tiba-tiba kau mendengar suara anakmu

“Maak…” dia mengetuk pintu. Kau tergopoh menuju pintu depan. Di sana sudah berdiri anakmu. Ia memakai seragam sekolah, celana merah dan baju putih. Ia tersenyum dan kau memeluknya.

“Ma, aku sudah bisa sihir!” 

“Oya?” kau tersenyum. “Coba lakukan sesuatu dengan sihirmu”

Anakmu memasukkan telunjuknya dalam mulut kemudian dengan sigap mengarahkannya ke wajahmu. Kau terkejut dan mengerang ketika mendapati mata kirimu membesar tiba-tiba lalu meletus mengeluarkan darah. Tak lama kemudian, ia menunjukkan lagi telunjuknya itu. Kali ini mata kananmu yang hilang. Kau meraung-raung di atas lantai sambil menahan rasa sakit. Anakmu tertawa.

Di kamar, suamimu terbangun dari tidur. Handphonenya berdering. Ia mengangkatnya. Di seberang mertuamu berbicara padanya, 

“Bola mata Rio pecah. Kumohon segeralah kemari”.

“Apa?!” suamimu terkejut.

Sementara kau masih meraung-raung di atas ranjang.

“Ma, bangun…Ma..."

Kau terjaga. Bulir-bulir keringat membasahai keningmu.

“Anak kita sakit” kata suamimu. “Kita harus menjemputnya sekarang”

Kau merasa gamang seperti berada di antara dua alam yang berbeda. Kau perlu waktu beberapa detik untuk tahu bahwa kau baru saja mengalami mimpi buruk. Kau mengehela nafas dan mengikat rambut panjangmu yang tergerai hingga ke punggung.

Setelah membasuh muka, kau mengunci pintu rumah. Di luar masih gelap. Sesekali terdengar kokok ayam. Sandal yang kau pakai terasa basah karena embun. Kau membuka pintu mobil. Wajah suamimu tampak cemas. Ia langsung menekan pedal dan mobil melaju. Lebih cepat dari biasanya.

***

Baru di pintu pagar rumah mertuamu, kau sudah mendengar suara Rio meraung. Kau dan suamimu mempercepat langkah. Pintu depan rumah tak ditutup. Di sana ada beberapa tetangga berdiri. raut wajah mereka menunjukkan simpati. Kau langsung menuju kamar. Rio tampak meronta-ronta. Ibu mertuamu duduk di sampingnya. Wajahnya cemas bercampur takut. Tanpa menunggu lebih lama kau memeluk anakmu itu.
“Ma, nenek menyihirku”

Kau terhenyak dan nafasmu tercekat.

“Lupakan sihir-sihir itu. Kita harus ke rumah sakit sekarang” kata suamimu. Kau langsung bangkit menuju mobil. Baru beberapa langkah kau berjalan, kau melihat ke belakang menatap wajah ibu mertuamu. Pada raut yang kian menua itu, kau tidak bisa menerjemahkan apakah ia sedang takut ataukah merisaukan anakmu. 

***

“Ibumu penyihir” setiap kali terbayang wajah Rio, kau selalu mencerca suamimu dengan kata-kata itu. Semenjak kejadian itu, kau tidak pernah terpikir untuk mengunjungi mertuamu lagi. Dan pada sore kemarin, untuk terakhir kalinya kau bisa mengatakan “kau anak seorang penyihir” untuk suamimu. Setelah kehilangan Rio, kau pun kehilangan suamimu. Ia mati di sebuah diskotik setelah menelan segenggam obat penenang.

Mahal

"Di matamu atau di benakmu kau mungkin merasa diri mahal, mahal sekali. Kau mungkin tidak tahu ketika menganggap diri begitu, kau justru terlihat murah bahkan murahan."

Banta berhenti sejenak dan menyesap kopi yang tinggal separuh. Asap rokok mengepul dan menggerayangi wajah tirusnya. Ada banyak sekali yang ingin ditulis untuk perempuan itu. Ia ingin menumpahkan segala perasaannya di atas kertas. Karena ia telah membuat keputusan bahwa harga diri itu jauh lebih berharga ketimbang kemolekan-kemolekan yang tak berapa lama itu. 

"Di matamu aku mungkin hanya daun kering yang lebih layak dibakar atau dibiarkan membusuk di tanah, alih-alih untuk singgah di pelataran hatimu".

Lelaki itu menghela nafas. Malam telah larut. Semua lampu rumah sudah dimatikan kecuali sebatang lilin yang masih menyala di atas meja. Cahayanya menerpa wajah Banta dan membentuk siluet pada pada dinding kamar. 

Beberapa menit yang lalu, di dinding itu masih terpampang foto Halimah lengkap dengan seulas senyum manis. Namun di mata Banta, wajah itu kini lebih hina dari wajah perempuan malam yang mengumbar birahi di tengah malam buta. Itulah sebabnya dibiarkan foto itu dilahap lilin hingga jadi abu. 

"Kelak kecantikanmu yang dengannya kau menyombongkan diri, juga akan sirna seperti ini, Halimah" kata Banta dalam hati. Gigi gerahamnya beradu dan rahangnya berdenyut.[]

Rabu, 09 Mei 2012

Menulis Cerpen


Beberapa hari ini saya belajar sesuatu yang baru mengenai cerpen. Memang kebanyakan orang terutama di Indonesia, menganggap cerpen itu hanyalah sebuah karangan yang berisi khayalan-khayalan. Mungkin saja itu ada benarnya. Saya menduga orang-orang berasumsi demikian karena mereka membaca banyak cerpen tentang pengalaman pribadi atau orang lain, atau pun murni khayalan. Akan tetapi dalam khayalan itu tidak ada inti sari atau pesan tersirat kuat yang ditinggalkan di hati pembaca. 

Setelah membaca beberapa cerpen di koran-koran nasional, saya berkesimpulan bahwa cerpen itu sangat mahal harganya. Bagi saya menulis cerpen itu ratusan kali lebih sulit ketimbang menulis artikel semisal opini, skripsi dan beberapa jenis tulisan ilmiah lainnya. Ketika menulis cerpen, kita menciptakan dunia kita sendiri tanpa ada intervensi siapa pun. Nah, karena fiksi itu adalah membuat pembaca menemukan kebenaran dalam sebuah ‘kebohongan’, ada beberapa hal yang dituntut. Yang pertama adalah logis atau tidak sebuah kisah yang kita tulis. Kemudian membentuk karakter dalam tulisan. Bagaimanakah kita akan menggambarkan jika seseorang itu ramah, baik hati, kejam dan lain sebagainya. Kemudian narasi, bagaimana kita menggerakkan si tokoh dari satu scene ke scene yang lain sambil tetap menjaga agar kisah berjalan mulus. Selain ada pula hal lain yang mendukung yaitu deskripsi dan dialog. 

Bagi saya pribadi, bagian yang paling sulit itu adalah deskripsi. Yaitu bagaimana kita menggambarkan sesuatu dan membuat pembaca benar-benar melihat gambaran itu dalam imajinasi mereka. Misalnya kita menggambarkan kota Paris berikut dengan Menara Eiffelnya. Wah, saya benar-benar harus menghela nafas. Kalau kata Stephen King, jika kau sudah mampu membuat deskripsi yang baik, maka baru kau pantas dibayar mahal atas tulisan-tulisanmu. 

Begitu juga dengan dialog. Dialog tidak hanya semata-mata membuat karakter-karakter dalam tulisan kita tampak hidup, tapi dialog juga harus berperan menggerakkan cerita dengan memberikan informasi tersirat kepada pemabaca. Saya biasanya belajar ini di film. Setiap ada perkapan dalam film, saya perhatikan betul. Dan seperti yang saya katakan, rata-rata dari dialog-dialog yang saya pelajari dari film, saya menyimpulkan bahwa dialog dibuat se-logis mungkin, tidak kobong dan memainkan peran yakni memberi informasi yang menjadi bagian penting dari film kepada penonton. 

Kembali kepada cerpen. Setelah duduk-duduk dan berdiskusi dengan beberapa penulis muda yang sudah mengirip puluhan bahkan ratusan tulisan ke media, saya menyimpulkan bahwa sebuah cerpen itu semestinya memiliki nilai lain selain dari cerita itu sendiri. Misalnya ia ikut pula menjelaskan bagaimana budaya dan kearifan lokal di suatu tempat. Sebuah cerpen yang ideal tidak hanya memiliki deskripsi, narasi dan dialog yang bagus, tetapi secara substansi ia memainkan peran lain seperti kritik sosial, nasihat, dan lain sebagainya. Semalam (9/0512), seorang teman yang kini bekerja di sebuah media malah terang-terangan mengatakan bahwa di media tempat dia bekerja, cerpen-cerpen bertema ‘merah jambu’ tidak lagi diminati oleh redaktur. Dengan kata lain, berpeluang besar untuk tidak dimuat. Singkat kata, menulis cerpen itu tidak enteng dan cerpen bukanlah seperti anggapan selama ini, sebuah dongeng atau khayalan yang tidak bermanfaat. Bagi saya pribadi, cerpen itu adalah seni menelanjangi orang lain dan bahkan diri sendiri dengan cara elegan agar bisa berubah menjadi lebih baik.[]

Selasa, 08 Mei 2012

Standar


"Lima tahun kuliah di TEN dengan nilai TOEFL 550, itu kurang ajar.” Aku memaki diri sendiri. 

“Semestinya, selaku mahasiswa Bahasa Inggris, aku sudah mencapai nilai 620, minimal! Tapi karena masih saja kurang ajar, maka yang kudapat hanya sebanyak itu saja. Padahal kalau aku mau, aku bisa mendapatkan jauh lebih dari itu." 

Untuk kesekian kalinya aku menyesap kopi yang tinggal separuh. Di sampingku seorang gadis cantik menatapku serius. Matanya sedikit terbelalak. Bibir merahnya seperti beku. Kupikir baru kali ini ia mendengar pernyataan seperti ini. Aku berhenti sejenak. Ia menyungging senyum tipis. 


“Dua tahun yang lalu aku ke Jakarta untuk mengikuti TOEFL Ibt untuk persyaratan pertukaran pelajar ke Amerika. Dan di sana, aku bertemu dengan seorang pemuda asal Padang, Sumetara Barat. Dia sedang kuliah di jurusan Manajemen Universitas Indonesia. Dan yang mengejutkan adalah nilai TOEFL Ibt-nya jauh lebih tinggi dari punyaku. Bukankah itu memalukan? Bayangkan aku yang berkuliah di jurusan bahasa inggris hanya memperoleh nilai toefl ibt 77 dan ITP 553. Seandainya waktu itu adalah kompetisi toefl, total aku telah mempermalukan almamaterku” 


Aku berhenti sejenak ketika seorang pelayan mendekat dan menanyakan menu apa yang dipesan si Gadis. Ia baru saja datang, menemuiku untuk meminjam buku TOEFL. Aku tidak menanyakan untuk apa. Dia baru saja menjadi sarjana di jurusan bahasa Arab. Kupikir ia mau mengikuti tes beasiswa S-2 ke luar negeri karena Pemda baru saja membuka pendaftaran untuk tahun ini. 


Sebenarnya ada sesuatu yang agak janggal. Setidaknya menurutku. Batas akhir pendaftaran adalah akhir bulan ini. Beberapa temanku yang lain juga menelpon menanyakan tentang TOEFL. Ada yang menyuruhku membeli buku toefl yang bagus untuknya, ada yang meminta diajarkan toefl secara private. Menurutku ini sama seperti mencari payung yang hilang atau yang tak pernah dibeli saat hujan sedang turun lebat. Seorang teman lain malah dengan ekstreme meminta sertifikat TOEFL-ku untuk di-scan karena dia tak mengerti toefl. Dia ingin mengantikan namaku dengan namanya. Sayangnya dia tidak beruntung karena seritifikat TOEFL yang 550 itu tidak kubawa ke Banda. Kertas keramat itu masih tersimpan rapi dalam lemari di kampung halaman. 


Aku pribadi sebenarnya percaya bahwa jika teman-temanku itu tidak bodoh. Jika mereka mau berusaha, mendapat nilai 600 bukanlah suatu hal yang mustahil. Hanya perlu sedikit usaha dan fokus. Dan tidak tersadar di saat ujung yang santing begini. 


“Saya tidak pesan apa-apa, Bang. Saya hanya sebentar” Gadis cantik di sampingku menolak halus. Si pelayan melempar senyum dan berlalu ke meja lain. Aku melanjutkan ceramah, 


“Sebenarnya kuliah di tempat ini kita sangat santai bahkan terlampau santai. Seperti kata dosenku yang baru tamat S-2 di Inggris, mahasiswa kita, saat sedang kuliah masih saja punya waktu untuk bersantai, bermain, ber-online atau mencari uang. Kalau di sana, kuliah betul-betul serius dan menguras tenaga. Maka wajar saja bagaimana kualitas sarjana yang kita miliki sekarang. Mental seperti apa yang mereka miliki. Alih-alih menjadi seorang yang idealis atau ideologis, malah mereka menjadi sang oportunis. Mencari-cari informasi tes PNS seolah pintu kehidupan hanya ada di sana. Bahkan ada yang rela menyogok. Itu kan lucu! Masa mantan mahasiswa, seorang intelektual, tidak bisa berpikir rasional. Sogok menyogok itu tidak rasional!” Suaraku naik beberapa oktaf. Aku yakin dua orang bapak-bapak yang duduk dibelakangku mendengar. Tapi sengaja kulakukan itu. Biar mereka mendengar. 


“Sudah nonton film Beautiful Mind?”


“Hmm… sepertinya udah! Yang tentang seorang bapak dosen yang memiliki dunia sendiri itu kan? Yang dia sempat ingin membunuh bayinya sendiri itu?” 

Sedikit demi sedikit gadis itu menceritakan sinopsis dari film yang sangat inspiratif jika dilihat dari sudut pandang yang khusus itu. 


“Iya” aku mengangguk. “Waktu itu aku baru saja membaca sebuah novel hebat karya Andrea Hirata, Edensor. Seandainya “kebetulan” itu memang ada, aku akan mengatakan “kebetulan” setelah membaca novel itu, seorang teman menyarankanku menonton film tersebut. Aku memang percaya “kebetulan” itu tidak ada karena seperti kata mantan pacarku dulu, “tidak ada yang namanya kebetulan, semuanya telah ditentukan Tuhan” 


Dan karena telah maktub, aku menemukan satu titik temu yang sangat mencerahkan antara novel Edensor dan film Beautiful Mind. Kata kuncinya adalah “standar”. Kalau ada waktu bacalah novel itu dan tontonlah film itu. Kalau sudah dua-duanya, kau pasti tahu pencerahan semacam apa yang kudapat. Jika sudah menonton dan membaca tapi belum ‘dapat’, renungi saja. Kata kuncinya adalah “standar”. Coba kait-kaitkan. Belajar bisa di mana saja. Bahkan dari novel dan film sekali pun. Semoga tercerahkan! Aku juga mendoakan semoga teman-temanku, dengan usaha mereka menaklukkan TOEFL, juga berhasil seperti yang diharapkan.[]