-------

Jumat, 18 Mei 2012

Sihir

Sudah tiga hari Rio, anakmu, tidak di rumah. Ia ingin tinggal di rumah neneknya selama seminggu.

“Adek mau belajar sihir sama nenek” katanya sehari sebelum di antar suamimu.

Kau tersenyum dan mengelengkan kepala. Kau tahu ia itu hanya khayalannya saja. Bisa jadi karena ia kebanyakan menonton film-film aneh semisal Harry Potter. Lagi pula, tak mungkin wanita setaat mertuamu itu punya sihir. Setiap kali datang ke rumahnya, kau selalu lihat ibu dari suamimu itu shalat tepat waktu dan lengkap dengan shalat sunatnya. 

Rumah semakin sepi saja tanpa Rio. Biasanya bocahmu itu selalu menceracau atau pun duduk kusyuk di depan layar televisi sambil bermain Playstation. Namun begitu, tanpa kehadirannya kau merasa lebih leluasa dengan suamimu. Kau bisa melakukan ekpedisi rutin di mana saja. Di kamar, ruang tamu, kamar mandi, dan tanpa harus menunggu anakmu terlelap dulu. 

Di luar masih gelap. Kau mendengar suara ayam berkokok. Seperti biasa kau bangun menuju kamar mandi kemudian ke dapur. Kau mengambil pisau dan mulai mengiris bawang untuk memasak. 

“Maak..” tiba-tiba kau mendengar suara anakmu

“Maak…” dia mengetuk pintu. Kau tergopoh menuju pintu depan. Di sana sudah berdiri anakmu. Ia memakai seragam sekolah, celana merah dan baju putih. Ia tersenyum dan kau memeluknya.

“Ma, aku sudah bisa sihir!” 

“Oya?” kau tersenyum. “Coba lakukan sesuatu dengan sihirmu”

Anakmu memasukkan telunjuknya dalam mulut kemudian dengan sigap mengarahkannya ke wajahmu. Kau terkejut dan mengerang ketika mendapati mata kirimu membesar tiba-tiba lalu meletus mengeluarkan darah. Tak lama kemudian, ia menunjukkan lagi telunjuknya itu. Kali ini mata kananmu yang hilang. Kau meraung-raung di atas lantai sambil menahan rasa sakit. Anakmu tertawa.

Di kamar, suamimu terbangun dari tidur. Handphonenya berdering. Ia mengangkatnya. Di seberang mertuamu berbicara padanya, 

“Bola mata Rio pecah. Kumohon segeralah kemari”.

“Apa?!” suamimu terkejut.

Sementara kau masih meraung-raung di atas ranjang.

“Ma, bangun…Ma..."

Kau terjaga. Bulir-bulir keringat membasahai keningmu.

“Anak kita sakit” kata suamimu. “Kita harus menjemputnya sekarang”

Kau merasa gamang seperti berada di antara dua alam yang berbeda. Kau perlu waktu beberapa detik untuk tahu bahwa kau baru saja mengalami mimpi buruk. Kau mengehela nafas dan mengikat rambut panjangmu yang tergerai hingga ke punggung.

Setelah membasuh muka, kau mengunci pintu rumah. Di luar masih gelap. Sesekali terdengar kokok ayam. Sandal yang kau pakai terasa basah karena embun. Kau membuka pintu mobil. Wajah suamimu tampak cemas. Ia langsung menekan pedal dan mobil melaju. Lebih cepat dari biasanya.

***

Baru di pintu pagar rumah mertuamu, kau sudah mendengar suara Rio meraung. Kau dan suamimu mempercepat langkah. Pintu depan rumah tak ditutup. Di sana ada beberapa tetangga berdiri. raut wajah mereka menunjukkan simpati. Kau langsung menuju kamar. Rio tampak meronta-ronta. Ibu mertuamu duduk di sampingnya. Wajahnya cemas bercampur takut. Tanpa menunggu lebih lama kau memeluk anakmu itu.
“Ma, nenek menyihirku”

Kau terhenyak dan nafasmu tercekat.

“Lupakan sihir-sihir itu. Kita harus ke rumah sakit sekarang” kata suamimu. Kau langsung bangkit menuju mobil. Baru beberapa langkah kau berjalan, kau melihat ke belakang menatap wajah ibu mertuamu. Pada raut yang kian menua itu, kau tidak bisa menerjemahkan apakah ia sedang takut ataukah merisaukan anakmu. 

***

“Ibumu penyihir” setiap kali terbayang wajah Rio, kau selalu mencerca suamimu dengan kata-kata itu. Semenjak kejadian itu, kau tidak pernah terpikir untuk mengunjungi mertuamu lagi. Dan pada sore kemarin, untuk terakhir kalinya kau bisa mengatakan “kau anak seorang penyihir” untuk suamimu. Setelah kehilangan Rio, kau pun kehilangan suamimu. Ia mati di sebuah diskotik setelah menelan segenggam obat penenang.

0 comments

Posting Komentar