Tidak seperti kebanyakan kata lain, teumeunak adalah kata yang memiliki power dan aura. Kata ini mengandung unsur yang bisa merepresentasikan kepribadian seseorang seperti kuat, berani, tegas, lantang, sampai pada amoral. Dalam bahasa Indonesia tidak ada kata yang akurat semisal radio, kursi, kakak atau lainnya yang dapat mewakili kata teumeunak. Untuk mencapai pada makna teumeunak yang sejati, kita bisa mengaitkannya dengan beberapa kata lain yang sebangsa dengan teumeunak seperti kata menggertak, mencaci, membentak, dan menusuk (dengan kata-kata).
Selain teumeunak, kata lain yang hampir serupa adalah semeuseup. Dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh, kedua kata tersebut adalah bagian yang tak dapat dipisahkan. Di satu sisi, ini dikarenakan karakter orang aceh yang cenderung keras dan frontal terhadap sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang diyakini dan diinginkannya.
Teumeunak ini biasa dilakukan oleh orang dewasa karena ‘pekerjaan’ ini terlalu kasar bila dilakukan oleh anak-anak. Tidak jarang anak-anak yang sempat mengucapkan kata-kata ini akan kena jewer oleh orang tua atau gurunya. Sementara orang dewasa, hampir tidak ada yang berani memberi sanksi kepada mereka. Dalam beberapa lini, orang dewasa memang memiliki ruang-ruang istimewa atau privilege Karena itulah semenjak kecil saya ingin cepat-cepat jadi orang dewasa.
Kembali pada teumeunak. Walau pun perbuatan ini dianggap negatif, dalam beberapa kondisi teumeunak adalah skill yang penting untuk dipelajari. Seperti bagaimana diksi (pemilihan kata) yang tepat untuk membuat teumeunak kita menjadi benar-benar berasa lebih dan lebih berasa.
Mengapa teumeunak itu perlu? Salah satu alasannya adalah supaya harga diri seorang individu bisa tetap survive dalam kondisi tertentu. Sehingga apa yang disebut dengan pembunuhan karakter tidak dengan mudahnya terjadi. Kita tidak dapat memungkiri bahwa dalam kehidupan sosial ada beberapa tipe manusia yang kebal nasehat. Setiap peringatan yang disampaikan dengan cara-cara halus malah membuat mereka semakin keranjingan melakukan hal yang sama berulang-ulang seperti mengejek, menertawakan dan memandang rendah.
Ada sebuah kutipan yang saya simpulkan dari pengalaman-pengalaman yang saya alami, bahwasanya “terlalu baik itu tidak baik”. Kata “terlalu” ini mengingatkan saya pada guru bahasa Inggris sewaktu saya SMP dulu. Dalam bahasa inggris, ada kata-kata terlalu atau too digunakan untuk menerangkan sesuatu yang berlebih. Misalnya too expensive yang berarti terlalu mahal; too bad, terlalu buruk. Kata guru saya itu, sesuatu yang sudah memakai kata-kata too alias terlalu, seringkali condong pada konotasi negatif. Dengan kata lain berlebihan. Saat ini sesuatu yang berlebihan ini sering disebut dengan “lebai”.
“Terlalu baik” dapat pula bermakna sikap yang lebai dan berlebihan. Sikap ini hampir sama seperti sikap terlalu toleran-nya orang tua terhadap anak-anak mereka sehingga apa yang mereka minta dipenuhi. Dalam sikap terlalu baik, ketika harga diri diinjak-injak, kita diam. Ketika marwah digadaikan kita pasrah. Bukan karena memiliki sikap bijaksana, tapi karena lebai. Ingin dikatakan baik, dikatakan tabah, penyabar dan lain sebagainya. Anehnya, sikap terlalu baik ini membuat beberapa tipe manusia semakin keranjingan memanfaatkan kesempatan. Semakin lebai kita menjadi baik, semakin keranjingan pula mereka menghina. Lebih ekstrem lagi ketika pemanfaatan kesempatan ini dilakukan dalam keramaian. Mereka tidak peduli tentang harga diri orang lain selama mereka masih bisa membuat orang sekitar tertawa atau lebih tepatnya menertawakan.
Dalam pada ini, teumeunak merupakan opsi terakhir agar begundal-begundal itu bisa menghargai orang lain. Di sisi lain, teumeunak merupakan ekspresi yang educative bagi beberapa tipe manusia yang keras kepala dan tak pandai menggunakan hati. Ekspresi ini juga memberikan informasi tersirat kepada objek yang kita teumeunak-kan bahwa sikap mereka tidak sinkron dengan norma. Dengan demikian, akan muncul dalam pikiran mereka semacam pemberitahuan sekaligus kesimpulan yang elegan semisal “o… teranyata dia tidak suka kalau kita gituin” atau pun membantu mereka untuk meng-intropeksi diri “o… ternyata sikap saya sudah terlalu berlebihan” Dengan teumeunak ini pula kita membuktikan pada para begundal bahwa kita punya marwah dan harga diri. Sama halnya seperti mereka.
Kendati teumeunak itu perlu dalam situasi-situasi tertentu, maka janganlah sesekali melakukan teumenak terhadap orang yang baik-baik yaitu mereka yang pandai memakai hati dan tidak sembarangan dalam bersikap. Dalam kehidupan orang Aceh, terdapat sebuah filosofi yang bisa menggambarkan bagaimana sikap dan tindak-tanduk orang Aceh itu sendiri. “ Ureung Aceh nyan ureung leubeh. Meunyo ka teupeh, bu leubeh han geupeutaba. Tapi meunyo hana teupeh, boh kr*h jeut taraba.”
Maka itu berhati-hatilah agar tidak melewati batas dalam bersikap karena itu bisa merongrong harga diri orang lain. Kalau tidak, bisa-bisa anda akan keunong teunak. Wassalam…
0 comments
Posting Komentar