"Di matamu atau di benakmu kau mungkin merasa diri mahal, mahal sekali. Kau mungkin tidak tahu ketika menganggap diri begitu, kau justru terlihat murah bahkan murahan."
Banta berhenti sejenak dan menyesap kopi yang tinggal separuh. Asap rokok mengepul dan menggerayangi wajah tirusnya. Ada banyak sekali yang ingin ditulis untuk perempuan itu. Ia ingin menumpahkan segala perasaannya di atas kertas. Karena ia telah membuat keputusan bahwa harga diri itu jauh lebih berharga ketimbang kemolekan-kemolekan yang tak berapa lama itu.
"Di matamu aku mungkin hanya daun kering yang lebih layak dibakar atau dibiarkan membusuk di tanah, alih-alih untuk singgah di pelataran hatimu".
Lelaki itu menghela nafas. Malam telah larut. Semua lampu rumah sudah dimatikan kecuali sebatang lilin yang masih menyala di atas meja. Cahayanya menerpa wajah Banta dan membentuk siluet pada pada dinding kamar.
Beberapa menit yang lalu, di dinding itu masih terpampang foto Halimah lengkap dengan seulas senyum manis. Namun di mata Banta, wajah itu kini lebih hina dari wajah perempuan malam yang mengumbar birahi di tengah malam buta. Itulah sebabnya dibiarkan foto itu dilahap lilin hingga jadi abu.
"Kelak kecantikanmu yang dengannya kau menyombongkan diri, juga akan sirna seperti ini, Halimah" kata Banta dalam hati. Gigi gerahamnya beradu dan rahangnya berdenyut.[]
0 comments
Posting Komentar