Saya tertarik dengan blog seorang teman. Nama blognya Sudut Pandang. Sudut pandang menurut saya menarik untuk dibahas karena ia sebuah piranti yang mempengaruhi persepsi dan keputusan seseorang terhadap suatu hal. Kita sering melihat sebuah objek sama namun dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Contohnya saja mengenai kenaikan BBM. Sebagian orang setuju dan sebagian lain menolak. Masing-masing mereka memiliki sudut pandang tersendiri.
Berbicara masalah sudut pandang ini, ada beberapa orang yang bisa memiliki sudut pandang yang luar biasa dan berbeda dengan khalayak ramai. Umumnya mereka ini adalah orang-orang yang memperhatikan sesuatu secara menyeluruh hingga detil. Katakanlah seperti sudut pandang Newton terhadap buah apel yang jatuh. Di dunia ini ada banyak sekali orang yang telah melihat apel jatuh. Tapi sedikit yang memiliki sudut pandang yang tak biasa (termasuk saya). Hanya sedikit yang berhasil merumuskan sebuah konsep besar dari sebuah peristiwa yang sederhana seperti lahirnya hukum Newton. Salah satu thesisnya adalah “…and to every action there is always an equal and opposite reaction” (…dan dalam setiap aksi itu pasti ada reaksi; yang sesuai atau berlawanan/positif atau negatif)
Contoh lainnya adalah seperti yang dikatakan oleh pengarang novel Hafalan Shalat Delisa, Tere Liye. Dalam sebuah pelatihan tulis-menulis yang saya ikuti beberapa bulan lalu, penulis yang memiliki nama asli Darwis ini mengatakan bahwa ada banyak sekali novel-novel bertema cinta yang bertadang di toko buku tapi tidak bisa ‘meledak’ seperti novel Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, dan lainnya. Mengapa demikian? Salah satu alasan menurutnya adalah karena penulisnya, Habiburrahman Elshirazy, memiliki sudut pandang yang unik dan lebih hebat terhadap cinta dari pada penulis-penulis lain.
Dalam kehidupan sosial, ada banyak sekali sudut pandang manusia terhadap segala hal. Karena itu banyak pula lahir perbedaan-perbedaan interpretasi. Untuk melihat perbedaan sudut padang, saya tertarik dengan kutipan dari esai Prof. Teuku Jacob, seorang ahli antropologi ragawi dari UGM yang tulisannya dimuat di Harian Kedaulatan Rakyat tahun 1998 (konon esai ini juga terangkum dalam buku "Tahun-Tahun yang Sulit : Mari Mencintai Indonesia” diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia tahun 2001, tapi saya belum membacanya). Diawali dengan sebuah pertanyaan ini, “Mengapa Kambing Menyeberang Jalan?”
Maka beberapa ‘ahli’ yang berkecimpung di bidangnya pun memberi jawaban,
Ahli demografi : "Meningkatnya kepadatan populasi di satu sisi memicu
beberapa kambing secara selektif pindah ke sisi lain yang tekanan
demografinya lebih rendah."
Pakar migrasi : "Di seberang, rumput lebih hijau dan kambing ingin mencoba
nasibnya di sana."
Ahli evolusi : "Ia ingin pindah ke relung ekologis yang lain untuk bertahan
hidup."
Pakar mutasi : "Ia tidak menyeberang, tetapi melompat-lompat ke seberang
jalan."
Ahli genetika : "Ia membuktikan bahwa makhluk hidup itu memang egois yang
berpuncak pada gennya."
Ahli meteorologi : "Ia pikir di seberang tidak hujan."
Ahli astrofisika : "Untuk menghindari dampak meteor."
Ahli vulkanologi : "Tanda-tanda gunung api akan meletus."
Pengusaha hutan : "Ia melarikan diri dari kebakaran hutan."
Ahli matematika : "Ia ingin membentuk himpunan baru."
Ahli filsafat : "Ia tak puas lagi dengan dengan paradigma lama."
Penganut kepercayaan : "Ada kekuatan gaib yang menggerakkannya ke seberang."
Calon doktor : "Ia hendak membuktikan salah satu hipotesis bahwa kambing
tidak berani menyeberang jalan."
Pejabat : "Harus diwaspadai, mungkin ia anti pembangunan."
LSM : "Ia bermaksud mencari suaka karena tidak dapat membuktikan bahwa bahwa
ia bukan kambing hitam."
Politikus : "Memang dasar kutu loncat."
Ideolog : "Terbukti bahwa kambing itu liberal."
Pakar hak-hak asasi : "Di sebelah sini cukup makan, tetapi tidak bebas
mengembek, sedangkan di seberang sana bebas mengembek meski tak cukup
makan."
Ahli hukum : "Tidak ada rambu jalan yang melarangnya menyeberang."
Pedagang kaki lima : "Ada bau kereta tukang sate yang mendekat."
Pembantai : "Kambing boleh menyeberang ke mana saja, tetapi hidupnya akan
berakhir di bawah doa dan parang saya."
Penimbun pangan : "Ia sangka rumput di sini akan segera habis."
Wartawan : "Kambing menyeberang jalan bukan berita, kecuali kalau ia milik
pejabat atau artis."
Ahli psikologi : "Karena terkejut oleh klakson mobil, ia jadi panik dan
salah ambil keputusan."
Ahli sejarah : "Sejak jalan ada, kambing sudah menyeberang jalan."
Kritikus sastra : "Ia agak jalang, dan ingin lari dari gerombolannya yang
terbuang."
Ahli statistik : "Seekor kambing dan sebuah jalan adalah indikator yang
terlalu kecil sehingga tak perlu didiskusikan."
Ahli ekonomi : "Mengapa buang waktu dan energi memperbincangkan kambing
menyeberang jalan, yang penting berapa harga kambing sekarang dalam dolar."
Kaum realis : "Kambing itu menyeberang karena ingin berada di sisi yang
lain, terlepas dari rumput di sana lebih hijau atau tidak."
Jawaban-jawaban di atas menunjukkan betapa beragamnya persepsi seseorang terhadap hal tertentu. Tidak jarang, perbedaan-perbedaan ini melahirkan benturan-benturan yang bersifat saling menyerang. Ada sebuah analogi yang elegan untuk ini. Kita ambil saja sebuah angka yaitu angka 6. Dilihat dari sisi berlawanan, maka ia akan berubah menjadi angka 9. Maka dalam permasalahan sudut pandang ini beberapa orang akan bersikuh dan berjuang mati-matian untuk membenarkan bahwa itu adalah angka 9. Sementara yang lain akan melakukan hal yang sama dengan mengatakan bahwa itu adalah angka 6. Hanya karena persoalan kecil itu, bentrokan terjadi. Dan hal sejenis ini sering kita temukan di sekeliling kita.
Di negara sekaliber Indonesia, keluwesan sudut pandang menjadi sangat penting. Negara ini terdiri dari 300 kelompok etnik dengan ratusan bahasa. Tak pelak kita dihadapkan pada sebuah kenyataan dimana perbedaan-perbedaan tumbuh subur. Apa jadinya jika kita hanya bersikukuh pada satu sudut pandang sempit untuk memahami sedemikian luasnya keberagaman ini.
Disebutkan bahwa manajemen yang paling fundamental dalam hidup adalah manajemen perbedaan. Manajemen perbedaan ini juga dipengaruhi oleh sudut pandang terhadap perbedaan itu sendiri. Maka untuk menyatukan itu, perlu keluwesan sikap yang dicerminkan dalam kesediaan untuk bermusyawarah bukan saling menodong dan saling memvonis. Itulah mengapa ada perintah, “bermusyawarahlah kamu dalam setiap urusan”.
Wassalam.
0 comments
Posting Komentar