-------

Selasa, 08 Mei 2012

Standar


"Lima tahun kuliah di TEN dengan nilai TOEFL 550, itu kurang ajar.” Aku memaki diri sendiri. 

“Semestinya, selaku mahasiswa Bahasa Inggris, aku sudah mencapai nilai 620, minimal! Tapi karena masih saja kurang ajar, maka yang kudapat hanya sebanyak itu saja. Padahal kalau aku mau, aku bisa mendapatkan jauh lebih dari itu." 

Untuk kesekian kalinya aku menyesap kopi yang tinggal separuh. Di sampingku seorang gadis cantik menatapku serius. Matanya sedikit terbelalak. Bibir merahnya seperti beku. Kupikir baru kali ini ia mendengar pernyataan seperti ini. Aku berhenti sejenak. Ia menyungging senyum tipis. 


“Dua tahun yang lalu aku ke Jakarta untuk mengikuti TOEFL Ibt untuk persyaratan pertukaran pelajar ke Amerika. Dan di sana, aku bertemu dengan seorang pemuda asal Padang, Sumetara Barat. Dia sedang kuliah di jurusan Manajemen Universitas Indonesia. Dan yang mengejutkan adalah nilai TOEFL Ibt-nya jauh lebih tinggi dari punyaku. Bukankah itu memalukan? Bayangkan aku yang berkuliah di jurusan bahasa inggris hanya memperoleh nilai toefl ibt 77 dan ITP 553. Seandainya waktu itu adalah kompetisi toefl, total aku telah mempermalukan almamaterku” 


Aku berhenti sejenak ketika seorang pelayan mendekat dan menanyakan menu apa yang dipesan si Gadis. Ia baru saja datang, menemuiku untuk meminjam buku TOEFL. Aku tidak menanyakan untuk apa. Dia baru saja menjadi sarjana di jurusan bahasa Arab. Kupikir ia mau mengikuti tes beasiswa S-2 ke luar negeri karena Pemda baru saja membuka pendaftaran untuk tahun ini. 


Sebenarnya ada sesuatu yang agak janggal. Setidaknya menurutku. Batas akhir pendaftaran adalah akhir bulan ini. Beberapa temanku yang lain juga menelpon menanyakan tentang TOEFL. Ada yang menyuruhku membeli buku toefl yang bagus untuknya, ada yang meminta diajarkan toefl secara private. Menurutku ini sama seperti mencari payung yang hilang atau yang tak pernah dibeli saat hujan sedang turun lebat. Seorang teman lain malah dengan ekstreme meminta sertifikat TOEFL-ku untuk di-scan karena dia tak mengerti toefl. Dia ingin mengantikan namaku dengan namanya. Sayangnya dia tidak beruntung karena seritifikat TOEFL yang 550 itu tidak kubawa ke Banda. Kertas keramat itu masih tersimpan rapi dalam lemari di kampung halaman. 


Aku pribadi sebenarnya percaya bahwa jika teman-temanku itu tidak bodoh. Jika mereka mau berusaha, mendapat nilai 600 bukanlah suatu hal yang mustahil. Hanya perlu sedikit usaha dan fokus. Dan tidak tersadar di saat ujung yang santing begini. 


“Saya tidak pesan apa-apa, Bang. Saya hanya sebentar” Gadis cantik di sampingku menolak halus. Si pelayan melempar senyum dan berlalu ke meja lain. Aku melanjutkan ceramah, 


“Sebenarnya kuliah di tempat ini kita sangat santai bahkan terlampau santai. Seperti kata dosenku yang baru tamat S-2 di Inggris, mahasiswa kita, saat sedang kuliah masih saja punya waktu untuk bersantai, bermain, ber-online atau mencari uang. Kalau di sana, kuliah betul-betul serius dan menguras tenaga. Maka wajar saja bagaimana kualitas sarjana yang kita miliki sekarang. Mental seperti apa yang mereka miliki. Alih-alih menjadi seorang yang idealis atau ideologis, malah mereka menjadi sang oportunis. Mencari-cari informasi tes PNS seolah pintu kehidupan hanya ada di sana. Bahkan ada yang rela menyogok. Itu kan lucu! Masa mantan mahasiswa, seorang intelektual, tidak bisa berpikir rasional. Sogok menyogok itu tidak rasional!” Suaraku naik beberapa oktaf. Aku yakin dua orang bapak-bapak yang duduk dibelakangku mendengar. Tapi sengaja kulakukan itu. Biar mereka mendengar. 


“Sudah nonton film Beautiful Mind?”


“Hmm… sepertinya udah! Yang tentang seorang bapak dosen yang memiliki dunia sendiri itu kan? Yang dia sempat ingin membunuh bayinya sendiri itu?” 

Sedikit demi sedikit gadis itu menceritakan sinopsis dari film yang sangat inspiratif jika dilihat dari sudut pandang yang khusus itu. 


“Iya” aku mengangguk. “Waktu itu aku baru saja membaca sebuah novel hebat karya Andrea Hirata, Edensor. Seandainya “kebetulan” itu memang ada, aku akan mengatakan “kebetulan” setelah membaca novel itu, seorang teman menyarankanku menonton film tersebut. Aku memang percaya “kebetulan” itu tidak ada karena seperti kata mantan pacarku dulu, “tidak ada yang namanya kebetulan, semuanya telah ditentukan Tuhan” 


Dan karena telah maktub, aku menemukan satu titik temu yang sangat mencerahkan antara novel Edensor dan film Beautiful Mind. Kata kuncinya adalah “standar”. Kalau ada waktu bacalah novel itu dan tontonlah film itu. Kalau sudah dua-duanya, kau pasti tahu pencerahan semacam apa yang kudapat. Jika sudah menonton dan membaca tapi belum ‘dapat’, renungi saja. Kata kuncinya adalah “standar”. Coba kait-kaitkan. Belajar bisa di mana saja. Bahkan dari novel dan film sekali pun. Semoga tercerahkan! Aku juga mendoakan semoga teman-temanku, dengan usaha mereka menaklukkan TOEFL, juga berhasil seperti yang diharapkan.[]

0 comments

Posting Komentar