Saya sering punya
cerita menarik tentang musik. Beberapa tahun terakhir saya merasa kecewa dengan
beberapa lagu. Pada 2011, lagu yang membuat saya bergidik adalah lagunya Wali
yang berjudul Cari Jodoh. Saya pikir lagu itu secara substansi tidak memberi
arti apa-apa. Hanya ungkapan cengeng dan putus asa seorang lelaki. Hanya sebuah
keluhan yang disampaikan dengan bahasa yang hambar. Mungkin lebih cocok disebut
bahasa vulgar. “Ibu-ibu… bapak-bapak…
siapa yang punya anak bilang aku… aku yang tengah malu sama teman-temanku
karena Cuma diriku yang tak laku-laku..” persis seperti suara pemuda
kampung yang suka kentut di mic meunasah di bulan puasa dan ketika sahur menjelang,
mereka berteriak “ibu-ibu, bapak-bapak, bangunlah”.
Pada
tahun 2012, ada lagi lagu yang membuat saya tidak selera makan. Lagu itu adalah
“Iwak Peyek” saya selaku orang Indonesia
di pulau Sumatera paling ujung tidak tahu arti Iwak Peyek. Di sinilah letak ‘kelemahan’
si pencipta lagu. Seharusnya, mereka belajar dulu siapa pasar mereka. Indonesia
terdiri dari beragam bahasa dan suku; bukan jawa saja. Lagu adalah salah satu
seni untuk menyampaikan pesan. Jika lagu tak dapat dimaknai oleh banyak orang,
maka penyanyi tersebut tak layak menjadi penyanyi nasional di negara semisal
Indonesia. Kecuali penyanyi lokal, di kampungnya sendiri misalnya.
Dari
pertama mengenal Trio Macan itu saya memang sudah curiga. Mereka seperti apa
yang digambarkan oleh Andrea Hirata dalam cerpennya, Kemarau, "Lebih menyanyikan maksiat daripada lagu". Mereka tidak peduli filosofi dari karya mereka dan
dampak apa yang ditimbulkan kepada masyarakat terutama anak-anak. Salah satu
potongan liriknya yang saya ingat adalah “sampai tua trio macan akan disanjung”
Apa tujuan dari kata-kata itu coba? Tak ada apa-apanya dibanding dengan lirik
lagu Iwan Fals yang kaya dengan pesan moral dan puitik. Contohnya,
“Kita hidup mencari bahagia
Harta dunia kendaraannya
Bahan bakarnya budi pekerti
Itulah nasehat para nabi”
Harta dunia kendaraannya
Bahan bakarnya budi pekerti
Itulah nasehat para nabi”
Sekarang
ini makin banyak ‘penyanyi’ seperti Trio Macan. Mereka lebih mengandalkan tubuh
ketimbang manfaat dari karya yang mereka cipta. Mereka jual paha, dada, dan sedikit
suara. Yang penting terkenal, yang penting dapat uang. Kita semakin jarang
menemukan seorang penyair yang bernyanyi semisal Ebit G Ade, Franky Sahilatua,
Bob Dyland dan lainnya. Menurut saya, populasi penyanyi di Indonesia makin lama
semakin menipis. Yang bertambah hanyalah penyakit.[]
0 comments
Posting Komentar